Dunia Internasional,
Israel Bunuh 413 Orang di Gaza dalam Sehari, Netanyahu: Baru Permulaan

Jakarta, CNBC Indonesia - Gelombang serangan udara yang mengakhiri gencatan senjata di Gaza menandai eskalasi besar dalam konflik Israel-Palestina. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memperingatkan bahwa serangan ini "baru permulaan" dan akan terus berlanjut hingga Israel mencapai tujuan perangnya, yakni menghancurkan Hamas dan membebaskan seluruh sandera yang ditahan oleh kelompok militan tersebut.
Negosiasi gencatan senjata lebih lanjut, kata Netanyahu dalam pidato televisi Selasa (18/3/2025) malam, akan berlangsung "di bawah tembakan". Ini adalah pernyataan pertamanya setelah serangan yang menewaskan lebih dari 400 orang dalam satu hari, menjadi hari paling berdarah sejak awal perang pada 2023.
"Hamas sudah merasakan kekuatan tangan kami dalam 24 jam terakhir, dan saya ingin berjanji kepada Anda-dan kepada mereka-bahwa ini baru permulaan," ujar Netanyahu, sebagaimana dikutip The Guardian.
Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant memperkirakan bahwa perang di Gaza bisa berlangsung selama beberapa minggu atau bahkan berbulan-bulan.
"Hamas harus memahami bahwa aturan permainan telah berubah," kata Israel Katz, Menteri Pertahanan Israel lainnya, dalam kunjungannya ke pangkalan udara.
Ia menambahkan, "Gerbang neraka akan terbuka dan mereka akan menghadapi kekuatan penuh IDF di udara, laut, dan darat" jika Hamas tidak membebaskan sandera.
Perintah Evakuasi
Militer Israel telah mengeluarkan perintah evakuasi bagi wilayah utara dan timur Gaza, mengindikasikan kemungkinan serangan darat dalam waktu dekat.
Otoritas kesehatan Palestina melaporkan 404 korban jiwa akibat serangan tersebut. Namun angka yang diperbarui menyatakan korban tewas mencapai 413 orang. Sementara itu, lebih dari 600 orang lainnya mengalami luka-luka.
Pejabat militer Israel mengeklaim bahwa serangan tersebut menargetkan komandan militer Hamas serta pejabat politik kelompok tersebut.
Laporan dari lapangan menyebutkan bahwa serangan udara dan tembakan artileri masih terus berlanjut sepanjang sore hingga malam. Para petugas bantuan di Gaza melaporkan bahwa ratusan hingga ribuan orang mulai mengungsi untuk mematuhi perintah evakuasi Israel.
"Tidak ada ketahanan. Orang-orang... dalam kondisi yang sangat lemah, baik secara fisik maupun psikologis," kata seorang pejabat bantuan di Gaza kepada The Guardian.
Di Washington, juru bicara Gedung Putih mengatakan bahwa Israel telah berkonsultasi dengan pemerintahan AS sebelum melancarkan serangan ini.
Adapun serangan dilaporkan terjadi di Gaza utara serta di kota-kota Deir al-Balah dan Khan Younis di bagian tengah. Salah satu serangan dilaporkan menewaskan 17 anggota satu keluarga di Rafah, termasuk lima anak, orang tua mereka, serta seorang pria dengan tiga anaknya, menurut laporan tenaga medis di rumah sakit setempat.
Saksi mata menggambarkan pemandangan mengerikan di rumah sakit Nasser di Khan Younis, di mana pasien tergeletak di lantai, beberapa di antaranya berteriak kesakitan, sementara seorang gadis kecil menangis saat lengannya yang berlumuran darah diperban.
Di rumah sakit al-Shifa di Kota Gaza, para penyintas mengadakan pemakaman darurat bagi puluhan jenazah yang berjejer di halaman.
Para ibu meratapi tubuh anak-anak mereka yang berlumuran darah sementara pesawat tempur terus berdengung di langit. Dokter berjuang keras menangani arus korban yang terus berdatangan.
Korban tewas termasuk pejabat tinggi Hamas, termasuk pemimpin politik tertinggi di Gaza dan beberapa menteri, selain banyak perempuan dan anak-anak, menurut pejabat Palestina.
Klaim Israel
Juru bicara militer Israel Letkol Nadav Shoshani menyatakan bahwa serangan ini diluncurkan setelah intelijen menemukan rencana Hamas untuk melakukan serangan baru guna menculik atau membunuh warga sipil atau tentara Israel.
Hamas juga disebut menolak membebaskan lebih banyak dari 59 sandera yang masih ditahan di Gaza, yang menurut Israel merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan gencatan senjata yang mulai berlaku pada Januari.
"Hamas bisa saja memilih jalur lain. Mereka bisa memilih untuk membebaskan semua sandera, tetapi mereka malah memilih penolakan, teror, dan perang," kata Shoshani dalam sebuah pernyataan.
Kantor Netanyahu mengeklaim bahwa Hamas menolak proposal dari utusan Timur Tengah AS, Steve Witkoff, untuk memperpanjang jeda pertempuran. Hamas sendiri menyatakan bahwa pembebasan sandera seharusnya terjadi pada fase kedua yang telah disepakati Israel pada Januari, tetapi Israel sejak itu menolak membahas atau menerapkannya.
Fase pertama dari gencatan senjata yang disepakati Januari lalu melibatkan pembebasan 25 sandera Israel yang masih hidup dan pemulangan jenazah delapan sandera lainnya oleh kelompok militan Gaza, dengan imbalan pembebasan sekitar 1.900 tahanan Palestina dari penjara Israel.
Dalam fase kedua, rencananya akan dilakukan penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza, pembebasan seluruh sandera, dan penghentian perang secara permanen.
Namun, dengan dukungan AS, Israel justru mendorong pertukaran sandera dengan lebih banyak pembebasan tahanan Palestina serta jeda pertempuran selama 30 hingga 60 hari, sesuai dengan proposal Witkoff.
Bulan ini, Israel memblokir pengiriman bantuan ke Gaza dan memutus pasokan listrik yang tersisa guna menekan Hamas.
Pejabat Hamas, Taher al-Nunu, mengatakan bahwa komunitas internasional sedang menghadapi "ujian moral".
"Mereka bisa memilih untuk membiarkan kembalinya kejahatan yang dilakukan oleh tentara pendudukan, atau mereka bisa menegakkan komitmen untuk mengakhiri agresi dan perang terhadap rakyat tak bersalah di Gaza," ujar Nunu.
(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar