Pengamat Soroti Struktur Pengelolaan Danantara Beda dengan Negara Lain | kumparan

Pengamat Ekonomi, Yanuar Rizky, mengatakan salah satu masalah utama Danantara adalah struktur pengelolaannya yang tidak sesuai dengan praktik terbaik di banyak negara.
"Di banyak negara, fungsi pengelolaan SWF berada di bawah Menteri Keuangan. Namun, di Indonesia, justru Menteri BUMN yang memegang kendali," ujarnya dalam acara media briefing bertajuk "Danantara: SWF, BUMN atau Sapi Perah Baru?" secara virtual, Kamis (6/3).
Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang potensi abuse of power dan tumpang tindih wewenang. Yanuar menjelaskan bahwa di negara-negara seperti Norwegia, SWF dikelola secara profesional dengan melibatkan berbagai sumber dana, termasuk laba minyak dan iuran pensiun.
"Norwegia mengelola SWF-nya seperti BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan di Indonesia. Mereka menggabungkan dana dari berbagai sumber, termasuk laba minyak, untuk menciptakan stabilitas ekonomi jangka panjang," jelasnya.
Namun, di Indonesia, Danantara justru mengambil dana dari laba BUMN, yang seharusnya menjadi bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Yanuar mempertanyakan alasan di balik keputusan ini.
"Jika laba BUMN dialihkan ke Danantara, maka APBN akan kehilangan sekitar Rp90 triliun pada tahun 2025. Padahal, dana tersebut seharusnya digunakan untuk pembiayaan rutin dan pembangunan," ujarnya.
Selain itu, Yanuar juga menyoroti masalah efisiensi organisasi. "Ada Menteri BUMN yang masih memiliki kewenangan untuk menunjuk direksi dan komisaris BUMN, sementara operasional BUMN sudah dikelola oleh holding. Lalu, apa sebenarnya peran Menteri BUMN? Ini menunjukkan adanya ketidakefisienan dalam struktur organisasi," ungkapnya.
Masalah lain yang diangkat Yanuar adalah biaya overhead yang tinggi. "Dalam pengelolaan SWF, biaya overhead seperti remunerasi dan biaya operasional harus dikendalikan agar tidak mengurangi return yang seharusnya dinikmati oleh rakyat. Namun, dalam kasus Danantara, tidak ada komitmen untuk mengurangi biaya overhead ini," ujarnya.
Yanuar juga mempertanyakan keberadaan Dewan Penasihat dalam struktur Danantara. Di negara maju, sistem pengelolaan SWF biasanya menggunakan one-board system, yakni komisaris dan direksi berada dalam satu dewan.
"Namun, Danantara justru menambahkan Dewan Penasihat, yang akan menambah biaya operasional tanpa memberikan nilai tambah yang signifikan," jelasnya.
Lebih lanjut, Yanuar mengkritik keterlibatan tokoh-tokoh seperti Tony Blair dan Roy Dyblo dalam pengelolaan Danantara. "Tony Blair dan Roy Dyblo adalah profesional di bidangnya, tetapi kita harus memastikan bahwa mereka tidak melakukan insider trading atau praktik-praktik yang merugikan negara. Ini adalah aset negara, dan kita membutuhkan tata kelola yang baik untuk memastikan bahwa dana ini dikelola dengan benar," tegasnya.
Yanuar menegaskan bahwa pembentukan Danantara seharusnya didasarkan pada prinsip efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas. Pemerintah tidak bisa membangun kepercayaan publik jika dari awal sudah ada ketidakjelasan dalam tata kelola.
"Danantara harus dikelola secara profesional, dengan memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil bertujuan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir orang," pungkasnya.
Dengan demikian, Danantara memiliki potensi besar untuk menjadi instrumen penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Namun, tantangan dalam tata kelola, efisiensi, dan transparansi harus segera diatasi agar SWF ini dapat benar-benar memberikan manfaat bagi generasi sekarang dan mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar