Harga Minyak Naik Hampir 3% Dihantam Konflik Israel-Iran, Bagaimana Respons AS? | Sindonews

Dunia Berita
By -
3 minute read
0

 Dunia Internasional,Konflik Timur Tengah,

Harga Minyak Naik Hampir 3% Dihantam Konflik Israel-Iran, Bagaimana Respons AS? | Halaman Lengkap

Harga minyak mentah melonjak hampir 3% ketika perang antara Israel dan Iran yang sudah berlangsung selama seminggu, terus memicu ketidakpastian yang kini dibayangi keterlibatan AS. Foto/Ilustrasi

JAKARTA 

-

Harga minyak mentah 

melonjak hampir 3% ketika

perang Israel dan Iran 

yang sudah berlangsung selama seminggu, terus memicu ketidakpastian. Kemungkinan keterlibatan AS (Amerika Serikat) membuat para investor khawatir, dampaknya dari perang bakal semakin luas.

Kontrak berjangka minyak mentah Brent ditutup naik USD2,15, atau 2,8% menjadi USD78,85 per barel, untuk mencetak penutupan tertinggi sejak 22 Januari. Sementara untuk minyak mentah U.S. West Texas Intermediate di bulan Juli naik USD2,06, atau 2,7% menjadi USD77,20/barel.

Israel terus melakukan pemboman secara intens terhadap program nuklir Iran yang menjadi target. Iran tidak tinggal diam yang membalas dengan menembakkan rudal dan drone.

Baca Juga: Selat Hormuz Terancam Ditutup, Harga Minyak Bakal Sentuh USD300 per Barel

Tidak ada tanda-tanda perang bakal mereda, ketika Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu mengatakan, bahwa 'tirani' Teheran akan membayar dengan 'harga penuh', sedangkan Iran memperingatkan tentang 'pihak ketiga' yang bergabung dalam serangan.

Sementara itu Gedung Putih mengatakan pada hari Kamis, bahwa Presiden Donald Trump belum memutuskan apakah AS akan terlibat dalam konflik Israel-Iran, hal ini baru akan ditentukan dalam dua minggu ke depan. Prospek itu membuat harga minyak mentah terus naik, kata Rory Johnston, analis dan pendiri buletin Commodity Context.

"Konsensus (di pasar) semakin terbentuk bahwa kita akan melihat keterlibatan AS dengan cara tertentu," kata Johnston.

Iran adalah produsen ketiga terbesar di antara anggota Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Dunia atau OPEC, dengan memproduksi sekitar 3,3 juta barel minyak mentah per hari. Sekitar 18 juta hingga 21 juta barel per hari bergerak melalui Selat Hormuz di sepanjang pantai selatan Iran, dan ada kekhawatiran luas bahwa perang ini dapat mengganggu aliran perdagangan.

Risiko gangguan energi besar-besaran akan meningkat jika Iran merasa terancam secara eksistensial, dan masuknya AS ke dalam konflik dapat memicu serangan langsung terhadap tanker dan infrastruktur energi, kata analis RBC Capital Helima Croft.

Sebelumnya, JP Morgan mengatakan skenario ekstrem, di mana konflik meluas ke wilayah sekitarnya dan termasuk penutupan Selat Hormuz, dapat menyebabkan harga minyak melonjak menjadi USD120 hingga USD130 per barel.

Goldman Sachs juga menerangkan, bahwa premi risiko geopolitik sekitar USD10 per barel ada benarnya, mengingat pasokan Iran yang lebih rendah dan risiko gangguan yang lebih luas dapat mendorong minyak mentah Brent di atas USD90.

"Meskipun ketegangan di Timur Tengah mungkin mereda dalam beberapa hari ke depan, harga minyak kemungkinan tidak akan kembali ke kisaran rendah USD60 yang sempat dicapai sebulan lalu," kata Phil Flynn, analis senior di Price Futures Group.

"Saya pikir (konflik) ini mengeluarkan minyak dari keadaan santainya. Saya akan berargumen bahwa pasar telah meremehkan risiko geopolitik," kata Flynn.

Baca Juga: Bagaimana Perang Israel-Iran Mempengaruhi Harga Energi, Begini Penjelasannya

Namun DBRS Morningstar mengatakan, dalam sebuah catatannya bahwa mereka memperkirakan lonjakan harga minyak yang tiba-tiba hanya bersifat sementara. Lonjakan tinggi harga minyak akan memperburuk hambatan terkait tarif terhadap ekonomi global dan permintaan minyak, jadi selama konflik mereda, premi perang akan menyusut dan harga akan berfluktuasi lebih rendah, kata DBRS.

Petinggi minyak teratas Rusia mengutarakan, bahwa produsen minyak OPEC+ harus melanjutkan rencana untuk meningkatkan produksinya. Dimana adanya permintaan yang meningkat di musim panas.

Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak mengatakan, dalam sebuah forum ekonomi di St. Petersburg bahwa OPEC+ harus melaksanakan rencananya dengan tenang dan tidak menakut-nakuti pasar dengan ramalan.

(akr)

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
6/related/default