MUI Jateng Cabut Fatwa Pilih Calon Pemimpin Muslim di Pilkada 2024
Senin, 25 Nov 2024 20:42 WIB
Ilustrasi. Jelang hari coblos, MUI Jateng sempat terbitkan surat fatwa memilih calon kepala daerah yang seakidah alias muslim. Fatwa itu pun menuai protes sejumlah pihak (CNN Indonesia/Safir Makki)
--
Jelang hari pencoblosan Pilkada serentak 2024, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah (Jateng) sempat mengeluarkan surat berisi fatwa tentang memilih calon kepala daerah yang seakidah alias muslim.
Fatwa itu menuai protes banyak pihak, hingga akhirnya MUI Jateng mencabut surat fatwa, dan meminta umat tidak mempersoalkan lagi.
"Sudah kita minta cabut, tidak perlu dipersoalkan lagi," kata Ketua MUI Jawa Tengah KH Ahmad Darodji di Kantor Badan Amal Zakat Nasional (Baznas) Jawa Tengah, Semarang, Senin (25/11).
Darodji menerangkan sejatinya MUI Jateng tidak pernah mengeluarkan fatwa soal calon kepala daerah, hanya menyikapi fatwa dari MUI pusat sebelumnya.
"Tidak melakukan tausiyah [kajian untuk penerbitan fatwa sendiri], tausiyah itu rencana akan ada tapi kita cabut, tidak jadi karena pusat sudah ada [fatwa sejenis]. Jadi itu 'nguyahi segoro' [mengarami lautan] dan mungkin tidak sesuai juga oleh karena itu fatwa MUI sudah ada di pusat sana," jelas Darodji.
"Kita tidak mengeluarkan fatwa lagi, dan barang kali mungkin lebih bijaksana kalau [MUI] Jawa Tengah tidak mengeluarkan fatwa seperti yang keluar saat itu. [surat fatwa MUI Jateng] itu sudah saya minta untuk dicabut itu, karena itu nguyahi segoro, sudah ada di pusat kenapa kita dikeluarkan, saya minta itu dicabut," tambahnya.
Sebelumya beredar foto atau tangkapal layar atas foto Surat fatwa MUI Jawa Tengah yang dikeluarkan pada 23 November 2024 merujuk pada Tausiah Kebangsaan MUI (Pusat) tentang Pemilihan Kepala Daerah Serentak tahun 2024 Nomor : Kep-74/DP-MUI/XI/2024. Berdasarkan Focus Group Discussion (FGD) MUI Jawa Tengah atas fatwa itu bertempat di Pondok Pesantren Fadhlul Fadhlan Semarang menghasilkan sejumlah poin:
1. Memilih dalam Pemilu adalah hak konstitusional . Demikian juga menggunakan hak pilih berdasarkan kecenderungan agama, suku dan kelompok.
2. Umat Islam wajib memilih calon pemimpin yang seakidah, amanah, jujur terpercaya serta memperjuangkan kepentingan dan syiar Islam.
3. Memilih Pemimpin yang tidak seakidah atau sengaja tidak memilih padahal ada calon yang seakidah hukumnya haram.
Surat fatwa MUI Jateng yang viral dan tersebar ke warga itu kemudian angsung menuai protes dari beberapa kalangan.
Pengasuh Pondok Pesantren Asshodiqiyah Semarang, KH Shodiq Hamzah menyebut merasa malu dengan munculnya fatwa MUI yang melarang masyarakat memilih calon pemimpin yang tidak seiman.
"Kalau kita sebagai umat Islam ya malu, tapi lebih malu kalau pemimpin muslim dalam rangka menjadi pemimpin orangnya amburadul dan korupsi, kan lebih malu lagi daripada pemimpin yang nonmuslim," katanya, Minggu (24/11)
Kiai Shodiq lebih lanjut menjelaskan kondisi jika pemimpin muslim korupsi sedangkan yang nonmuslim tidak serta bisa mengurus negara, maka diserahkan saja ke umat bakal memilih siapa.
"Pemimpin muslim amburadul dan korupsinya besar. Tapi nonmuslim bisa menata negara, kemaslahatan ada, ora tahu korupsi, nah kamu pilih yang mana?" , terang Kiai Shodiq.
Kiai Shodiq meminta masyarakat bisa membedakan mana urusan agama dan mana yang bukan. Dia mencontohkan Eks Ketum PBNU yang juga Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang pernah meramalkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) bakal menjadi Gubernur DKI. Ahok kemudian kalah dari Anies Baswedan pada gelaran Pilgub DKI 2017 yang salah satunya kuat karena faktor SARA, termasuk agama.
"Jadi di sini tidak bisa membedakan antara agama dan tidak. Gus Dur kan nyalonke Ahok, Ahok kalah gara-gara Anies karena tentang agama, tentang surat Almaidah ayat 51,"ujar Kiai Shodiq.
Kiai Shodiq menegaskan negara Indonesia itu berasas Pancasila, sehingga tidak boleh ada fatwa atau opini keagamaan dalam pemilihan seorang pemimpin pemerintahan.
"Nah behubung kita negara Pancasila maka harus dibedakan antara agama dan tidak. Jadi orang Islam mau enggak milih silahkan, tapi jangan membuat fatwa yang mengharam-haramkan. Indonesia bukan negara agama, tapi negara Pancasila," ungkapnya.
Hal senada juga disampaikan Sekretaros Asosiasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Seluruh Indonesia KH Taslim Sahlan yang menilai surat fatwa MUI Jawa Tengah bisa memecah belah umat.
"Di antara kita, semua umat beragama dan kepercayaan memiliki hak yang sama di dalam pilkada ini, dalam konteks kebangsaan kita tidak boleh mempersekusi satu sama lain, apakah itu dengan fatwa, tausiyah atau apapun yang mendiskreditkan," kata Taslim usai acara Doa Bersama Antar Umat Beragama di Vihara Tanah Putih Semarang, Minggu (25/11).
"Ini jualan murahan menjelang pilkada seperti ini, karena itu semua kita sepakat bahwa baik perempuan maupun laki laki memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih, jadi tolong bangsa yang sudah sedemikian baik ini apalagi di Jawa Tengah dan khususnya di Semarang yang sudah sangat kondusif ini jangan coba coba dipecah belah oleh hanya fatwa atau tausiyah yang murahan, apapun itu bentuknya dan darimana pun fatwa itu berasa," imbuhnya.
Lembaga Setara Institute pun mengkritisi surat Fatwa MUI Jateng mewajibkan Umat Islam untuk memilih calon pemimpin yang seakidah, amanah, jujur, terpercaya dan memperjuangkan kepentingan syiar Islam.
"Fatwa tersebut diskriminatif dan bertentangan dengan hukum negara. Pasal 28D ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945," demikian keterangan Setara yang diterima Minggu.
"Fatwa tersebut dan fatwa serupa ini juga bersifat segregatif dan melemahkan kebinekaan Indonesia. SETARA Institute memandang bahwa Pilkada dan hajatan elektoral merupakan wahana kebangsaan, di samping momentum untuk memilih pejabat publik," imbuhnya.
(dmr/kid)
Komentar
Posting Komentar