Salju di Puncak Jayawijaya Diprediksi Hilang pada 2026, BMKG Ungkap Kerugiannya Halaman all - Kompas
Salju di Puncak Jayawijaya Diprediksi Hilang pada 2026, BMKG Ungkap Kerugiannya Halaman all - Kompas
KOMPAS.com - Salju abadi di pegunungan Puncak Jayawijaya, Papua diperkirakan akan hilang pada 2026.
Hal tersebut diungkap oleh prakirawan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meteorologi Moses Kilangin Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah, Mimika Reza pada Selasa (17/12/2024).
Dia mengatakan, hasil penelitian terbaru BMKG mengungkap, ketebalan salju abadi di Puncak Jayawijaya hanya tersisa 4 meter, berkurang 2 meter dari 2022.
"Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pencairan salju ini semakin signifikan," kata dia, dikutip dari Kompas.com, Rabu (18/12/2024).
Ukraina Jadi "Kuburan" Tentara Korea Utara, Apa yang Dicari Kim Jong Un Bela Rusia?
Menurut hasil penelitian terbaru BMKG Pusat, pada 2022 luasan salju di puncak tersebut tinggal mencapai 0,23 kilometer persegi.
Angka tersebut menunjukkan penyusutan sekitar dari 0,11 kilometer persegi sampai 0,16 meter persegi.
Sebagai informasi, salju abadi adalah gletser atau sungai salju di puncak Jayawijaya yang sangat langka.
Disebut salju abadi karena salju tersebut tidak akan mencair mengingat suhu di puncak pegunungan yang cenderung stabil.
Namun, kini salju tersebut terancam hilang dua tahun lagi.
Baca juga: Kata Media Asing soal Salju Abadi di Puncak Jaya yang Terancam Punah
Penyebab hilangnya salju abadi di puncak Jayawijaya
Reza menjelaskan, ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan salju di puncak Jayawijaya hilang, yaitu perubahan iklim dan curah hujan yang tinggi.
Menurutnya, curah hujan yang tinggi mempengaruhi percepatan pencairan salju sehingga terjadi penurunan luasan dan ketebalan salju.
"Dulu embun dan uap air di Puncak Jayawijaya akan membeku menjadi salju, namun sekarang hujan lebih sering turun di Puncak Jayawijaya ini justru mempercepat pencairan es," tutur Reza.
Kombinasi hujan, panas bebatuan, dan perubahan iklim juga mempercepat proses pencairan salju abadi itu.
Penyebab selanjutnya adalah pemanasan global dan perubahan iklim yang terjadi di seluruh dunia.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan, fenomena tersebut menyebabkan penurunan luasan dan ketebalan salju abadi di puncak Jayawijaya dalam beberapa dekade terakhir.
Diberitakan Kompas.com, sejak 2015 salju abadi itu terus mencair. Paling parah terjadi pada 2015-2016 ketika Indonesia dilanda fenomena El Nino kuat yang membuat suhu permukaan menjadi lebih hangat.
Hal itu membuat gletser di puncak Jayawijaya mencair hingga 5 meter per tahunnya.
Baca juga: Salju Abadi di Puncak Jaya Terancam Punah, BMKG Ungkap Penyebab dan Dampaknya
Dampak menghilangnya salju abadi
Koordinator Bidang Standardisasi Instrumen Klimatologi BMKG Donaldi Sukma Permana mengatakan, mencairnya salju abadi di puncak Jayawijaya membuat simbol ikonik Indonesia sebagai negara tropis yang memiliki salju menjadi hilang.
Hal tersebut mengakibatkan daya tarik wisata Indonesia sebagai negara tropis yang memiliki salju abadi menjadi hilang.
Selain itu, fenomena alam ini juga akan berdampak bagi penduduk lokal. Pasalnya, keberadaan salju tersebut adalah hal yang sakral bagi kebudayaan mereka.
Menurut Donaldi, mencairnya salju abadi turut diikuti dengan kenaikan tinggi muka laut.
"Pencairan es di Papua berkontribusi pada kenaikan tinggi muka laut, walaupun sedikit," kata dia, saat dihubungi Kompas.com pada Kamis (19/12/2024).
Namun, Donaldi memastikan, fenomena mencairnya salju abadi tidak memicu banjir atau tanah longsor di wilayah sekitar.
Dia menjelaskan, pemicu banjir dan tanah longsor adalah hujan lebat atau ekstrim yang tidak diimbangi dengan drainase dan tutupan lahan yang tepat.
Akibatnya, lokasi tersebut rentang terkena banjir dan tanah longsor saat diguyur hujan lebat. Selain itu, kerentanan dan tipe tanah juga berperan dalam terjadinya longsor.
"Pencairan es tidak langsung berkaitan dengan kejadian banjir dan longsor," kata dia.
Kendati demikian, lanjut Donaldi, hilangnya salju abadi tentu akan mengganggu ekosistem flora dan fauna, terutama yang berada di sekitarnya.
BMKG sendiri tidak melakukan penelitian terkait dampak pencairan es terhadap ekosistem di sekitar gletser.
Penelitian tidak dilakukan karena BMKG tidak memiliki keahlian atau expertise di bidang tersebut.
Berdasarkan informasi dari Balai Taman Nasional Lorentz yang juga memantau perubahan tersebut, disebutkan bahwa dampak yang mungkin terjadi adalah pergeseran atau migrasi habitat karena perubahan suhu yang menjadi lebih hangat dan hilangnya tutupan es.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Komentar
Posting Komentar