Ketua Majelis Adat Sasak: Merariq Disalahartikan, Mestinya Tak Terjadi Pernikahan Usia Anak
/data/photo/2025/05/25/6832e76d9022b.jpg)
/data/photo/2025/05/25/6832e76d9022b.jpg)
MATARAM, KOMPAS.com - Ketua Majelis Adat Sasak (MAS) Lalu Sajim Sastrawan menyayangkan pernikahan usia anak yang terus terjadi dan belakangan viral di media sosial serta menjadi sorotan publik.
"Mestinya pernikahan usia anak ini tidak perlu terjadi, jika semua pihak duduk bersama, mencari solusi, jalan keluar terbaik," kata Sajim pada Kompas.com, Senin (26/5/2025).
Sajim mengatakan, pernikahan usia anak itu bisa diantisipasi dengan menerapkan tradisi kawin gantung, yakni orangtua bersepakat menikahkan anak-anak mereka, tetapi setelah dewasa, setelah mereka sudah siap sebagai pasangan suami istri.
Baca juga: Viral Pernikahan Dini di Lombok, Ayah Pengantin Terpaksa Nikahkan Anak karena Tradisi Kawin Culik
"Itu tradisi yang dilakukan oleh para bini sepuh bangsa Sasak dulu. Jadi, kawin gantung itu, anak-anak di bawah umur dipelihara oleh orangtua mereka dan dianggap sudah siap sebagai suami istri," jelasnya.
Istilah ini mirip dengan pertunangan. Para orangtua meniatkan pernikahan anak-anak mereka untuk menyambung persahabatan dan silaturahmi.
Baca juga: Heboh Pernikahan Anak di Lombok Tengah, Orangtua Pengantin Wanita Ungkap Fakta Kawin Lari
MAS juga tidak sepakat dengan istilah kawin culik atau kawin lari. Menurutnya, tradisi merariq adalah kesepakatan antara laki-laki dan perempuan dewasa atau yang telah cukup umur untuk melangsungkan pernikahan dengan tradisi adat yang disebut merariq.
"Tradisi Merariq itu di mana pihak laki-laki dan keluarganya akan membawa perempuan meninggalkan keluarganya setelah mereka bersepakat dan telah merasa cocok untuk menempuh hidup baru. Bukan laki-laki membawa perempuan ke suatu tempat atau ke rumah keluarganya berdua saja. Ada orang lain (perempuan), entah itu ibunya atau keluarga laki-laki (yang perempuan) ikut serta saat membawa perempuan pilihannya untuk menikah. Bukannya mereka berdua saja, apalagi masih di bawah umur, itu bukan merariq namanya," jelas Sajim.
Tata cara membawa gadis pilihannya inilah yang saat ini oleh anak-anak muda bahkan anak di bawah umur disalahartikan dan disalahpahami sebagai tradisi adat merariq.
Kata Sajim, hal ini memang menjadi persoalan semua pihak. Sosialisasi pemahaman adat istiadat ini tidak bisa hanya dari Majelis Adat Sasak yang bisa melakukan upaya itu. Menurutnya, pemerintah dan tokoh agama harus bersinergi.
Di masyarakat Lombok, jika anak gadis dibawa pergi dan tidak ada kabar selama 2 kali dalam 24 jam, maka akan terjadi dua proses bersamaan.
Pertama, laki-laki yang telah membawa gadis pilihannya merariq akan melakukan rembuk keluarga dan melaporkan kepada kepala dusun setempat di tempat tinggalnya bahwa anak laki-laki mereka telah membawa anak gadis pilihannya untuk menikah.
Kepala dusun dalam hal ini adalah kepanjangan tangan dari pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat atau disebut sejati.
Sementara pihak keluarga perempuan juga telah melapor jika anak gadisnya telah pergi meninggalkan rumah selama 2 hari 2 malam, yang disebut selabar.
Kemudian, pihak dusun asal laki-laki menyiapkan tim untuk melapor ke kepala dusun si gadis, melaporkan bahwa anak gadis yang hilang telah dibawa oleh pujaan hatinya dan bersepakat untuk menikah.
"Proses inilah yang disebut Sejati Selabar, acara adat dalam tradisi Merariq. Jadi, sangat arif dan bijaksana memperlakukan perempuan yang telah dibawa untuk menikah," kata Sajim.
Perkembangan zaman memang telah mengubah banyak hal. Ada hal yang dahulu dianggap tabu, di zaman ini semua dianggap biasa, dan orangtua sulit mengawasi anak-anaknya karena perkembangan zaman yang terus berkembang.
H. Safwan, tokoh adat di Lombok yang juga kerap mengikuti prosesi adat Sejati Selabar, mengatakan apabila adat tradisi dijalankan dengan benar dan tidak disalahgunakan, maka tidak akan terjadi kawin usia anak itu.
Bahkan, dalam adat Suku Sasak pada zaman dahulu, perempuan yang bisa menikah adalah mereka yang telah mampu menenun 1 saok atau satu peti kain tenun khas Lombok.
Jika dihitung waktunya, perempuan telah cukup umur atau telah berusia 20 tahun, karena proses menenun hingga menghasilkan 1 peti kain tenun tidaklah mudah.
"Artinya, anak-anak gadis diizinkan menikah ketika sudah matang, sudah siap menjalani hidup bersama pasangannya," katanya.
Meski teknologi terus berkembang dan zaman terus berubah, jika anak-anak itu diberikan pemahaman soal banyak hal negatif ketika mereka menikah belum cukup umur, maka tidak akan ada pernikahan usia anak.
"Edukasi antara pemahaman adat dan edukasi bahayanya pernikahan dini mesti bersinergi. Kita semua tidak boleh abai," kata Safwan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.