Dunia Internasional,
Pengangguran Pemuda China Meningkat, Sistem Pendidikan Jadi Sorotan | Halaman Lengkap

Pengangguran pemuda China meningkat, sistem pendidikannya menjadi sorotan. Foto/Yoshiko Kawano via Nikkei Asia
- Agenda pertumbuhan ekonomi ambisius
Chinamenghadapi hambatan krusial terkait sumber daya manusia. Keterampilan dan pola pikir para pekerja di China dibentuk oleh sistem pendidikan yang sangat terpusat dan ideologis, yang cenderung mengecilkan kemampuan praktis serta kreatif.
Meski telah terjadi ekspansi besar-besaran dalam pendaftaran universitas selama beberapa dekade terakhir, lulusan pendidikan tinggi China kerap kekurangan kompetensi vokasional dan keterampilan berpikir kritis yang penting bagi inovasi dan kewirausahaan.
Mengutip dari Hamrakura, Rabu (21/5/2025), ketidaksesuaian ini telah berkontribusi terhadap krisis pengangguran kaum muda yang sangat dikecilkan angkanya oleh data-data resmi pemerintah China, dengan tingkat pengangguran riil untuk kelompok usia 16 hingga 24 tahun diperkirakan mencapai 46,5 persen.
Baca Juga: China Sembunyikan Data Pengangguran Kaum Mudanya, Ada Apa?
Di saat yang sama, kelebihan pendaftaran di institusi berkualitas rendah di China telah menghasilkan kelebihan lulusan yang kurang siap menghadapi tuntutan pasar, semakin melemahkan prospek dinamisme ekonomi berkelanjutan.
Data resmi menunjukkan bahwa tingkat pengangguran pemuda perkotaan China untuk usia 16 hingga 24 tahun memuncak pada angka 21,3 persen pada Juni 2023, sebelum data tersebut dihentikan dan dikalibrasi ulang dengan mengecualikan populasi mahasiswa.
Namun, Profesor Zhang Dandan dari Universitas Peking, berpendapat bahwa jika semua pemuda yang menganggur diperhitungkan, tingkatnya bisa mencapai 46,5 persen pada Maret 2023.
Bahkan setelah perubahan metodologi, perkiraan dari lembaga pemikir dan agen tenaga kerja di kota besar seperti Shenzhen menunjukkan bahwa kurang dari 30 persen lulusan baru mendapatkan pekerjaan sebelum lulus.
Persaingan ketat untuk pekerjaan bergengsi di sektor pegawai negeri—dengan sebanyak 65 pelamar untuk setiap posisi—menunjukkan tingkat keputusasaan yang mendorong banyak anak muda menjauh dari jalur teknis atau kewirausahaan.
Meski terjadi kekurangan keterampilan akut di sektor manufaktur, teknologi, dan jasa, pemuda China secara mayoritas tetap lebih memilih peran di pemerintahan dan perusahaan milik negara ketimbang jalur vokasional.
Ledakan Jumlah Lulusan
Sebuah survei Universitas Stanford menemukan bahwa 64 persen lulusan menargetkan pekerjaan di sektor negara, meninggalkan perguruan vokasi kekurangan peminat meskipun industri sangat membutuhkan teknisi.
Baca Juga: 10 Tanda Mengkhawatirkan Meningkatnya Kemiskinan di China
Pendaftaran di pendidikan vokasional memang meningkat—pada 2022, institusi vokasi menerima lebih dari 76.000 siswa, meningkat 84 persen dari tahun sebelumnya—namun sering kali tanpa selaras dengan kebutuhan industri. Ketidaksesuaian ini melemahkan pasokan tenaga kerja terampil, berkontribusi terhadap kekosongan posisi di sektor-sektor kunci.
Tingkat pendaftaran pendidikan tinggi bruto China meningkat dari hanya 2,7 persen pada 1978 menjadi lebih dari 60 persen pada 2023, mencerminkan ekspansi besar dalam pendidikan tinggi.
Menurut data Bank Dunia, tingkat pendaftaran pendidikan tinggi bruto China mencapai sekitar 54 persen pada 2021, melampaui banyak negara berpendapatan menengah.
Namun pertumbuhan ini didorong oleh dorongan pendaftaran yang cepat, bukan oleh peningkatan bertahap dalam kapasitas pengajaran. Universitas memperlakukan penerimaan sebagai sumber pendapatan, menerima mahasiswa tanpa memastikan ketersediaan dosen atau sumber daya yang memadai, yang mengakibatkan jumlah lulusan yang membengkak tetapi dengan kompetensi dunia nyata yang terbatas.
Laporan menunjukkan kekurangan kronis dosen berkualitas, terutama di bidang baru seperti kecerdasan buatan dan energi terbarukan, karena keterbatasan anggaran dan kendali rekrutmen yang terpusat.
Kurikulum tetap sangat teoritis, mencerminkan penekanan berlebihan pada persiapan ujian daripada pembelajaran langsung. Hal ini membuat lulusan mahir dalam hafalan tetapi belum teruji dalam pemecahan masalah, kerja tim, atau kemampuan beradaptasi—keterampilan yang semakin dihargai oleh pemberi kerja global.
Selaras dengan Narasi Partai
Pelajar China secara rutin meraih nilai tinggi dalam ujian standar—seperti hasil PISA yang unggul dalam matematika dan membaca—namun tertinggal dalam penilaian berpikir kreatif dan kritis.
Hafalan mekanis yang melekat dalam pembelajaran karakter Tionghoa, ditambah dengan pedagogi yang berfokus pada ujian, memperkuat pembelajaran permukaan ketimbang analisis mendalam.
Dalam sebuah studi komparatif, pelajar dari daratan China tertinggal dari rekan-rekannya di kawasan berprestasi tinggi lainnya dalam penilaian berpikir kreatif, mengindikasikan kesenjangan inovasi yang mengkhawatirkan.
Sejak 2021, otoritas China memperketat pengawasan ideologis terhadap universitas, mewajibkan mata kuliah “Pemikiran Xi Jinping” dan secara ketat mengatur wacana kampus agar selaras dengan narasi partai.
Politikasi ini menekan perdebatan, menghambat perbedaan pendapat, dan membiasakan mahasiswa menerima perintah dari atas ketimbang mempertanyakan asumsi—bertentangan dengan rasa ingin tahu dan keberanian mengambil risiko yang mendorong terobosan.
Studi dari ScienceDirect mencatat bahwa pendidikan ideologis dan politik meresapi semua jenjang, sering kali dengan mengorbankan inovasi pedagogis dan kebebasan akademik.
Kendali negara atas media dan platform daring juga menjangkau ruang kelas, di mana buku teks dan materi pengajaran menghindari topik sensitif dan konten yang dianggap kontra-revolusioner.
Human Rights Watch mendokumentasikan kasus pelajar China di luar negeri yang melakukan sensor diri untuk menghindari pembalasan, menunjukkan bagaimana penindasan ini melampaui batas daratan dan menghambat pembelajaran lintas budaya.
Di dalam negeri, iklim ini mengikis kepercayaan terhadap penelitian ilmiah dan membuat akademisi berbakat enggan mengejar jalur riset yang tidak konvensional.
Siklus Pengangguran
Konsekuensi dari kekurangan sistemik dalam pendidikan ini terlihat dalam melambatnya inovasi. Dalam Indeks Inovasi Global 2024, China berada di peringkat antara ke-6 dan ke-12 secara global, tampil jauh lebih baik dalam output daripada input—menyoroti ketegangan antara ambisi riset dan keterampilan dasar tenaga kerjanya.
Investasi asing langsung juga menurun: arus masuk FDI merosot 13,7 persen pada 2023 dan turun lagi 29,1 persen pada 2024, mencerminkan kekhawatiran investor terhadap ketidakpastian regulasi dan pasar tenaga kerja yang tidak pasti.
Sementara itu, sektor properti—penggerak tradisional lapangan kerja—menghadapi perlambatan berkepanjangan, dengan volume penjualan dan pendapatan dari penjualan tanah pemerintah merosot tajam, semakin melemahkan penciptaan lapangan kerja.
Sistem pendidikan China berada di persimpangan jalan: mempertahankan kontrol ideologis yang ketat dan pendekatan berbasis ujian mungkin melindungi ortodoksi partai, tetapi menghambat keterampilan praktis dan semangat inovatif yang penting bagi pertumbuhan ekonomi generasi berikutnya.
Untuk menghindari “jebakan pendapatan menengah” dan mewujudkan ambisi kepemimpinan teknologi, Beijing harus beralih ke kurikulum yang menekankan pelatihan vokasi, pemikiran kritis, dan kebebasan akademik.
Ini membutuhkan pelonggaran kendala ideologis, investasi dalam pengembangan dosen, dan penguatan kemitraan antara akademisi dan industri. Tanpa reformasi semacam itu, China berisiko terus terjebak dalam siklus pengangguran lulusan dan inovasi yang terhambat, merusak kebangkitan ekonomi yang mereka dambakan.
(mas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar