Senator Asal Papua Barat Daya Kritisi Klaim Menteri ESDM Bahlil: Mayoritas Pendukung Tambang Bukan Orang Asli Papua | Narasi TV

Anggota DPD/MPR RI asal Provinsi Papua Barat Daya Paul Finsen Mayor. Sumber: ANTARA/Dokumentasi Pribadi.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Papua Barat Daya Paul Finsen Mayor, menyatakan bahwa keberadaan tambang nikel PT Gag Nikel di Pulau Gag belum mencerminkan keterlibatan dan representasi orang asli Papua (OAP). Ia membantah klaim Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang menyebut mayoritas masyarakat asli Papua mendukung aktivitas tambang di kawasan tersebut.
Menurut Paul, masyarakat yang menyambut kedatangan Bahlil dalam kunjungan kerja ke Pulau Gag beberapa hari lalu bukanlah warga lokal.
“Yang menyambut itu orang-orang dari luar. Bahkan ada ibu-ibu bawa spanduk ‘Kami Dukung Tambang’—tapi jelas bukan orang asli. Rambut lurus, kulit terang. Bukan masyarakat kami,” katanya kepada Narasi, Selasa (10/6/2025).
Dikutip dari situs resmi Kementerian ESDM, dalam kunjungannya ke Pulau Gag Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sempat bertemu dan berbincang langsung dengan warga di Pulau Gag. Masyarakat menyampaikan dampak positif yang mereka rasakan dengan adanyan aktivitas pertambangan perusahaan PT Gag Nikel. Warga yang dominan merupakan nelayan, menyebutkan mereka mendapatkan keuntungan dengan menjual hasil tangkapannya ke perusahaan PT Gag Nikel.
"Aktivitas penangkapan ikan berjalan seperti biasa, air tetap jernih, kualitas air juga bagus," ujar Fathah Abanovo (33th). Menurutnya, pihak perusahaan juga membantu mereka membeli BBM dan alat pancing untuk bekerja.
Hal senada juga disampaikan oleh Lukman Harun (34th), Warga Pelugak yang juga berprofesi sebagai nelayan, menyebutkan bahwa berita yang menyebutkan kualitas dan warna air sekitar pantai menyebabkan hasil tangkapan menurun, adalah tidak benar. "Air tidak berubah sejak puluhan tahun lalu hingga kini, biasa saja, sejak adanya tambang, ikan-ikan karang sebagai tangkapan tidak berubah juga kalau dimakan sendiri, aman," tutur Lukman.
Paul mengakui bahwa pro dan kontra soal keberadaan tambang di Pulau Gag memang terjadi di lapangan. Ia menyebut saat ini terdapat dua kubu: kelompok yang menolak keberadaan tambang dan kelompok yang tidak mempermasalahkannya. Namun persoalannya, ia menekankan, kelompok yang diberi panggung dan difasilitasi justru bukan berasal dari masyarakat asli yang menolak keberadaan tambang.
“Ironisnya, yang difasilitasi justru kelompok yang bukan orang asli Papua. Lalu bagaimana dengan suara masyarakat adat yang asli?” katanya.
Berdasarkan pengamatannya, jumlah tenaga kerja OAP di perusahaan tersebut tidak mencapai 10 persen. Padahal, menurutnya, semangat Otonomi Khusus (Otsus) menuntut keterlibatan minimal 80 persen warga asli dalam aktivitas ekonomi yang berlangsung di atas tanah adat mereka.
“Kita wajib bertanya, mengapa keterlibatan OAP sangat rendah? Apakah sudah ada izin dari pemilik hak ulayat? Apakah sudah ada FGD yang melibatkan masyarakat adat secara bermakna, bukan sekadar formalitas?” ujarnya.
Sebagai catatan atas pernyataan Paul, UU Otsus 2021 tidak mencantumkan secara spesifik prosentase minimum pelibatan OAP dalam aktivitas bisnis swasta. Prosentase pelibatan minimum dan maksimum pelibatan OAP terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua Pasal 12 ayat (2) yang menyebutkan:
“Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota mengutamakan Orang Asli Papua (OAP) dalam pengangkatan ASN, dengan kuota paling sedikit 60% dan paling banyak 80% dari formasi yang tersedia.”
Jadi, aturan kuota 60–80 persen OAP secara eksplisit berlaku untuk ASN, bukan sektor swasta. Meskipun UU Otsus 2021 tidak secara eksplisit menyebut prosentase pelibat OAP, prinsip bahwa OAP harus diutamakan menjadi dasar kuat untuk menuntut komitmen lebih dari pihak penyelenggara dan investor.
Senator asal daerah pemilihan Papua Barat Daya ini juga mengungkap bahwa selama ini proses perizinan tambang cenderung tertutup dan tidak melibatkan uji publik. Ia menilai, banyak izin dikeluarkan tanpa konsultasi dengan komunitas terdampak secara langsung.
“Saya turun langsung ke Paynemo. Warga menyampaikan bahwa beberapa waktu lalu ikan-ikan mati mendadak. Ini indikasi kuat adanya pencemaran. Maka saya mendorong investigasi independen, baik oleh negara maupun lembaga masyarakat sipil seperti Greenpeace,” tegasnya.
"Greenpeace dan organisasi lain sudah bicara berdasarkan data. Tapi data siapa yang didengar? Kita tidak bisa abaikan suara masyarakat yang hidup langsung di wilayah terdampak,” tegasnya.
Dalam pandangan Paul, persoalan tambang di Pulau Gag tidak hanya menyangkut lingkungan dan hukum, tetapi juga menyentuh martabat dan hak hidup masyarakat adat. Ia meminta agar pemerintah pusat, terutama Kementerian Investasi dan Kementerian Lingkungan Hidup, tidak hanya mengutamakan sisi ekonomi dan hilirisasi tambang, tapi juga memprioritaskan keberlanjutan lingkungan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat lokal.
“Jangan hanya fasilitasi kelompok yang pro-tambang, apalagi kalau bukan masyarakat asli. Yang terdampak langsung harus dilibatkan secara aktif. Pemerintah pusat tidak bisa cuci tangan,” kata Paul menutup pernyataannya.
Menurutnya, kondisi ini tidak bisa dibiarkan tanpa tindak lanjut serius. Ia mendesak adanya pemeriksaan menyeluruh terhadap seluruh kegiatan operasional perusahaan, termasuk yang saat ini belum aktif menambang namun berpotensi menimbulkan dampak lingkungan.
“Prosedurnya harus benar. Harus ada forum diskusi terbuka (FGD) dengan masyarakat adat. Harus ada izin dari pemilik hak ulayat, bukan sekadar formalitas. Setelah itu baru bisa diproses oleh Kementerian Investasi dan Kementerian Lingkungan Hidup,” katanya.
Ia menambahkan, ketika dampak mulai muncul di lapangan, pemerintah seakan ingin melepaskan tanggung jawabnya. “Ini tidak bisa dibiarkan. Pemerintah tidak bisa begitu saja lepas dari tanggung jawab,” pungkasnya.
Paul menegaskan tanggung jawab atas kerusakan lingkungan dan potensi pelanggaran hak masyarakat adat tidak hanya berada di level daerah. Ia mengingatkan bahwa pemerintah pusat memegang otoritas penuh atas izin usaha pertambangan dan pengawasan lingkungan.
“Selama ini semua izin dan pengawasan ada di tangan pusat: Kementerian Investasi, Kementerian Lingkungan Hidup, dan kementerian lain yang terkait dengan hilirisasi tambang. Masalahnya, izin-izin ini seperti ‘tau-tau keluar’. Tanpa uji publik, tanpa keterlibatan masyarakat,” kritiknya.
Baca Juga:IUP Raja Ampat Dicabut Tapi Belum Diusut: Absennya Hukum yang Bisa Bikin Investor Khawatir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar