IUP Raja Ampat Dicabut Tapi Belum Diusut: Absennya Hukum yang Bisa Bikin Investor Khawatir | Narasi TV - Opsiin

Informasi Pilihanku

powered by Surfing Waves
demo-image

IUP Raja Ampat Dicabut Tapi Belum Diusut: Absennya Hukum yang Bisa Bikin Investor Khawatir | Narasi TV

Share This
Responsive Ads Here

 

IUP Raja Ampat Dicabut Tapi Belum Diusut: Absennya Hukum yang Bisa Bikin Investor Khawatir | Narasi TV

bahlil-di-pulau-gag-1747554680

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengecek langsung tambang nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat Daya, Sabtu (7/6/.... Lihat selengkapnya

Pemerintah Indonesia resmi mencabut izin usaha pertambangan (IUP) empat perusahaan tambang di Raja Ampat, Papua Barat Daya, wilayah yang telah ditetapkan sebagai Geopark Dunia oleh UNESCO. Keputusan tersebut diumumkan oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers di Istana Negara, Kamis (12/6/2025).

Empat perusahaan yang izinnya dicabut adalah:

  • PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), yang menerima IUP melalui SK Bupati Nomor 153.A Tahun 2013, berlaku hingga 2033, dengan konsesi seluas 2.193 hektare di Pulau Batang Pele.

  • PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), yang juga memperoleh IUP pada 2013 untuk lahan seluas 5.922 hektare.

  • PT Anugerah Surya Pratama (ASP), dengan IUP yang terbit pada 7 Januari 2024 dan berlaku hingga 2034, berdasarkan SK Menteri ESDM Nomor 91201051135050013.

  • PT Nurham, yang memperoleh IUP berdasarkan SK Bupati Raja Ampat Nomor 8/1/IUP/PMDN/2025 dengan luasan konsesi 3.000 hektare di Pulau Waigeo.

Keempat perusahaan ini beroperasi di gugus Raja Ampat, kawasan yang disebut-sebut memiliki tingkat keanekaragaman hayati laut terkaya di dunia.

Sementara itu, PT Gag Nikel tetap diizinkan beroperasi. Perusahaan ini telah memulai produksi sejak 2017 berdasarkan SK Menteri ESDM Nomor 430.K/30/DJB/2017, berlaku hingga 2047. Menurut Bahlil, PT Gag tetap beroperasi karena memiliki kontrak karya.

Tidak Cukup Cabut IUP, Hukum Harus Ditegakkan

Anggota DPD RI dari Papua Barat Daya, Paul Finsen Mayer, menilai pencabutan IUP sebagai langkah tepat, namun belum menyelesaikan akar persoalan. Ia menekankan pentingnya penegakan hukum, karena menurutnya, telah terjadi pelanggaran dan kerusakan lingkungan yang tidak bisa diabaikan.

“Itu wajib hukumnya ditelusuri, karena mereka tidak menambang dengan cara yang seharusnya. Harus dicek semua, tidak bisa disepelekan,” kata Finsen kepada Narasi, Selasa (10/6/2025).

Finsen menegaskan pencabutan IUP tidak boleh menjadi jalan keluar pemerintah dari tanggung jawab. Justru, katanya, penegakan hukum harus menjadi bagian dari akuntabilitas negara terhadap publik, terutama dalam kasus pencemaran kawasan konservasi yang berstatus Geopark Dunia.

“Kalau dicabut, ya silakan. Tapi ini meninggalkan masalah: sudah ada kerusakan lingkungan, ada izin-izin yang prosesnya tidak benar, melawan hukum. Ya, proses hukum harus jalan dong.”

Finsen bahkan mendesak Bareskrim Mabes Polri untuk turun tangan menyelidiki siapa saja yang mesti bertanggung jawab secara hukum atas pemberian IUP kepada empat perusahaan tambang tersebut.

“Aparat penegak hukum harus masuk. Bareskrim Mabes Polri harus masuk supaya lakukan pemeriksaan secara terbuka, biar semua tahu,” ujarnya.

Bahlil Menghindari Isu Penegakkan Hukum

Soal kemungkinan penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam penerbitan izin tersebut, wartawan sebenarnya telah mengajukan pertanyaan langsung kepada Menteri Bahlil dalam sesi konferensi pers. Namun, Bahlil tidak memberikan jawaban yang jelas. Alih-alih memberi kepastian, ia justru mengulang pernyataan soal alasan pencabutan IUP, tanpa menyinggung aspek pertanggungjawaban hukum.

Padahal menurut Paul, penegakan hukum adalah bagian yang tak terpisahkan dari pertanggungjawaban atas kerusakan lingkungan yang telah terjadi.

“Kalau masalahnya belum selesai, izinnya dicabut lalu pergi begitu saja, tanpa bertanggung jawab atas kerusakan yang sudah ada, itu tidak benar. Jadi memang aparat penegak hukum harus masuk untuk periksa,” ujarnya.

Kemenhut Dalami Pelanggaran, Kejagung Tunggu Laporan

Dalam diskusi bertema "Surga yang Hilang? Raja Ampat dan Ancaman Pertambangan Nikel" Dirjen Penegakan Hukum (Gakkum) Kememhut Dwi Januanto Nugroho mengatakan akan tetap mendalami isu penambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, meski pemerintah sudah mencabut empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayah tersebut.

"Kita akan dalami juga apakah sudah ada sistem zonasi, ada peruntukan untuk pemanfaatan dan lain sebagainya. Kita dalami terus," kata Dwi dikutip Antara dalam diskusi yang dipantau daring di Jakarta, Kamis (12/6/2024).

Ia mengatakan jika ditemukan pelanggaran serius pencabutan izin tidak mengugurkan konsekuensi hukum. Langkah itu dilakukan mengingat isu tambang di salah satu kawasan wisata unggulan Indonesia yang memiliki nilai ekologis tinggi itu mendapatkan perhatian dari masyarakat.

"Tentu tidak menutup kemungkinan kalau memang terjadi pelanggaran yang serius, walaupun sudah dicabut izinnya, tidak menggugurkan konsekuensi hukum lainnya dengan perdata atau bagaimana mengaktifkan gugatan lainnya untuk kerusakan lingkungan, pemulihan lingkungan," tambahnya.

Dia menyebut Kemenhut juga sudah dihubungi oleh beberapa anggota dari Komisi IV DPR RI mengenai isu Raja Ampat.

"Kami kawal ketat, kami ada komitmen untuk bagaimana menuntaskan persoalan ini," katanya.

Kejaksaan Agung menunggu laporan untuk mengusut potensi adanya pelanggaran dari aktivitas penambangan di daerah di luar Raja Ampat, Papua Barat Daya.

"Terkait penanganan dengan satu perkara, tentu ada mekanismenya, ada SOP (standar operasional prosedur) yang dijalankan. Jadi, tidak ujug-ujug, misalnya ada satu peristiwa, lalu penegak hukum masuk," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar dikutip Antara di Jakarta, Kamis.

Dia mengatakan saat ini perkara tersebut telah ditangani dalam tataran administrasi pemerintahan, yaitu dengan mencabut izin usaha pertambangan (IUP) empat perusahaan.

Adapun dari sisi penegakan hukum, kata Harli, aparat penegak hukum siap menerima laporan sebagai pintu masuk penyelidikan.

"Nanti akan disandingkan dengan berbagai regulasi dan melihat apakah di situ ada peristiwa pidana atau tidak. Tahapannya, ‘kan, masih bisa penelitian. Kemudian, penyelidikan, sampai kepada proses-proses pro justitia lainnya," ujarnya.

Pentingnya Penegakkan Hukum sebagai Kepastian Investasi

Penegakan hukum menjadi isu krusial di tengah upaya pemerintah menarik investasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 8%. Kepastian hukum menunjukkan bahwa kebijakan yang diambil tidak didorong motif politik pencitraan, melainkan berdasarkan aturan dan prosedur yang adil.

Sayangnya, dalam sejumlah kasus sebelumnya, pemerintah kerap bertindak sepihak: mencabut izin, menyegel usaha, bahkan membongkar fasilitas bisnis, tanpa disertai proses hukum yang transparan terhadap pihak yang diduga melanggar. Langkah-langkah administratif ini seringkali tampak reaktif, simbolik, dan tidak menyentuh akar masalah struktural—yakni birokrasi perizinan yang korup dan tumpang tindih.

Ambil contoh kasus pembongkaran Taman Wisata Hibisc Fantasy di Puncak Bogor oleh Gubernur Jawa Barat kala itu, Deddy Mulyadi. Kawasan wisata itu dituding menjadi penyebab banjir di wilayah sekitar. Namun tindakan pembongkaran dilakukan tanpa kajian lingkungan yang komprehensif dan tanpa proses hukum terhadap siapa pun yang bertanggung jawab. Deddy hanya mengatakan bangunan itu harus dibongkar dan investasi yang sudah dikeluarkan akan “dikembalikan”—sebuah pernyataan populis yang mengabaikan prinsip keadilan kontraktual dan ganti rugi atas kerugian usaha.

Kasus serupa terjadi saat Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan menyegel penginapan Bobocabin karena dituding melanggar tata ruang. Video yang beredar memperlihatkan pengelola mencoba menunjukkan dokumen perizinan, namun ditolak mentah-mentah oleh sang menteri. Hingga kini, tak ada kejelasan proses hukum: apakah memang ada pelanggaran hukum ataukah ini sekadar pelanggaran administratif yang dibesar-besarkan untuk kebutuhan pencitraan?

Demikian pula kasus pagar laut di perairan Tangerang yang melibatkan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid. Ia menyatakan proyek itu cacat prosedur dan cacat material, serta ketentuan bahwa sertifikat yang belum berusia 5 tahun dapat dicabut tanpa perintah pengadilan. Selain itu, Menteri ATR/BPN juga menyatakan bahwa kasus pagar laut tersebut memiliki indikasi penyelewengan jabatan dan potensi tindak pidana. Beberapa pihak yang terlibat dalam penerbitan sertifikat HGB dan SHM juga telah dikenakan sanksi administratif. Tapi setelah pernyataan itu viral, tak ada perkembangan hukum lebih lanjut baik ke perusahaan maupun ke pejabat pemberi izin. Tak ada audit kebijakan tata ruang, tak ada pemanggilan birokrat pemberi izin, tak ada pertanggungjawaban. Kasus itu menguap seperti riak ombak yang menyentuh pantai lalu menghilang begitu saja.

Fenomena ini menunjukkan pola berulang: negara hadir dalam pemberian izin, tapi abai saat izin itu bermasalah. Dalam kasus pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) empat perusahaan di Raja Ampat, misalnya, keterlibatan negara tak bisa dinafikan. Ada SK bupati dan gubernur,  ada proses birokratis yang sah secara administratif. Bagaimana mungkin kegiatan ekonomi yang mendapat restu negara tiba-tiba dinyatakan ilegal tanpa diikuti proses hukum terhadap pemberi izin? Di sinilah letak paradoks hukum kita.

Dalam situasi seperti ini, pelaku usaha menjadi korban dari kelalaian negara sendiri. Mereka berinvestasi berdasarkan dokumen legal yang diterbitkan otoritas resmi. Namun saat terjadi konflik atau tekanan publik, negara justru melempar tanggung jawab ke arah swasta, seolah-olah para investor itu beroperasi di ruang liar tanpa prosedur.

Padahal, dalam prinsip negara hukum, keadilan tak bisa berhenti pada tindakan administratif. Harus ada proses hukum yang transparan, akuntabel, dan tidak tebang pilih. Bila memang ada pelanggaran hukum, maka semua yang terlibat—baik dari pihak swasta maupun birokrasi pemerintah—harus diproses setara di depan hukum. Tidak cukup hanya mencabut izin dan meminta publik puas dengan konferensi pers.

Lagi-lagi, pemerintah adalah wajah negara. Jika tindakan negara tidak konsisten menegakkan hukum terhadap dirinya sendiri—terutama terhadap pejabat dan lembaga yang menyalahgunakan kewenangan dalam proses perizinan—maka yang terbentuk bukan keadilan, melainkan politik panik yang menyerupai akrobat kekuasaan. Hal ini memberi pesan buruk kepada calon investor: bahwa berbisnis di Indonesia sama artinya dengan menapaki ladang ranjau hukum yang bisa meledak kapan saja tergantung arah angin politik.

Untuk itu, penegakan hukum yang sejati tidak hanya mengadili pelanggaran teknis di lapangan, tetapi juga mengaudit keseluruhan proses perizinan, termasuk mengungkap siapa yang menerbitkan izin, dengan dasar apa, dan untuk kepentingan siapa. Tanpa itu, kita hanya akan menyaksikan parade simbolik yang menyasar gejala, bukan penyakitnya.

Comment Using!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Opsi lain

Arenanews

Berbagi Informasi

Media Informasi

Opsiinfo9

Post Bottom Ad

Pages