Dunia Internasional,
Waspada Perang Dunia, Pengamat: Indonesia Wajib Punya Aset Teknologi Berdaulat | Halaman Lengkap


Pakar keamanan siber Ahmad Faizun mengingatkan Presiden Prabowo Subianto untuk mengedepankan investasi pada aset teknologi berdaulat. Foto/istimewa
- Waspada perang dunia baru, pakar keamanan siber Ahmad Faizun mengingatkan
Presiden Prabowo Subiantountuk mengedepankan investasi pada aset teknologi berdaulat. Tak hanya sebagai alat pertahanan, langkah tersebut diyakininya akan mampu mengamankan perekonomian Indonesia sekaligus menjaga aset-aset ekonomi digital Indonesia.
Faizun mengatakan medan perang konvensional yang dibatasi secara geografis kini telah berubah menjadi teater digital tanpa batas. Data sebagai wilayah baru dan jaringan adalah infrastruktur yang paling penting dan rentan.
Menurutnya konflik global, yang ditandai dengan perang dagang AS-China, invasi mendadak Rusia ke Ukraina, hingga memanasnya konflik Iran dan Israel serta potensi eskalasi di sejumlah wilayah lain telah memicu jenis perang dunia baru.
Baca juga: AS Jatuhkan 6 Bom Bunker Buster di Fordo, dan 30 Rudal Jelajah di Natanz serta Isfahan
Menilik hal tersebut, Faizun menyerukan pemerintah merancang ulang seluruh paradigma pertahanan Indonesia. Dari yang sebelumnya sekadar pengeluaran material beralih menjadi investasi strategis dalam arsitektur ekonomi pertahanan yang relevan untuk zaman kita.
"Perang ini (perang dunia) tidak lagi dideklarasikan, perang ini dilaksanakan melalui serangan siber diam-diam, spionase ekonomi besar-besaran, dan sabotase digital yang dapat melumpuhkan suatu negara tanpa satu tembakan pun dilepaskan. Bagi Indonesia, ancaman ini bersifat non minier; tidak datang secara bertahap tetapi dapat muncul tiba-tiba, yang mampu melumpuhkan urat nadi ekonomi kita," kata Faizun, Minggu (22/6/2025).
Baca juga: Iran Diserang AS, Langsung Balas Tembakkan 20 Rudal ke Israel
Pembenahan sektor siber dikemukakannya tak lepas dari anggaran disediakan pemerintah. Sebagai perbandingan, Faizun mencontohkan Amerika Serikat memiliki komunitas Intelijen dengan anggaran gabungan melebihi USD106 miliar untuk Tahun Anggaran 2024. Sementara pemerintah Tiongkok memproyeksikan anggaran keamanan siber sebesar USD10 miliar untuk 2025. Indonesia sendiri di 2022 mengangarkan sekitar USD127 juta kepada Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebagai entitas pertahanan siber.
"Ini bukan sekadar kesenjangan; ini adalah kerentanan asimetris . Artinya, investasi berbiaya relatif rendah oleh musuh negara atau non-negara dapat menimbulkan kerusakan ekonomi yang jauh lebih besar pada Indonesia. Dalam kalkulasi risiko apa pun, ini adalah skenario mimpi buruk bagi stabilitas fiskal dan ekonomi nasional kita. Mengira kita dapat menutup jurang ini hanya dengan menambah anggaran negara secara bertahap adalah salah perhitungan strategis yang fatal," ucap Faizun.
Terkait pembenahan, sebelum memetakan langkah ke depan, Faizun mengingatkan pemerintah perlu mempelajari doktrin para aktor global utama. Ia menilai hal itu penting sebagai studi kasus dalam penciptaan nilai strategis. Amerika Serikat misalnya ujar Faizun, mengelola kemampuan sibernya seperti portofolio investasi yang terdiversifikasi.
"NSA, CIA, CISA, dan USCYBERCOM adalah aset yang berbeda dengan spesialisasi yang berbeda, mulai dari intelijen sinyal dan operasi rahasia hingga pertahanan infrastruktur sipil. Kekuatannya terletak pada R&D yang mendalam, meskipun birokrasi antar lembaga dapat menimbulkan gesekan," paparnya.
Sedangkan China menggunakan model monolitik kapitalis-negara. China menggunakan pendekatan yang sangat tersentralisasi, di mana garis antara militer, negara, dan industri menjadi kabur. Fokusnya adalah pada agresi ekonomi melalui pencurian kekayaan intelektual dan dominasi teknologi untuk keuntungan kompetitif jangka panjang.
"Model ini sangat efisien karena struktur komandonya yang terpadu, tetapi mengorbankan transparansi," urainya.
Ada pula model Inkubator Modal Ventura yang diterapkan Israel. Melalui entitas seperti Unit 8200 IDF, Israel berfungsi sebagai inkubator bakat siber paling efektif di dunia . Negara itu disebut Faizun "berinvestasi" pada individu melalui dinas militer. Setelah diberhentikan, para veteran ini mendirikan perusahaan teknologi pertahanan (seperti NSO Group) yang menjadi mesin ekspor bernilai miliaran dolar .
"Ini adalah model di mana pertahanan nasional secara langsung menyemai industri ekspor yang sangat menguntungkan," terangnya.
Dengan menyadari realitas fiskal Indonesia dan belajar dari doktrin-doktrin global tersebut, Indonesia menurut Faizun tidak punya pilihan selain menempuh jalan yang radikal dan cerdas.
"Saya mengusulkan pembentukan Aset Teknologi Berdaulat (Sovereign Technological Asset). Sebuah ekosistem industri pertahanan dan penyerangan siber nasional yang dibangun melalui konsolidasi nasional terpusat. Ini adalah paradigma dimana negara, di bawah komando strategis langsung Presiden, bertindak sebagai Kepala Arsitek dan investor tahap awal. Sektor swasta dengan semua inovasi dan ketangkasannya bertindak sebagai pengembang dan operator utama," ungkap Faizun.
"Di sini, kita harus memiliki keberanian untuk belajar dari efisiensi komando "Model China" tanpa perlu mengadopsi ideologi politiknya," lanjtlutnya.
Lebih jauh Faizun berpendapat, untuk proyek dengan signifikansi nasional ini diperlukan visi dan komando tunggal. Hal itu untuk mencegah terjadinya fragmentasi oleh kepentingan sektoral. Tujuannya, bukan saja menciptakan perisai tetapi juga menempa mesin ekonomi baru.
Fazun menyatakan pembuatan Open Source Intelligence (OSINT) sebagai Platform Business Intelligence Nasional sebagai salah satu langkah awal merealisasikan proyek itu. Platform OSINT yang bersifat proprietary akan berfungsi tidak hanya untuk security intelligence tetapi juga sebagai alat untuk analisis ekonomi, pelacakan sentimen pasar, dan penilaian risiko geopolitik. Hal itu menurutnya menjadi investasi dalam kemampuan analisis data skala makro.
"Dengan pasar OSINT global yang diproyeksikan bernilai hingga USD14,85 miliar pada 2024 dan berpotensi melampaui USD49 miliar pada tahun 2029, ini merupakan ceruk pasar yang harus kita masuki dan kuasai," pesannya.
Menurut Faizun kemampuan Zero Click sebagai instrumen penangkalan dan aset strategis bernilai tinggi adalah pilar yang paling sensitif namun paling vital. Kemampuan serangan zero click, seperti yang ditemukan dalam spyware Pegasus dikemukakannya mewakili puncak kekuatan serangan siber. Menguasai ini tak lantas digunakan Indonesia untuk agresi, tetapi sebagai instrumen penangkalan asimetris. Lebih dari itu, ini adalah bisnis perangkat lunak dengan margin tinggi.
"Dokumen sumber mengutip laporan biaya pengaturan awal Pegasus sebesar USD500.000, dengan lisensi untuk 10 target seharga USD650.000, ditambah biaya pemeliharaan tahunan sebesar 17-22% dari total nilai kontrak," beber Faizun.
"Pemerintah Meksiko dilaporkan menghabiskan hingga USD61 juta untuk teknologi ini . Mengembangkan kemampuan ini berarti menciptakan ekspor strategis yang dapat menghasilkan pendapatan non-pajak yang signifikan bagi negara," tandasnya.
Di akhir Faizun menekankan pemerintah mempertimbangkan pengeluaran pertahanan untuk juga dapat menjadikannya sebagai investasi dengan dampak ganda. Keamanan siber bukan lagi sekadar pos pengeluaran dalam anggaran negara. Keamanan siber harus diposisikan ulang sebagai investasi strategis dalam fondasi ekonomi masa depan kita.
"Investasi pada Aset Teknologi Berdaulat akan menghasilkan efek berganda yang dahsyat: menciptakan lapangan kerja yang membutuhkan keterampilan tinggi, mendorong ekosistem inovasi dalam negeri, menghasilkan pendapatan ekspor yang signifikan, dan yang terpenting, mengamankan seluruh aset ekonomi digital Indonesia yang bernilai triliunan rupiah," komentarnya.
"Inilah jalan untuk mengubah kerentanan menjadi kekuatan, dan ancaman menjadi peluang ekonomi. Inilah satu-satunya arsitektur pertahanan yang relevan dan berkelanjutan untuk mengamankan posisi Indonesia sebagai negara yang benar-benar berdaulat di era digital," ucap Faizun.
(cip)
0 Komentar