DPR Kesal Penerimaan & Rasio Pajak Turun, Padahal Bisa Surplus

tirto.id - Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Mukhamad Misbakhun, menyoroti penerimaan pajak yang hanya mencapai Rp451,1 triliun pada April 2025. Capaian penerimaan tersebut anjlok 27,73 persen menjadi dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya mencapai Rp624,2 triliun.
Seiring dengan minusnya penerimaan pajak, rasio pajak atau tax ratio Indonesia juga mengalami stagnasi. Bahkan cenderung mengalami penurunan.
Pada kuartal I 2025 misalnya, tax ratio tercatat hanya sebesar 7,09 persen, seiring dengan ekonomi Indonesia yang hanya tumbuh di level 4,87 persen. Padahal, pada 2005 dan 2008, tax ratio Indonesia sempat mencapai dua digit, yang masing-masing sebesar 12,74 persen dan 13,05 persen.
"Kalau kita perhatikan, PDB kita selalu tumbuh setiap tahunnya. Penerimaan pajak kita menurut target APBN selalu tumbuh, naik. Tapi, tax ratio kita stagnan, di saat kuenya (penerimaan) bertambah," ujar Misbakhun, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, di Komplek Parlemen, Jakarta Pusat, dikutip Kamis (8/5/2025).
Menurut politisi Partai Golkar tersebut, semua upaya yang ingin dijalankan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Suryo Utomo, untuk menggenjot penerimaan sekaligus rasio pajak seperti melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan telah disetujui DPR. Namun, pemerintah masih saja gagal mengerek rasio pajak nasional.
"Nah, inilah kalau menurut saya bahan kita ke depan. Bagaimana pak? Kita meningkatkan ini. Semua senjata sudah bapak minta dan kita berikan. Akses perbankan dan sebagainya. Ini kalau kita membicarakan lagi soal yang halaman intensifikasi wajib pajak dan sebagainya," sambung Misbakhun.
Padahal, ketika rasio pajak terkerek setidaknya mencapai 16,75 persen dan penerimaan pajak mampu mencapai Rp3.500 triliun serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp4.000 triliun, dengan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp22.000 triliun, Indonesia akan menjadi negara dengan perekonomian yang sangat besar.
Tidak hanya itu, dengan PDB Indonesia sebesar Rp3.621,3 triliun dan rasio dan penerimaan pajak yang lebih baik, Indonesia setidaknya dapat mencapai surplus lebih dari Rp500 triliun. Dengan kondisi ini, maka Indonesia tidak perlu membuka 'dompet' untuk merilis Surat Berharga Negara (SBN) yang biasa menjadi jalan keluar saat APBN mengalami defisit.
Untuk diketahui, pada APBN 2025, pemerintah merancang defisit anggaran senilai Rp616,19 triliun atau 2,53 persen PDB.9 "(Seharusnya di 2025) surplus APBN kita, surplusnya lebih dari Rp500 triliun. Kita tidak perlu membuka dompet apapun di SBN (penerbitan utang)," klaim Misbakhun.
Dengan hitung-hitungan tersebut, maka tidak ada lagi alasan ke depan APBN kita defisit. Sebab seluruh pertukaran informasi dalam upaya mendorong penerimaan dan meningkatkan tax ratio dari DPR sudah diberikan.
"Bagaimana? Apa yang Bapak butuhkan lagi dari ruang politik ini untuk bisa mencapai yang ideal tadi? Bapak minta automation exchange of information kita kasih. Membuka data keuangan kita kasih semuanya. Inilah kalau menurut saya, yang secara holistic, comprehensive harus kita selesaikan," cerca Misbakhun kepada Suryo.
tirto.id - Ekonomi
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Dwi Aditya Putra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar