Rumor Indonesia Kejar Lisensi Produksi KAAN Membuat Posisi Su-35 Makin Terlupakan Bahkan Tersingkir - Zona Jakarta
Rumor Indonesia Kejar Lisensi Produksi KAAN Membuat Posisi Su-35 Makin Terlupakan Bahkan Tersingkir - Zona Jakarta
ZONAJAKARTA.com - Indonesia kian santer diberitakan mengincar jet tempur generasi kelima buatan Turki yakni KAAN.
Tidak hanya sekedar membutuhkan unit pesawat, lisensi produksi KAAN juga tidak kalah penting untuk dikejar demi kemajuan industri dirgantara tanah air.
Keinginan memiliki lisensi produksi KAAN seolah mengisyaratkan bahwa posisi Su-35 yang kontraknya bahkan sudah ditandatangani Indonesia sejak awal 2018 semakin terlupakan bahkan tersingkir.
Baca Juga:
Peristiwa kunjungan Presiden RI Prabowo Subianto ke Istana Kepresidenan Turki di Ankara pada Kamis, 10 April 2025 waktu setempat semakin menguatkan minat Indonesia terhadap KAAN.
Apalagi Presiden Prabowo sendiri pernah mengungkapkannya secara langsung ketika masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) RI di era pemerintahan Jokowi.
Keinginan itu kemudian disampaikan kembali ketika bertemu dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
"Indonesia berkeinginan untuk ikut serta dalam kerja sama pengembangan jet tempur generasi kelima KAAN, dan juga pembangunan, pengembangan kapal selam bersama industri Turki," kata Presiden Prabowo sebagaimana dikutip ZONAJAKARTA.com dari laman Antaranews.com edisi Jumat, 11 April 2025 dalam artikelnya yang berjudul "Prabowo ingin RI ikut serta bangun jet tempur generasi 5.0 Turki".
Ankara sendiri juga sudah menawarkan KAAN sejak beberapa tahun yang lalu.
Hanya saja ketika itu, Jakarta belum memberikan respons apapun terkait penawaran pesawat buatan Turkish Aerospace Industries (TAI) ini lantaran masih harus membereskan proses pengadaan Rafale yang akhirnya tuntas pada awal Januari 2024.
Baca Juga:
Sebelum resmi mengakuisisi Rafale, Indonesia juga berkeinginan untuk membeli sebelas unit jet tempur generasi 4,5 buatan Rusia yakni Su-35.
Dari nilai kontrak yang disepakati yakni sebesar 1,1 miliar dolar AS, pemerintah berniat untuk membayar sebagian di antaranya dengan skema barter komoditas.
Akan tetapi dalam praktiknya, tak semudah itu transaksi barter bisa dilakukan.

Menurut informasi dari laman Military Watch Magazine melalui artikel berjudul "A New Phase in Indonesia’s Long Effort to Purchase Russian Su-35 Fighters: Contract Confirmed Still in Effect" yang dimuat pada 9 Mei 2024, persoalan administrasi menjadikan Indonesia belum kunjung mengeksekusi kontrak pengadaan Su-35.
Sekalipun Kemhan RI sudah menyetujui sebagian sumber pembayaran dari komoditas dagang, masih diperlukan persetujuan dari Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Bahkan masih harus ditambah dengan persetujuan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Ketika pandemi Covid-19 melanda dunia, situasi semakin tidak memungkinkan untuk melanjutkan pembelian pesawat buatan Sukhoi itu.
Pasalnya mayoritas APBN pada tahun 2020 hingga 2021 cenderung dialokasikan untuk penanggulangan dan pemulihan dampak Covid-19.
Belum lagi bicara mengenai potensi Indonesia terkena sanksi Amerika Serikat berdasarkan regulasi The Countering America's Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) apabila akuisisi Su-35 dipaksakan.
Namun di sisi lain, Moskow masih mengharapkan respons positif dari Jakarta karena menganggap kontrak belum benar-benar dibatalkan.
Baca Juga:
Sementara itu, Indonesia memang sempat mengincar F-35 sebagai alternatif pengganti Su-35.
Bahkan pada tahun 2021, kontrak nyaris disepakati namun mendapat pertentangan dari sejumlah pakar terkait fitur siluman yang terdapat di dalamnya.
Melansir artikel berjudul "Indonesia troubled by F-35s and real-time data transmission" yang dimuat oleh laman Bulgarian Military pada 22 September 2024, fitur Autonomic Logistics Information System (ALIS) dan Operational Data Integrated Network (ODIN) memiliki efek samping berbahaya bagi keamanan nasional.
Sebab keduanya memungkinkan sesama pengguna F-35 untuk saling berbagi data mengenai operasi, status teknis, hingga riwayat maintenance.
Ketiga data tersebut juga terkoneksi dengan server di Kementerian Pertahanan Amerika Serikat (Pentagon).
Ini memungkinkan Negeri Paman Sam untuk mengendalikan kebijakan sebuah negara yang menggunakan jet tempur generasi kelima buatan Lockheed Martin itu.
Sehingga pada akhirnya Indonesia harus membatalkan rencana ini dan beralih ke Rafale.

Meski demikian, Rafale masih dikategorikan sebagai jet tempur generasi 4,5 sehingga dibutuhkan KAAN yang jauh lebih canggih.
Tidak hanya sekedar bermanfaat bagi TNI AU, namun juga kemajuan industri dirgantara nasional melalui PT Dirgantara Indonesia (PTDI).
Kemudahan memperoleh lisensi produksi KAAN juga sangat terbuka lebar dengan berdirinya kantor cabang TAI di markas PTDI yakni Bandung, Jawa Barat sejak Agustus 2024.
Hal tersebut memudahkan sumber daya manusia (SDM) dalam negeri untuk meningkatkan kapasitasnya dalam membangun produk pesawat kelas dunia untuk TNI AU bahkan mengekspornya ke negara-negara besar lainnya.
Benefit tersebut tidak akan mungkin didapat dari pembelian F-35 karena Lockheed Martin menguasai rantai pasok secara terpusat.
Sementara Su-35 yang juga terdapat benefit transfer teknologi dari Sukhoi, sudah dianggap tidak lagi relevan dengan situasi pertempuran masa kini.
Yang membuat upaya membeli pesawat asal Rusia itu sudah tak lagi menjadi prioritas.***