Duduk Perkara Sengketa 4 Pulau yang Diperebutkan Aceh dan Sumut - Tirto - Opsiin

Informasi Pilihanku

powered by Surfing Waves
demo-image

Duduk Perkara Sengketa 4 Pulau yang Diperebutkan Aceh dan Sumut - Tirto

Share This
Responsive Ads Here

 

Duduk Perkara Sengketa 4 Pulau yang Diperebutkan Aceh dan Sumut

rebutan-pulau-antara-aceh-dan-sumut-3_ratio-16x9

tirto.id - Berawal dari upaya pemerintah Indonesia untuk menginventarisir jumlah pulau di nusantara sebagai bahan laporan ke PBB pada 2008, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh dan Sumatra Utara (Sumut) mulai memiliki masalah terhadap garis batas wilayah di lautan. Akibatnya, kedua provinsi tersebut saling klaim atas empat pulau yaitu: Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil.

Dalam catatan masing-masing Pemprov, Aceh memiliki 260 pulau termasuk keempat satuan pulau tersebut, demikian halnya Sumatra Utara yang memiliki 213 pulau. Namun, dalam verifikasi Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri, dalam 260 pulau miliki Aceh tak ada nama Panjang, Lipan, Mangkir Besar dan Mangkir Kecil.

"Tim Nasional Pembakuan Rupabumi kemudian memverifikasi dan membakukan sebanyak 260 pulau di Aceh, namun tidak terdapat empat pulau," kata Direktur Jenderal Bina Administrasi Wilayah, Safrizal Zakaria Ali, dalam konferensi pers di kompleks Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Rabu (11/6/2025).

Pascaverifikasi oleh pemerintah pusat, Gubernur Aceh dalam Surat Nomor 125/63033, 4 November 2009, mengajukan perubahan nama empat pulau yaitu Pulau Mangkir Besar yang semula bernama Pulau Rangit Besar, Pulau Mangkir Kecil yang semula bernama Pulau Rangit Kecil, Pulau Lipan yang semula bernama Pulau Malelo dan Pulau Panjang.

Safrizal menjelaskan, perubahan nama yang serupa dengan empat nama yang masuk dalam wilayah Sumatra Utara mengakibatkan masyarakat salah persepsi. Hal itu dikarenakan, dalam pengajuan perubahan nama, Pemprov Aceh menggunakan koordinat dari empat pulau yang masuk dalam daerah administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatra Utara.

Rebutan Pulau Antara Aceh dan Sumut

kunjungan Tim Kementerian Dalam Negeri saat melakukan survei lapangan di Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang yang menurut Kementerian Dalam Negeri masuk ke dalam administrasi Sumatera Utara. FOTO/Kementerian Dalam Negeri

Kemudian, Pemprov Aceh di 2017 memverifikasi ulang dan memindahkan koordinat empat pulau miliknya ke dalam Pulau Panjang di Kabupaten Aceh Singkil. Oleh karena itu, Safrizal menegaskan bahwa empat pulau yang dipermasalahkan bukan lah di Kabupaten Aceh Singkil, tetapi yang berada dekat Kabupaten Tapanuli Tengah.

"Karena banyak masyarakat yang membaca dan mengatakan ini gugusan pulau banyak, nanti siapkan Google-nya, kita lihat di mana gugusan, di mana yang ini," kata Safrizal.

Dalam kurun waktu 2017-2022 terjadi sejumlah upaya verifikasi yang dilakukan lintas kementerian dan lembaga untuk memastikan kepemilikan empat pulau tersebut. Kemendagri melibatkan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Kemenko Marves), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Pushidrosal TNI AL, hingga Direktorat Topografi TNI AD.

Pertemuan demi pertemuan diupayakan, namun belum ada titik temu yang disepakati antara Aceh maupun Sumut. Pada 14 Februari 2022, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, mengeluarkan putusan Kepmendagri No.050-145 Tahun 2022 yang memasukkan empat pulau sebagai cakupan dari Kabupaten Tapanuli Tengah sesuai dengan data Gazeter R.I Tahun 2020 yang diterbitkan Badan Informasi Geospasial (BIG). Surat dari Tito disomasi oleh Gubernur Aceh dan Bupati Aceh Singkil pada 2022.

Dari somasi tersebut, Kemendagri kembali mencari jalan tengah dengan verifikasi lapangan dan dilaporkan bahwa keempat pulau dalam keadaan kosong tak berpenghuni, hanya ditemukan penggarap ladang di Pulau Panjang. Sedangkan bangunan di Pulau Panjang ditemukan berupa musola, rumah singgah, dermaga tugu selamat datang dan sejumlah dokumen hasil inspeksi agraria Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewah Atjeh pada tahun 1965 bahwa wilayah tersebut masuk wilayah Kabupaten Aceh Singkil.

Rebutan Pulau Antara Aceh dan Sumut

kunjungan Tim Kementerian Dalam Negeri saat melakukan survei lapangan di Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang yang menurut Kementerian Dalam Negeri masuk ke dalam administrasi Sumatera Utara. FOTO/Kementerian Dalam Negeri

Di dua pulau lain juga ditemukan bangunan serupa yaitu berupa tugu yang didirikan oleh Pemprov Aceh. Sedangkan di Pulau Lipan tidak ditemukan bangunan karena keadaannya yang selalu tenggelam saat air laut pasang akibat perubahan iklim dan hanya terlihat saat air laut sedang surut.

Walaupun hingga saat ini Kemendagri masih menempatkan empat pulau tersebut menjadi bagian wilayah Administrasi Sumatra Utara, namun Safrizal berharap kedua Pemprov dapat bersepakat. Safrizal mengungkapkan bahwa Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, dan Gubernur Sumatra Utara, Bobby Nasution, telah bertemu secara langsung membahas mengenai keempat pulau. Namun, pihak Kemendagri mengaku tidak dilibatkan dalam pembahasan dan berencana akan mempertemukan kedua pemimpin daerah tersebut dalam waktu dekat.

"Apakah kemudian nanti berikutnya Menteri Dalam Negeri (dan) Kemenko Polkam akan mempertemukan kedua gubernur salah satu opsinya," kata Safrizal.

Adu Argumentasi Kepemilikan Empat Pulau

Dalam presentasinya kepada awak media, Safrizal mengakui bahwa, Pemprov Aceh memiliki sejarah lebih panjang terhadap Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil dibanding Sumatra Utara. Hal itu ada tertera dalam SK Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Atjeh No. 125/IA/1965 tanggal 17 Juni 1965.

Selain itu, pada 1978, terdapat catatan dari Topografi TNI AD Blaad Saragih yang mengungkap bahwa garis batas antara Aceh dan Sumut berada di pesisir pantai Kabupaten Tapanuli Tengah. Sehingga keempat pulau yang ada di seberangnya masuk ke dalam wilayah Aceh. Hingga 2018, Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui suratnya, nomor B-853/MEN- KP/XII/2018 tanggal 31 Desember 2018 menyebut bahwa empat pulau masuk ke dalam Provinsi Aceh.

Sedangkan sejarah empat pulau dengan Sumatra Utara tercatat baru dimulai sejak 2008 saat adanya proses pencatatan oleh Tim Nasional Pembakuan Rupabumi. Dari verifikasi tersebut, empat pulau itu tidak masuk wilayah Aceh dan masuk wilayah Sumatra Utara dengan keterangan koordinat (koordinat 20 8’ 49” LU 980 7’ 29” BT), Pulau Mangkir Ketek (koordinat 20 8’ 22,61” LU 980 8’ 38,62” BT), Pulau Lipan (koordinat 20 7’ 12,04” LU 980 9’ 45,12” BT), dan Pulau Panjang (koordinat 20 5’ 43” LU 980 10’ 40” BT).

Meski secara historis, Aceh memiliki kedekatan historis lebih lama terhadap empat pulau tersebut, Kemendagri tetap bersikukuh menempatkan keempat pulau itu ke administrasi Sumatra Utara. Hal itu disebabkan jarak geografis keempat pulau dengan daratan Sumatra Utara atau tepatnya Kabupaten Tapanuli Tengah lebih dekat yaitu 1,2 sampai 2,4 kilometer. Sedangkan dengan Kabupaten Aceh Singkil, keempat pulau memiliki jarak 78,17 kilometer.

Peta Aceh Singkil

Peta Aceh Singkil. (FOTO/uptbgis.bandaacehkota.go.id)

Ditambah lagi di 2008 Pemprov Aceh salah melakukan pencatatan koordinat saat melaporkan nama empat pulau tersebut ke Kemendagri. Hal itu dikarenakan ada empat pulau lain yang memiliki nama sama namun dengan koordinat yang berbeda dari yang saat ini diperdebatkan.

Oleh karenanya, pada 21 Desember 2018, Pemprov Aceh mengajukan revisi nama pulau yang ada di Kecamatan Pulau Banyak karena kesamaan dengan empat pulau bersengketa. Pulau Mangkir Besar diubah menjadi Rangit Besar, Pulau Mangkir Kecil diubah menjadi Rangit Kecil, Pulau Lipan diubah menjadi Malelo dan Pulau Panjang tetap sama yaitu Panjang. Sehingga jumlah pulau di Aceh Singkil bertambah dari empat menjadi delapan.

"Empat pulaunya persis di hadapan pantai Tapanuli Tengah," kata Safrizal.

Pengajar Geospasial Hukum Laut Universitas Gadjah Mada, I Made Andi Arsana, menerangkan bahwa penentuan garis batas wilayah antara provinsi di atas lautan tidak mutlak bergantung jauh-dekatnya dengan daratan. Walaupun dalam ketentuan Undang-undang 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah diatur bahwa ketentuan perbatasan wilayah laut antara dua provinsi kurang dari 24 mil dibagi sama jarak atau diukur sesuai dengan prinsip gari tengah dari wiayah antara daerah provinsi tersebut.

Andi menjelaskan apabila merunut pada hukum internasional maka terdapat asas uti possidetis juris yang bermakna bahwa kepemilikan suatu wilayah akan mengikuti pada status hukum sang penjajah atau negara yang mengelola pulau tersebut terdahulu. Dia mencontohkan dengan keberadaan Pulau Natal yang lebih dekat dengan Jawa namun tetap masuk ke dalam administrasi Australia karena asas hukum internasional tersebut.

Hal serupa juga dapat terjadi pada keempat pulau yang kini diperdebatkan oleh Aceh dan Sumut. Apabila menyimak penjelasan dari Kemendagri bahwa keempat pulau secara infrastruktur lebih banyak dibangun oleh Pemprov Aceh dibanding Sumut.

MUDIK PULAU ACEH

Pemudik dan warga menggunakan kapal nelayan sebagai sarana angkutan penumpang dan barang meninggalkan Perairan Ulee Lheu di Banda Aceh, Aceh, Kamis (22/6). ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

Akan tetapi, posisi Aceh menjadi lemah saat proses pencatatan verifikasi di 2008, saat terjadi kesalahan nama pulau dan titik koordinat yang saat itu tidak memasukkan nama Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil. Hal itu menurut Andi semacam pernyataan hukum bahwa keempat pulau itu tidak termasuk ke dalam wilayah administrasi mereka.

Andi menerangkan bahwa, bukti kepemilikan empat pulau oleh Aceh yang terlampir sejak 1965 menjadi tidak kuat secara hukum apabila berhadapan dengan kesalahan pencatatan pada 2008 tersebut. Melalui surat Gubernur Aceh yang bertarikh 4 November 2009 menjadi bukti implisit bahwa Pemprov Aceh tidak mengakui keempat pulau tersebut masuk ke wilayah administrasi mereka.

"Karena berarti satu-satunya dokumen legal formal yang ada sekarang adalah ini (Surat Gubernur Aceh Nomor 125/63033 Tahun 2009)," kata Andi saat dihubungi Tirto melalui zoom, Kamis (12/6/2025).

Meski sependapat dengan Kemendagri, Andi mengkritik kinerja kementerian tersebut yang tidak berhati-hati saat memverifikasi data keempat pulau tersebut saat disodorkan oleh Pemprov Aceh di 2008. Menurutnya, dengan data yang disodorkan oleh Pemprov Aceh saat itu seharusnya Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi dan Kemendagri melakukan verifikasi ulang dan mengecek fakta di lapangan. Sehingga kesalahan administrasi yang berujung pada perebutan empat pulau ini tidak perlu terjadi. Dia berharap kejadian di 2008 tersebut tidak terulang lagi di masa depan.

"Tim verifikasi itu bukan hanya mengkonfirmasi sampel saja, tapi memverifikasi, kemudian ada kehati-hatian dan segala macam," kata dia.

Dirinya juga mengkritik Pemprov Sumatra Utara yang terkesan oportunis yang mencoba memanfaatkan situasi saat empat pulau tersebut berstatus tanpa kepemilikan karena Pemprov Sumatra Utara salah menuliskan titik koordinat. Padahal, menurut Andi, dengan segala bukti historis yang ada, seharusnya Pemprov Sumatra Utara juga mengetahui bahwa pulau-pulau tak berpenghuni itu adalah milik Aceh. Walaupun, kemudian secara aspek legal, Sumatra Utara lebih kuat untuk mengklaim kepemilikan.

"Di awal Sumatra Utara nggak berniat mengklaim pulau itu sebenarnya, dia tidak punya niat jahat sebenarnya untuk mengklaim pulau itu, karena mungkin dia tahu itu punya Aceh. Tetapi kok ketika tahu itu tidak masuk Aceh, kenapa itu diklaim, kenapa dia punya gagasan itu?" kata Andi.

Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh November, Raja Oloan Saut Gurning, menyarankan kepada pemerintah untuk segera menetapkan ketentuan batas wilayah lautan antar provinsi agar sengketa serupa tak kembali terulang. Dia meminta pemerintah pusat dalam hal ini Kemendagri untuk mempertimbangkan usaha membuat garis ekuidistansi sementara atau garis yang ditarik tepat di tengah garis pantai berbagai wilayah yang bersengketa.

"Tentu faktor georafis perlu menjadi pertimbangan penting, karena pendekatan ini lebih rasional, dan obyektif. Apalagi sudah menjadi hukum positif di negara kita," kata Saut Gurning saat dihubungi Tirto, Kamis.

Walaupun, apabila merunut pada aturan perjanjian internasional hukum laut, UNCLOS, keempat pulau lebih dekat dengan Tapanuli Tengah, namun dia meminta Kemendagri tetap mempertimbangkan faktor sosial hingga budaya yang telah melekat di wilayah tersebut.

"Dalam banyak kasus saya melihatnya terkait dengan faktor histori, sosial-ekonomi dan kultural juga perlu dipertimbangkan. Walau tentu pertimbangan geografis menjadi faktor yang dominan ketimbang faktor-faktor yang relevan," kata Saut.

Muncul Isu Perebutan Potensi Migas Miliaran Barel

Perebutan empat pulau tak berpenghuni antara Aceh-Sumatra Utara tak hanya sekedar faktor geografis atau pencatatan administrasi, namun juga berpotensi masuk ke dalam ranah ekonomi. Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Aceh I, Muslim Ayub, menuding empat pulau itu hendak ditarik Sumatra Utara karena adanya sumber daya alam berupa gas dan minyak bumi.

"Ini kan karena ada gas dan minyak bumi, jumlahnya miliaran barel," kata Muslim dalam keterangan pers yang diterima Tirto, Kamis.

Dia meminta Kemendagri untuk segera menyelesaikan permasalahan tersebut dengan mencabut Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang penetapan 4 pulau yang kemudian menjadi milik Provinsi Sumatra Utara.

"Saya mendesak pemerintah, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri agar segera mencabut SK tersebut," kata Muslim.

Pernyataan Muslim mengenai potensi minyak dan gas di sekitar laut Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek dibantah oleh Kepala Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA), Nasri Djalal. Dia mengakui bahwa keempat pulau berada dekat dengan Wilayah Kerja (WK) Offshore West Aceh (OSWA) yang dikelola oleh BPMA bekerjasama dengan perusahaan energi asal Inggris Conrad Asia Energy.

"Secara umum, keempat pulau tersebut berdekatan dengan Wilayah Kerja Offshore West Aceh (OSWA). Namun demikian, untuk empat pulau tersebut belum terdapat cakupan data seismic, sehingga proses evaluasi potensi migas masih belum bisa dilakukan secara komprehensif," kata Nasri Djalal dalam keterangan pers kepada Tirto, Kamis.

Pulau Banyak

Pulau Banyak Aceh Singkil. foto/istockphoto

Dikutip dari Antara, Conrad Asia Energy akan melakukan eksplorasi migas dengan kedalaman 1.500 meter di wilayah kerja blok Meuloboh, Aceh Barat dan Aceh Singkil.

Nasri mengungkapkan bahwa pihaknya mendorong adanya penelitian lebih lanjut apabila potensi migas di wilayah empat pulau ingin dikembangkan. Dia menekankan bahwa BPMA menjaga prinsip keberlanjutan dan kehati-hatian dalam setiap eksplorasi sumber daya mineral dari alam.

"Kami mendorong adanya survei awal dan akuisisi data seismik agar potensi Migas bisa diidentifikasi lebih jelas. Prinsip keberlanjutan dan konservasi tetap menjadi dasar dalam setiap langkah pengelolaan sumber daya," kata Nasri.

Dengan segala kehati-hatian dan dugaan adanya potensi minyak dan gas di sekitar empat pulau bersengketa tersebut, Guru Besar ITS, Saut Gurning, meminta pemerintah segera menyelesaikan masalah Aceh-Sumatra Utara tersebut sesegera mungkin. Dia menyodorkan jalan tengah dengan tawaran pengelolaan bersama terhadap hasil alam apabila benar ditemukan.

"Karena memang ujung-ujungnya penetapan batas wilayah di empat pulau yang menjadi persoalan itu akan menentukan kepastian hukum, perhitungan DAU (dana alokasi umum-red), kebutuhan penataan ruang dan perencanaan pembangunan di empat wilayah pulau tadi. Tidak hanya terkait manfaat namun juga usaha untuk menjaga serta mengelolanya, terlepas empat pulau itu memiliki nilai ekonomis atau tidak," kata Saut.


tirto.id - News

Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Anggun P Situmorang

Comment Using!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arenanews

Berbagi Informasi

Opsiinfo9

Opsi lain

powered by Surfing Waves

Post Bottom Ad

Pages