Pendidikan,
TNI AD Klarifikasi, Cara Didik Siswa Bermasalah Bukan Ala Militer tapi Cuma Pendidikan Karakter - Halaman all - TribunNews

TRIBUNNEWS.COM - Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat (AD), Brigjen Wahyu Yudhayana, menjelaskan, program pendidikan untuk siswa bermasalah yang digagas oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, tidak menggunakan pendidikan ala militer.
Melainkan, bentuk pendidikannya ada pendidikan karakter, Disiplin, dan Bela Negara Kekhususan yang mengedepankan pendekatan bimbingan.
“Pendidikan pembentukan karakter dan kedisiplinan ini bukan merupakan bentuk pendidikan militer atau pendidikan ala militer, walaupun dilaksanakan di lingkungan Asrama Militer,” ujar Kepala Dinas Penerangan TNI AD, Brigjen Wahyu Yudhayana, Jumat (2/5/2025).
Nantinya, kegiatan ini akan berfokus pada pendekatan personal dan kelompok melalui bimbingan serta pengasuhan, bukan indoktrinasi bersenjata.
Untuk materi yang akan diajarkan, mencakup kegiatan yang umum ditemukan di lingkungan pendidikan formal.
Di antaranya adalah pelajaran kelas, konseling, motivasi, latihan baris-berbaris, penyuluhan bahaya narkoba, wawasan kebangsaan, hingga permainan kelompok dan outbond.
“Materi pendidikan diberikan layaknya kegiatan sekolah. Ini murni program pembentukan karakter yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa, bukan pelatihan militer,” jelas Wahyu.
Diketahui, para peserta juga mengikuti program ini secara sukarela, dengan persetujuan tertulis dari orang tua.
Adapun, program ini menyasar siswa-siswi SMP serta SMA sederajat yang mengalami masalah kepribadian, dengan catatan tidak terlibat dalam kasus pidana.
Program ini juga sudah diterapkan di dua lokasi yakni Dodik Bela Negara Rindam III/Siliwangi, Bandung, dan Resimen Artileri Medan (Armed) 1 Kostrad di Purwakarta.
Saat ini, sudah sekitar 80 siswa yang mengikuti program di Rindam III/Siliwangi dan 40 siswa di Resimen Armed 1.
Baca juga: Tak Setuju dengan Dedi Mulyadi, Komnas HAM Sebut Kirim Siswa Nakal ke Barak Militer Langgar Hak Anak
Para pengajar berasal dari TNI AD, Polri, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Lembaga Perlindungan Anak, serta tenaga pendidik profesional sesuai bidang masing-masing.
Untuk biaya pendidikan, konsumsi, perlengkapan pribadi, dan fasilitas, ditanggung penuh oleh Pemprov Jawa Barat serta pemerintah daerah setempat.
“Mari bersama kita selamatkan generasi penerus bangsa Indonesia menuju Indonesia Emas. Masa depan mereka adalah masa depan bangsa Indonesia,” tutup Wahyu.
Komnas HAM Tak Setuju dengan Kebijakan Dedi Mulyadi
Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat resmi meluncurkan program wajib militer untuk pelajar pada Jumat, 2 Mei 2025 lalu.
Program ini diluncurkan Dedi Mulyadi sebagai respons terhadap meningkatnya kasus kenakalan remaja, termasuk penyalahgunaan narkoba, tawuran, dan seks bebas.
Dalam program ini, pelajar yang dianggap bermasalah akan dijemput langsung oleh personel TNI dari rumah masing-masing untuk mengikuti pembinaan selama enam bulan di barak militer.
Namun, kebijakan tersebut menuai pro dan kontra, termasuk Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) yang menganggap pendekatan militeristik bertentangan dengan prinsip pendidikan dan perlindungan anak.
Ketua Komnas HAM RI, Atnike Nova Sigiro menyatakan mengirim siswa nakal ke barak militer itu dianggap melanggar hak anak.
Atnike pun memperingatkan, mengirim siswa ke barak militer sebagai bentuk hukuman adalah bentuk penegakan hukum yang tidak sah.
Terlebih, jika dilakukan kepada anak-anak di bawah umur yang seharusnya mendapatkan perlindungan hukum.
“Oh iya dong (keliru). Itu proses di luar hukum kalau tidak berdasarkan hukum pidana bagi anak di bawah umur,” tegasnya saat ditemui di kantor Komnas HAM RI, Jakarta Pusat, Jumat.
Selain itu, TNI juga tidak mempunyai kewenangan untuk mendidik pelajar dalam bentuk 'wajib militer'.
“Itu bukan kewenangan TNI melakukan edukasi-edukasi civic education,” ujar Atnike.
Pelibatan TNI dalam kegiatan pendidikan hanya dapat dibenarkan jika bersifat mengenalkan profesi, seperti melalui kunjungan ke markas TNI atau lembaga publik lain.
Namun, jika dilakukan dalam bentuk pendidikan militer, apalagi sebagai bentuk hukuman, maka hal itu keliru dan melanggar prinsip hak anak.
“Pendidikan karier ke markas TNI, rumah sakit, atau tempat kerja itu boleh saja. Tapi kalau dalam bentuk pendidikan militer, itu mungkin tidak tepat,” katanya.
(Tribunnews.com/Rifqah/Gita Irawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar