Wacana Ekspor Beras ke Malaysia Tanda RI Swasembada di Era Prabowo? - CNN Indonesia
Wacana Ekspor Beras ke Malaysia Tanda RI Swasembada di Era Prabowo?


--
Mimpi Indonesia menggapai swasembada dibayangi wacana mengekspor beras ke Malaysia.
Indonesia tampak gamang, maju mundur dalam menerima permintaan negara sahabat. Permohonan Menteri Pertanian dan Keterjaminan Makanan Malaysia YB Datuk Seri Haji Mohamad bin Sabu sempat ditolak mentah-mentah, sebelum akhirnya diralat pemerintah.
"Menarik, tadi (mentan Malaysia) menanyakan 'Apa bisa kami (Malaysia) impor beras dari Indonesia?'. Saya katakan, untuk sementara kami menjaga stok dulu," ucap Menteri Pertanian Amran Sulaiman menolak permintaan Mentan Mohamad yang datang jauh-jauh ke kantornya di bilangan Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa (22/4).
Arah angin berubah sekitar 23 hari berikutnya. Ralat sikap tak langsung ditunjukkan Amran, melainkan datang dari mulut Wakil Menteri Pertanian Sudaryono yang berstatus sebagai mantan asisten pribadi (aspri) Presiden Prabowo Subianto.
Sudaryono mengaku pihaknya sudah berbicara dengan Malaysia untuk mengeksekusi pengiriman beras. Bahkan, ia mengklaim Kementerian Pertanian telah bersua dengan calon importir yang akan memuluskan transaksi ini.
Malaysia disebut akan menerima kiriman 2.000 ton beras per bulan dari Indonesia. Jumlah itu tak terlalu besar, mengingat Negeri Jiran mengimpor beras lebih banyak dari negara-negara lain.
"Ini lagi kita atur, intinya manakala Presiden (Prabowo Subianto) sudah memberikan perintah, maka kita siap," tegas Sudaryono, Kamis (15/5).
Di lain kesempatan, Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan menuturkan Indonesia berniat menumpuk stok berasnya. Ini dilakukan usai Indonesia berhasil mengumpulkan cadangan beras 3,7 juta ton di Perum Bulog yang diklaim paling banyak sejak BUMN itu berdiri pada 1969.
Niat itu nyatanya bertentangan dengan pesan Prabowo. Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Gerindra itu bermurah hati dengan memerintahkan anak buahnya berbagi kepada negara tetangga yang kesulitan.
"Kalau ada (negara) tetangga yang kurang (beras), ya kita bantu, kata Pak Presiden (Prabowo) begitu. Kalau tetangga kurang, kita bantu, tapi kita kan lagi senang ini berasnya lagi banyak," ungkap Zulkifli Hasan di Kemenko Pangan, Jakarta Pusat, Jumat (16/5).
Malaysia menilai Indonesia punya teknologi lebih mahir dalam urusan pertanian. Ini yang pada akhirnya membuat Negeri Jiran kepincut membeli produk pangan dari Indonesia.
Seorang doktor bernama Atris Suyantohadi mengamini bahwa ada 'resep' khusus yang dilakukan Kementan sejak 2023. Ia menuturkan pemerintah memberi perhatian untuk padi dan jagung dengan mengalokasikan program bantuan.
"Dampaknya, produksi padi meningkat dan surplus untuk pemenuhan dalam negeri," jelas dosen Teknologi Ilmu Pertanian di Universitas Gadjah Mada (UGM) itu kepada CNNIndonesia.com, Senin (19/5).
Meski begitu, Atris menegaskan perlu ada penelaahan lebih lanjut terkait implementasi teknologi pangan dalam menggenjot produksi padi Indonesia. Ini juga yang bisa menjadi pertimbangan apakah sudah tepat membuka keran ekspor beras sekarang.
Ia beranggapan rencana ekspor beras ke Malaysia adalah langkah baik. Asalkan, tindakan pemerintah benar-benar mengacu data surplus produksi dan tidak mengorbankan kebutuhan dalam negeri.
"Transparansi data stok nasional dan kestabilan harga lokal harus menjadi prioritas," pesan Atris.
Sementara itu, Direktur Next Policy Yusuf Wibisono menyinggung besarnya cadangan beras pemerintah (CBP) menjadi alasan muncul ruang ekspor, terlebih komoditas ini tak bisa disimpan lama-lama di gudang. Ia lalu memetakan tiga alasan utama melimpahnya stok beras Indonesia.
Alasan pertama adalah limpahan sisa stok tahun lalu yang berasal dari impor beras. Sepanjang 2024, Indonesia tercatat mengimpor 4,52 juta ton beras alias menjadi yang tertinggi dalam 25 tahun terakhir.
Kedua, Yusuf menyinggung dampak harga pembelian pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP) senilai Rp6.500 per kg tanpa syarat apapun. Ketiga, musim hujan dan ketersediaan air yang relatif baik sehingga panen mampu memberikan hasil optimal.
"Namun, menurut saya solusi atas stok CBP yang sangat besar bukan dengan ekspor beras, melainkan operasi pasar dengan menyalurkan beras Stabilitas Pasokan Harga Pangan (SPHP) secepatnya," saran Yusuf.
Ia punya dua dasar mengapa ekspor beras bukan pilihan bijak sekarang ini. Pertama, beras Bulog relatif mahal imbas harga minimum GKP yang cukup tinggi dan penyerapan tanpa syarat rafaksi. Ini membuat kualitas beras hasil serapan cenderung rendah sehingga butuh biaya tambahan untuk mengolahnya agar lebih baik.
Kedua, harga beras di pasar internasional saat ini justru sedang turun. Fakta di lapangan membuat opsi ekspor kurang realistis karena daya saing beras Bulog rendah di kancah global.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Jebakan Swasembada Semu
Yusuf menegaskan stok beras yang melimpah saat ini tak bisa dipandang sebagai keberhasilan swasembada. Ia meminta pemerintah tak cepat berpuas diri dan tetap fokus meningkatkan produksi pangan nasional.
"Pada tengah tahun kedua di 2025 ini produksi beras kemungkinan besar akan menurun seiring berakhirnya musim hujan," wanti-wanti Yusuf.
"Untuk menjaga produksi beras, selain kebijakan harga minimum gabah yang efektif, dalam jangka panjang pemerintah harus secara efektif menghentikan alih fungsi lahan sawah. Lalu, merawat family farming, terutama di Jawa sebagai lumbung pangan nasional," tuturnya.
Ia kemudian menyodorkan data bahwa produksi beras Indonesia justru stagnan dalam lima tahun terakhir, bahkan menurun. Rinciannya, 31,31 juta ton pada 2019, menjadi 31,10 juta ton di 2023, bahkan anjlok ke 30,37 juta ton di 2024.
Analis Kebijakan Pangan Syaiful Bahari kemudian membedah pola impor beras Malaysia, di mana mereka butuh sekitar 3 juta ton per tahun alias 250 ribu ton setiap bulannya. Ini berarti pasokan beras sebanyak 2.000 ton per bulan dari Indonesia tak ada apa-apanya.
Kebutuhan beras Malaysia justru dipenuhi dari negara-negara produsen, seperti Vietnam, India, dan Thailand. Di lain sisi, harga beras internasional saat ini sedang murah di level US$390-US$450 per ton.
"Tidak sulit bagi Malaysia sekarang ini impor beras dari pasar internasional karena harga di bawah dari HPP beras Indonesia. Jadi, ekspor tersebut harus dilihat bukan dalam konteks perdagangan beras regional, tapi lebih pada persahabatan. Kalau perdagangan beras regional atau internasional, jelas beras Indonesia sulit bersaing di pasar internasional," jelasnya.
Ia melihat stok beras yang dimiliki Indonesia juga belum aman untuk menopang kebutuhan konsumsi nasional sebanyak 30 juta-32 juta ton per tahun. Artinya, Indonesia per bulan rata-rata membutuhkan 2,5 juta ton beras.
Sedangkan jumlah CBP 3,7 juta ton di Bulog justru mencakup dari sisa impor beras tahun kemarin. Masa panen raya kedua dan ketiga pun dipastikan tak akan sebanyak fase pertama.
Mengukur keberhasilan swasembada beras juga tidak bisa dipatok dalam satu tahun kalender. Syaiful menyarankan pemerintah memantau geraknya selama 3 tahun hingga 5 tahun berturut-turut.
"Apakah hasil panen dari 10,6 juta hektare lahan padi itu menghasilkan 56 juta ton GKP? Kalau ini berhasil, berarti namanya tahap pemulihan," ucapnya.
"Berikutnya, tingkatkan produksinya. Jangan terus menerus hanya 5,2 ton-5,5 ton per hektare, tapi naikkan menjadi 6 ton-7 ton per hektare. Sehingga setiap tahun produksi GKP itu bisa 70 juta ton. Kalau ini berjalan, baru namanya swasembada," sambung Syaiful.
Data-data di atas membuat Indonesia setidaknya masih tetap akan mengantongi cadangan beras 3 juta ton. Kendati, itu masih setengah dari total 20 persen konsumsi beras nasional alias 10 persen.
"Kalau sudah punya cadangan beras nasional 20 persen-25 persen dari total konsumsi beras nasional, maka Indonesia sudah bisa ekspor, seperti India dan Vietnam," tutupnya.
Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Eliza Mardian mengapresiasi langkah Bulog yang mau jemput bola ke para petani. Jika terus dilakukan, Indonesia akan mencatat surplus 3 juta ton di akhir tahun berkat perbandingan potensi produksi 34 juta ton dengan konsumsi di kisaran 31 juta ton.
Meski penyerapannya sudah baik, Eliza melihat ada kekhawatiran dalam aspek penyaluran beras. Ini sejalan dengan kemampuan gudang Bulog menyimpan cadangan beras yang hanya sekitar empat bulan.
"Sehingga mungkin ada yang diekspor, terlebih lagi juga dengan Malaysia kita kan memang ingin menjalin hubungan baik, hubungan dagang sesama negara di ASEAN. Namun, memang perlu berhati-hati karena itu (34 juta ton) masih angka potensi produksi, bukan riil," tuturnya.
"Kita tidak tahu 6 bulan ke depan itu seperti apa cuacanya. Lebih baik mengekspornya secara terukur. Jangan sampai membuat beras di dalam negeri itu secara psikologis bisa mempengaruhi harga. Berita-berita seperti itu (ekspor beras) bisa mempengaruhi psikologis. Jadi, ada yang memanfaatkan momen tersebut sehingga harganya dinaikkan," pesan Eliza.
Di lain sisi, Eliza juga tak menyarankan pemerintah menumpuk beras di gudang Bulog. Aksi tersebut berpotensi menurunkan kualitas yang berujung beras dibuang alias sama dengan pemborosan anggaran.