Kontaminasi MBG Kompleks, Unggah Foto Bukan Solusinya

tirto.id- Deret kasus keracunan dalam program Makan Siang Gratis (MBG) yang digagas pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka terus bertambah panjang. Kasus keracunan itu dilaporkan di sejumlah daerah, mulai dari Sukoharjo, Jawa Tengah, hingga di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Ketimbang bergegas melakukan evaluasi menyeluruh, pemerintah justru melontarkan ide jenaka. Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, baru-baru ini menyampaikan, pihaknya meminta kepada seluruh satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) dan mitra BGN untukmengunggah fotomaupun video mereka saat memasak MBG.
Menurutnya, hal itu perlu dilakukan sebagai bentuk transparansi dan kontrol bersama mengantisipasi kontaminasi racun di dalam makanan.
"Mulai dari IG [Instagram] dan Facebook, dan mereka wajib meng-uploadapa yang dimasak hari itu. Supaya menjadi kontrol bersama. Jadi, semua orang bisa mengontrol, semua orang bisa melihat, semua orang bisa membanding. Itu adalah mekanisme pertanggungjawaban kami," ungkap Dadan di Kompleks Akademi Militer (Akmil), Magelang, Jawa Tengah, Kamis (27/2/2025).
Dadan bilang, insiden siswa keracunan dan ditemukannya rambut di dalam kemasan MBG disebabkan ketidaksiapan SPPG maupun mitra MBG dalam memasak. Dia mengakui, para mitra tersebut hanya terbiasa memasak puluhan porsi. Namun, karena MBG mereka didesak untuk mengolah ribuan porsi.
Ketidaksiapan memproduksi makanan dalam skala besar memang perlu dicari solusinya. Dadan menyarankan agar setiap mitra BGN mempersiapkan penyajian makanan secara berjenjang. Persiapan itu bisa dimulai dari 100 porsi, kemudian meningkat hingga akhirnya ribuan porsi sesuai kebutuhan dengan siswa penerima MBG.
Masalahnya, saran saja tak cukup dalam mengatasi dan mencegah kasus keracunan di program MBG. Peneliti Center of Reform on Economics (CORE), Eliza Mardian, yang pernah meninjau langsung uji coba program MBG di daerah, mengatakan kasus keracunan MBG seharusnya dievaluasi, terutama yang terbaru di NTT.
“Di NTT blm siap. Masak mulai jam 2 pagi dengan kapasitas 3.000 porsi. karena ketidaksiapan dalam memproduksi skala besar sehingga ada yang makanannya belum matang sempurna, sehingga siang jadi basi dan bisa memicu penyakit,” ungkap Eliza.
Untuk beberapa daerah yang karakteristiknya tersebar jauh, Kata Eliza, tidak cocok menggunakan dapur terpusat dengan kapasitas 3.000 porsi. Model yang cocok yakni menggunakan dapur lokal milik masyarakat, yang memproduksi makanan sesuai jumlah anak di sekolah sekitar dapur. Kemudian yang memasak adalah ibu-ibu mereka.
Video dan Foto Tidak Bisa Menangkap Kontaminasi
Meski ide soal mengunggah foto dan video kemedia sosialbisa jadi upaya kontrol menu MBG, Pengamat kesehatan masyarakat cum anggota Pengurus Besar (PB) Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Iqbal Mochtar, berpendapat langkah ini tidak akan berjalan efektif.
Hal itu lantaran video dan foto hanya bersifat dua atau tiga dimensi, dan tidak akan meliputi bau dan rasa. Lebih jauh lagi, foto maupun video tak bakal bisa menangkap atau mengidentifikasi adanya kontaminasi.
“Kemudian tentu saja video dan foto ini diambil dalam keadaan yang terbaik, jadi orang yang buat itu kan pasti akan memfoto makanan yang terbaik, jadi bukan secara keseluruhan,” kata Iqbal saat dihubungiTirto, Jumat (28/2/2025).
Belum lagi, menurut Iqbal, kontaminasi merupakan proses kimiawi dan punya mata rantai yang teramat panjang. Kontaminasi bisa terjadi mulai dari adanya bahan baku, kemudian proses penyimpanan bahan baku, proses distribusi, hingga proses pengolahan.
“Apakah orang yang mengolah itu memiliki atau telah menerapkan standarhygieneyang baik ya. Kemudian lingkungan di mana dia diolah, kemudian saat diantarkan kepada resipien atau penerima makanan tersebut. Kemudian saat akan dimakan, apakah yang akan memakan itu mencuci tangan, apakah tangannya bersih,” terang Iqbal.
Jadi, pengecekan harusnya dilakukan di setiap tahapan tersebut. Penting untuk mengidentifikasi pada setiap titik, di proses mana kemungkinan keracunan itu terjadi. Dengan kata lain, perlu ditelusuri apakah kontaminasi terjadi pada bagian bahan bakunya, penyimpanannya, rantai distribusinya, pihak yang mengelola, atau pada orang yang menerima makanan tersebut.
Associate Professor Public Health dari Monash University Indonesia, Grace Wangge, pun mengungkap, gagasan mengunggah foto dan video proses memasak MBG ke media sosial tidak punya dasar yang jelas.
“Itu yang saya nggak tau, dasarnya apa gitu, hingga timbul ide itu. Atau karena cuma, ya karena biar dibilang transparan aja, jadi ditaruh di medsos. Padahal kalau mau transparansi, kita nggak cuma bilang medsos ya, transparansi ya harusnya ada di situs resminya,” kata Grace kepadaTirto, Jumat (28/2/2025).
Grace bilang, ide BGN seolah diutarakan secara spontan tanpa basis analisis. Cara ini pun dinilai Grace tak sensitif terhadap masalah tidak meratanya akses internet yang masih dijumpai di wilayah-wilayah tertentu. Menurut Grace, pada akhirnya yang termonitor adalah mereka-mereka yang punya koneksi internet bagus. Alhasil, tujuan transparansi tidak akan terwujud.
“Dan apakah data itu akan digunakan oleh BGN? Oke, dia monitor dari sekarang, kalau ketemu terus ya apa tindakannya? Sampai saat ini misalnya orang lapor, banyak makanan mentah lah, makanan basi, iya apa tindakannya? nggak ada lho,” kata Grace.
Perlu Standar Keamanan Pangan Khusus
Tanpa mekanisme yang jelas, gagasan soal transparansi MBG lewat unggahan foto dan video proses memasak memang bagai mencincang air, alias sia-sia. Eliza dari CORE menyatakan, daripada harus mengunggah video yang tidak jelas proses verifikasinya dan monitoringnya, pemerintah lebih baik fokus membuat standar keamanan pangan khususprogram MBG.
“BGN ini semestinya mengeluarkan standar keamanan pangan yang dikhususkan untuk program MBG. Sejauh ini masih mengacunya ke Permenkes No 2 tahun 2023. Tapi untuk kasus MBG semestinya ada standar khusus,” terang Eliza.
Ketika ada standar keamanan pangan sudah jelas, dimulai dari penyediaan bahan baku, penyimpanan, pengolahan, pengemasan, dan pendistribusian, maka makanan yang tersaji bisa sesuai dengan standar yang ada.
“Sejauh ini BGN belum mengeluarkan standar keamanan pangan yang memang didesain khusus untuk program MBG. Karena MBG ini kan model dapurnya bervariasi, ada yangcentral kitchen, ada juga yang menggunakan dapur eksisting milik UMKM [Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah]. Nah BGN perlu buat standar keamanan pangan yang bisa diterapkan ke semua jenis dapur,” kata Eliza.
Meski begitu, pemerintah sebaiknya tidak membuat standarisasi yang semakin mempersulit UMKM terlibat jadi penyedia MBG. Standar keamanan pangannya harus inklusif, sembari tetap menjaga kualitas gizi dan makanan.
“Tapi standar yang digunakan juga jangan standar tinggi semisal HACCP. Jika HACCP ini akan sulit bagi UMKM untuk bisa memenuhinya. Nah maka dari itu urgensi penyusunan standar keamanan pangan khusus MBG harus segera dibuat karena disesuaikan dengan kondisi di lapangan yang bervariasi, apalagi di daerah 3T,” terang Eliza.
Sementara itu, Iqbal mengatakan, hal lain yang bisa dilakukan untuk melakukan pengecekan yakni lewat uji sampel secara acak dari setiap makanan yang ada.
“Jadi tidak perlu untuk memeriksa semua tetapi kita ajakrandom sampleya beberapa makanan untuk mengujinya di laboratorium. Apakah memang itu terkontaminasi atau tidak. Dan saya kira yang tidak kalah pentingnya itu jangan hanya meminta apa pihak yang mengelola itu untuk mengirim video atau foto gitu, harus ada teknologi yang dipasang gitu ya pada tempat-tempat tertentu,” kata Iqbal.
Sebagai contoh, memasang kamera pada sebuah ruangan tempat memasak. Dari situ kemudian bisa terlihat siapa saja yang tidak sesuai dengan standar kemanan dan kebersihan. Misalnya standar orang memasak harus menggunakan penutup kepala atau menggunakan kaos tangan.
tirto.id- News
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Anggun P Situmorang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar