Partisipasi Pemilih Pilkada 2024 Tak Sampai 70 Persen
/data/photo/2024/11/29/67492862c1974.jpg)
JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat partisipasi pemilih dalam Pilkada Serentak 2024 tak sampai 70 persen berdasarkan rata-rata nasional.
"Dari data-data yang tersedia memang di bawah 70 persen, tapi tentu kalau di-zoom-in masing-masing provinsi dan kabupaten/kota beda-beda. Ada juga ya provinsi sudah 81 persen, ada yang 77 persen, ada yang memang 54 persen, itu masih ada," kata anggota KPU RI Augus Mellaz dalam jumpa pers, Jumat (29/11/2024).
Berdasarkan pemantauan via Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) KPU RI pada Jumat sore, dari 98,5 persen data yang masuk, tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada Serentak 2024 hanya 68,16 persen.
Partisipasi pada Pilkada Sumatera Utara hanya 55,6 persen, sedangkan DKI Jakarta hanya 57,6 persen, terendah sepanjang sejarah.
Baca juga: Partisipasi Pemilih di Buleleng Hanya 64 Persen, KPU Akui Kesulitan Bujuk Gen Z ke TPS
Secara nasional, tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada ini jauh lebih rendah ketimbang Pilpres 2024 Februari lalu yang mencapai 80 persen lebih.
Mellaz berdalih, upaya-upaya sosialisasi dan penyebarluasan informasi terkait pemungutan suara Pilkada Serentak 2024 tidak berbeda dibandingkan Pilpres 2024.
"Meskipun rata-rata nasional biasanya kalau dalam konteks pilkada dibandingkan pilpres, pileg, itu biasanya di bawah," ucap Mellaz.
Pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menganggap fenomena ini tidak terlepas dari sejumlah sebab yang melatarbelakangi pelaksanaan Pilkada Serentak 2024.
Baca juga: Alasan Ketua KPPS di Jaktim Coblos Surat Suara: Agar Partisipasi Pemilih Meningkat
Pertama, adanya kelelahan karena menjalani pemilu nasional dan pilkada pada tahun yang sama.
Kelelahan dan kejenuhan ini dianggap terjadi bukan hanya pada pemilih, namun juga terjadi pada penyelenggara pemilu serta partai politik.
Kedua, terkait pencalonan kepala daerah yang sentralistis di tangan pengurus pusat partai politik.
"Akhirnya banyak calon yang tidak sejalan dengan aspirasi daerah dan lebih mencerminkan selera elite politik nasional. Ini yang membuat mesin partai tidak bekerja di sejumlah daerah dalam melakukan kampanye pemenangan untuk calon yang diusung partainya," kata Titi, Jumat.
Ketiga, penegakan hukum terkait pelanggaran pidana pilkada yang tidak optimal.
"Politik uang semakin masif disertai modus yang semakin beragam. Sementara penanganannya masih biasa dan standar saja. Sangat jomplang antara realitas dan efektivitas penegakan hukum," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar