Publik Respons Negatif Revisi UU TNI, Pengamat: Prabowo Harus Turun, Serap Aspirasi Rakyat
Kompas.tv - 24 Maret 2025, 15:29 WIB

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pengamat hukum dan politik Pieter C. Zulkifli mengingatkan Presiden Prabowo Subianto untuk cermat dalam merespons penolakan pengesahan revisi Undang-Undang TNI (UU TNI).
Menurut dia, Prabowo harus mengevaluasi proses revisi UU TNI bila ditemukan celah yang berpotensi bertentangan dengan semangat reformasi. Kemudian, mendekatkan diri kepada rakyat dengan menunjukkan kepemimpinan yang lebih membumi.
"Jangan hanya sibuk dalam rapat dan euforia kepemimpinan, tetapi juga harus turun langsung merasakan aspirasi rakyat," kata Pieter dalam keterangannya, Senin (24/3/2025).
Dia mengingatkan, Presiden Prabowo harus berhati-hati dalam membaca situasi agar tidak terjebak dalam dinamika politik yang bisa mengancam stabilitas pemerintahannya.
Ia menduga ada gerakan politik tersembunyi yang berpotensi melemahkan legitimasi kekuasaan Prabowo.
Baca Juga: [FULL] DPR 1 Suara Sahkan UU TNI di Tengah Penolakan, Mahasiswa UI: Ini yang Jadi Kejanggalan
Menurutnya, sejarah mencatat, Indonesia kerap berada dalam dilema antara kepentingan kekuasaan dan semangat reformasi.
"Salah satu isu yang paling mengundang kegelisahan publik adalah perluasan cakupan jabatan sipil yang boleh diisi oleh prajurit TNI aktif. Dari sebelumnya hanya 10 institusi, kini diusulkan menjadi 15," katanya.
Ia juga menyoroti tambahan lembaga seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kejaksaan Agung (Kejagung), yang dinilainya menimbulkan pertanyaan apakah masih sesuai dengan semangat reformasi.
Sejak reformasi 1998, kata Pieter, negara telah sepakat bahwa TNI harus kembali ke barak dan fokus pada tugas pertahanan negara.
Reformasi TNI tegas menolak keterlibatan prajurit aktif dalam jabatan sipil. Namun, revisi UU TNI justru memberi ruang bagi TNI untuk mengisi posisi strategis di kementerian dan lembaga sipil.
"Salah satu aspek yang mengundang kekhawatiran adalah bagaimana kebijakan ini dibuat dengan pola pikir post factum, sesuatu yang sudah dilakukan terlebih dahulu, lalu baru dicari dasar hukumnya," kata mantan Ketua Komisi III DPR RI tersebut.
Ia mengatakan, sejak era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), penempatan prajurit TNI aktif di kementerian dan lembaga sudah berjalan. Namun, kini ada upaya memberikan legitimasi formal melalui UU TNI yang baru.
"Pendekatan ini jelas berbahaya. Kebijakan semestinya dibuat berdasarkan kajian mendalam sebelum diimplementasikan, bukan sebaliknya. Jika cara berpikir ini terus digunakan, maka akan ada banyak kebijakan lain yang justru mengikis prinsip demokrasi dan supremasi hukum," katanya.
Pieter menegaskan banyak pihak yang menolak revisi UU TNI bukan karena ingin membatasi peran TNI, tetapi karena khawatir akan kembalinya dominasi militer dalam pemerintahan sipil.
"Di Senayan, RUU ini memang sudah diajukan sejak era Presiden Jokowi. Namun, mengapa baru sekarang muncul gelombang penolakan besar? Mengapa ketika Polri masih banyak ditempatkan di lembaga negara, tidak ada protes sebesar ini? Ada indikasi bahwa ada pihak yang mencoba memanfaatkan isu ini untuk mendelegitimasi kepemimpinan Prabowo," ujarnya.
Pieter juga mencermati spekulasi bahwa ada gerakan di balik layar untuk menggoyang pemerintahan Prabowo. Ia menduga keputusan revisi UU TNI adalah bagian dari strategi politik dan intelijen tertentu yang ingin menciptakan instabilitas di awal pemerintahan.
"Prabowo harus berhati-hati dalam membaca situasi ini. Jangan sampai kebijakan yang terlihat kecil justru menjadi titik lemah yang dimanfaatkan lawan politiknya," katanya.
Baca Juga: Maruarar Siahaan Sebut UU TNI Bisa Dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat: Kalau Netralitas MK Kokoh
Sebelumnya, situasi mencekam terjadi pascademonstrasi penolakan UU TNI di Gedung DPRD Kota Malang, Minggu (23/3/2025). Laporan menyebutkan, kekerasan tidak hanya dialami oleh demonstran, tetapi juga tim medis, jurnalis, dan pendamping hukum yang bersiaga di lokasi.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Indonesia melalui siaran pers mengungkapkan, pascakericuhan, aparat gabungan polisi bersama TNI melakukan penyisiran dan membubarkan massa aksi sekitar pukul 18.40 WIB.
Penyisiran dilakukan di beberapa titik seperti Balai Kota Malang, Jalan Suropati, Jalan Sultan Agung hingga Jalan Pajajaran.
"Sejumlah massa aksi ditangkap, dipukul dan mendapatkan ancaman. Tim medis, pers, dan pendamping hukum yang bersiaga di Halte Jl. Kertanegara juga mendapati pemukulan, kekerasan seksual dan ancaman pembunuhan (verbal)," kata YLBHI, Minggu, dikutip dari siaran pers LBH Malang di media sosial X.

Kami memberikan ruang untuk
Anda menulis
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Daftar di sini
Sumber : Kompas TV
Tidak ada komentar:
Posting Komentar