Kesehatan
Giliran Guru Besar & Mahasiswa PPDS Kedokteran Unhas Soroti Kebijakan Kemenkes, Endus Aroma Ketidakharmonisan - Merdeka

Dalam kurun waktu 6 tahun terakhir, mereka menilai muncul ketidakharmonisan dengan sejumlah pihak menyangkut kebijakan pendidikan kedokteran dan kesehatan.
Setelah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, giliran sejumlah guru besar Fakultas Kedokteran dan mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Hasanuddin Makassar kompak membuat pernyataan terkait sistem pendidikan kedokteran Indonesia.
Dekan Fakultas Kedokteran Unhas Prof Haerani Rasyid menyebut dalam kurun waktu 6 tahun terakhir muncul ketidakharmonisan dengan sejumlah pihak menyangkut kebijakan pendidikan kedokteran dan kesehatan.
"Tentunya kami mengamati bahwa proses pendidikan kedokteran dan kesehatan dalam kurun waktu 6 tahun ini semakin memburuk dan tidak adanya ketidakharmonisan antara pihak-pihak yang terkait," ujarnya kepada wartawan di Halaman Fakultas Kedokteran Unhas, Selasa (20/5).
Setidaknya ada enam poin penyataan sikap yang disampaikan guru besar FK Unhas dalam aksi tersebut. Meski demikian, ada satu poin paling krusial terhadap pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan.
"Sebenarnya semuanya krusial, sehingga kami mempoinkan sikap tersebut dalam 6 poin. Tapi yang terutama tentunya adalah 5 poin," kata dia.
Sekadar diketahui enam poin pernyataan sikap guru besar FK Unhas yakni, pertama Institusi pendidikan kedokteran telah dan selalu siap untuk menghasilkan sumber daya manusia bagi pembangunan kesehatan bangsa. Kedua, semua pihak yang terkait wajib bersinergi dan menjaga keharmonisan untuk mencapai tujuan pendidikan dokter dan dokter spesialis untuk kesehatan dokter/dokter spesialis yang berkompetensi tinggi guna memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.
"Semua pihak terkait saling menghargai sesuai tugas pokok dan fungsi serta tidak saling menyalahkan antara satu dan lainnya yang dapat menimbulkan polemik yang tidak produktif serta tidak menyelesaikan masalah fundamental pendidikan kedokteran dan layanan kesehatan," ujar Prof Haerani.
Poin keempat, masing-masing pihak memperbaiki hal-hal yang menjadi kekurangan dalam pelaksanaan pendidikan dokter dan dokter spesialis serta pelayanan kesehatan sesuai ruang lingkup kerja. Kelima, pihak terkait seharusnya mengedepankan komunikasi dialogis yang setara dalam setiap pengambilan kebijakan yang tidak produktif.
"Pembentukan independensi kolegium, penyelenggaraan pendidikan dokter spesialis, kompetensi tambahan bagi dokter umum yang mestinya harusnya secara ilmiah harus dianalisis dan serta pembukaan hospital base pada humas rumah sakit vertikal yang telah melakukan pendidikan university base," sebutnya.
Poin keenam, Civitas Akademika FK Unhas telah dan selalu bertekad untuk senantiasa memperbaiki kekurangan yang ada, terbuka terhadap berbagai masukan konstruktif dalam penyelenggaraan pendidikan kedokteran, dalam semangat pembinaan sumber daya manusia Dokter dan Dokter Spesialis yang berkualitas untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat di Indonesia.
Sementara itu, Dokter Residen Forensik dan Medikolegal FK Unhas, Irvan Wahyu Jatmiko menyebut Menkes Budi Gunadi Sadikin menunjukkan sikap arogansi pada dunia pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan. Bahkan, Irvan menyebut keputusan Budi Gunadi Sadikin tidak mencerminkan sebagai Menkes.
"Beliau hanya mengalihkan tugas dan fungsi utamanya sebagai seorang pembantu presiden. Lalu hanya fokus terhadap isu-isu bullying, isu-isu bahwa dokter itu tidak melayani masyarakat. Padahal tugas beliau adalah meningkatkan kualitas layanan masyarakat," ucapnya.
Irvan juga meminta Kementerian Kesehatan tidak melakukan intervensi kegiatan akademik Fakultas Kedokteran seluruh Indonesia, khususnya Unhas. Irvan mengaku tak ingin independensi dokter residen di dunia akademik tercederai karena alasan politis.
"Begitu banyak senior-senior kami sekarang yang dimutasi. Begitu banyak rekan-rekan sejawat kami yang diperlakukan tidak adil. Padahal tugas Menkes bagaimana bisa tugas utama beliau adalah bagaimana bisa mensejahterakan masyarakat dalam dunia kesehatan," ucapnya.

Menkes Budi Gunadi mengatakan, kebijakannya itu didasarkan kepentingan 280 juta masyarakat.
Perwakilan Guru Besar FKUI Siti Setiati menyinggung, soal pendidikan dokter dan dokter spesialis tidak dapat disederhanakan.
Budi menegaskan, seharusnya para dokter PPDS diajari atau diawasi langsung oleh konsulen atau guru.
Kemenkes juga meminta agar Undip mengontrol obrolan di grup WhatsApp peserta PPDS.
IDI Jabar memastikan praktik itu bukanlah tradisi yang seharusnya ada.
Kematian korban berinisial AR yang ditemukan pada Senin (12/8) lalu diduga berkaitan dengan perundungan di tempatnya menempuh pendidikan.
Meski kecewa, IDI mengaku siap mengawal penerapan UU Kesehatan ini hingga ke tingkat cabang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar