Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Featured Jawa Timur Sound Horeg

    Dari Karnaval Jadi Kontroversi, Antropolog Ungkap Alasan Budaya Sound Horeg Berkembang di Jatim - Kompas TV

    5 min read

     

    Dari Karnaval Jadi Kontroversi, Antropolog Ungkap Alasan Budaya Sound Horeg Berkembang di Jatim



    Tren | 16 Juli 2025, 06:50 WIB

    JAKARTA, KOMPAS.TV - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur (Jatim) resmi mengeluarkan fatwa bahwa sound horeg adalah haram. Lantas, bagaimana asal-usul sound horeg muncul? 

    Istilah sound horeg merujuk pada sistem audio berskala besar yang mampu menghasilkan suara sangat keras hingga menciptakan efek getaran. Disarikan dari berbagai sumber, kata "horeg" berasal dari bahasa Jawa, artinya "bergerak" atau "bergetar", sehingga secara harfiah dapat dimaknai sebagai "suara yang mengguncang."

    Sistem ini kerap digunakan untuk menghidupkan suasana pesta rakyat, karnaval, hingga parade desa. Namun, di balik sensasi audio ekstremnya, sound horeg juga menjadi sorotan karena dianggap mengganggu lingkungan dan menyebabkan potensi bahaya kesehatan.

    Baca Juga: Polisi Koordinasi dengan Kemlu Terkait Kasus Kematian Diplomat Arya Daru | KOMPAS PETANG

    Fenomena ini pertama kali mencuat sekitar tahun 2014, saat sebuah pawai di Kabupaten Malang menggunakan sistem audio luar biasa besar yang mencuri perhatian warga. Seiring waktu, sound horeg menjadi bagian dari budaya hiburan jalanan di Jawa Timur dan menjalar ke berbagai kota lain.

    Konsepnya bahkan berevolusi, dari sekadar hiburan lokal menjadi sistem audio megah yang meniru kemegahan klub malam di kota-kota besar seperti Jakarta.

    Berikut beberapa tanda utama yang membedakan sound horeg dari sistem audio biasa:

    • Ukuran raksasa & portabel
    • Rangkaian speaker disusun dalam skala besar, bahkan diangkut dengan truk besar atau kendaraan modifikasi.
    • Suara menggelegar
    • Dengan volume ekstrem yang bisa menembus radius hingga 7 kilometer, sound horeg dapat menciptakan getaran fisik nyata di sekitarnya.
    • Dipakai dalam acara komunitas
    • Mulai dari pawai, karnaval, hingga perayaan desa — sound horeg jadi primadona hiburan lokal.
    • Dekorasi spektakuler
    • Sistem ini sering dihias dengan lampu sorot, LED warna-warni, dan desain panggung modifikasi, menambah daya tarik visual, terutama di malam hari.
    • Biaya sewa yang fantastis
    • Tergantung jenis dan kapasitasnya, harga sewa bisa bervariasi — mulai dari jutaan hingga puluhan juta rupiah.

    Mengapa Sound Horeg Dilarang? Ini Alasan di Baliknya

    Walau digemari banyak komunitas, tak sedikit pula pihak yang menginginkan sound horeg dibatasi atau bahkan dilarang. Berikut sejumlah alasannya:

    • Polusi Suara

    Volume ekstrim dianggap mengganggu kenyamanan masyarakat, terutama lansia, anak-anak, dan warga yang tinggal di sekitar lokasi acara.

    • Ancaman Kesehatan

    Terlalu lama terpapar suara keras dapat menyebabkan kerusakan pendengaran permanen, baik bagi penonton maupun operator audio.

    • Risiko Kerusakan Infrastruktur

    Getaran intens dari speaker berdaya besar dikhawatirkan bisa merusak struktur bangunan, jembatan, dan fasilitas umum lainnya.

    Menurut Antropolog Universitas Brawijaya, Nindyo Budi Kumoro, budaya ini memiliki akar sosiokultural yang kuat di kawasan selatan Jawa Timur.

    Nindyo menyebut setidaknya ada tiga faktor utama yang membentuk popularitas sound horeg di wilayah tersebut.

    1. Budaya Toleransi terhadap Suara Keras

    Faktor pertama, menurut Nindyo, adalah kebiasaan masyarakat Jawa Timur selatan yang terbiasa dengan suara nyaring. Hal ini terlihat dari cara mereka menyelenggarakan hajatan.

    “Indikatornya adalah masyarakat di sana cenderung suka ketika menggelar hajatan menyewa sound, lalu dinyalakan dengan suara keras,” ujar Nindyo, Senin (14/7/2025) mengutip Kompas.com.

    Bahkan, pada pagi hari pun, mereka memilih untuk mendengarkan musik keras seperti dangdut sebagai pemacu semangat harian.

    Baca Juga: MUI Jatim Resmi Haramkan Sound Horeg, Ini Alasan dan Aturan Lengkapnya

    2. Warisan Kesenian Rakyat yang Ekspresif

    Faktor kedua berkaitan dengan perbedaan tipikal kesenian antara rakyat biasa dan kalangan priyayi. Dalam sejarah budaya Jawa, kesenian rakyat petani seperti jatilan dan bantengan dikenal ekspresif dan penuh energi. Ini sangat kontras dengan kesenian priyayi seperti tari-tarian keraton yang bersifat lembut dan elegan.

    “Kesenian rakyat petani lebih ekspresif dan keras dibanding kesenian priyayi,” jelas Nindyo.

    Ia menambahkan, pihak-pihak yang menolak sound horeg justru didominasi oleh masyarakat urban dan kalangan priyayi, yang tidak terbiasa dengan kebisingan semacam itu.

    3. Faktor Ekonomi: Hiburan Murah, Antusiasme Tinggi

    Faktor ketiga adalah kondisi ekonomi. Mayoritas pengguna dan pendukung sound horeg berasal dari lapisan masyarakat menengah ke bawah yang mencari hiburan murah dan meriah. Hiburan seperti sound horeg menjadi alternatif mudah diakses dan relatif terjangkau.

    “Faktor lain banyak, yang pada intinya faktor-faktor ini saling mendukung dan membentuk produk budaya baru, yakni sound horeg ini,” ujar dosen Prodi Antropologi UB tersebut.

    Meski populer, Nindyo memprediksi budaya ini tidak akan bertahan lama apabila konflik sosial terus meningkat. Pro dan kontra yang terus muncul akan menghambat pelestariannya secara jangka panjang.

    “Produk budaya akan lestari apabila tingkat dukungannya lebih banyak dibanding tingkat kontranya,” pungkasnya.

    Penulis : Ade Indra Kusuma Editor : Gading-Persada

    Sumber : Kompas.com, berbagai sumber


    Komentar
    Additional JS