Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Featured LPDP Pendidikan Pendidikan Tinggi

    Kampus Top Dunia Mulai Menolak LPDP - Kompas

    7 min read

     Pendidikan Tinggi

    Kampus Top Dunia Mulai Menolak LPDP

    BEBERAPA hari lalu, saya menerima kabar yang mengejutkan sekaligus menyedihkan. University of Amsterdam—kampus yang telah mengeluarkan Letter of Acceptance (LoA) untuk studi S3 saya pada awal Januari 2025—menolak memperpanjang masa berlaku LoA tersebut hingga 2026.

    Padahal, saya memerlukan perpanjangan itu untuk memenuhi persyaratan pendaftaran Beasiswa LPDP tahap 2 yang baru saja dibuka sejak 30 Juni dan akan ditutup pada 31 Juli 2025.

    Alasan penolakan ini bukan karena kelalaian administratif atau perubahan program studi, melainkan sesuatu yang lebih struktural dan sistemik.

    University of Amsterdam, bersama sejumlah kampus lain di Belanda, memutuskan untuk sementara waktu menghentikan penerimaan mahasiswa PhD yang dibiayai oleh skema beasiswa dari luar negeri—termasuk LPDP—yang tidak memenuhi standar minimum biaya hidup di Belanda.

    Wakil Komandan Angkatan Laut Rusia Tewas di Perbatasan Ukraina dalam Operasi Militer

    LPDP, misalnya, hingga kini hanya memberikan living allowance sebesar 1.500 euro per bulan. Sayangnya, angka ini di bawah standar minimum biaya hidup layak di Belanda yang telah ditetapkan sebesar 1.700 euro per bulan.

    Baca juga: QS Kampus Naik: Peringkat di Atas Kertas, Ketimpangan Meluas

    Masalah ini, tentu saja, bukan hanya soal dua ratus euro. Dalam sistem pendidikan tinggi di Belanda, universitas memiliki tanggung jawab penuh terhadap well-being atau kesejahteraan mahasiswa doktoralnya.

    Jika ada kekurangan dalam pendanaan hidup, pihak kampus yang harus menanggung kompensasinya.

    Namun, di tengah situasi pemangkasan anggaran dari pemerintah Belanda kepada institusi pendidikan tinggi, universitas-universitas tidak lagi mampu menanggung beban finansial tambahan tersebut.

    Pada April 2025 yang lalu, Parlemen Belanda menyepakati pengurangan anggaran untuk higher education and research sebesar 1,2 miliar euro atau setara Rp 21 triliun.

    Merespons regulasi baru tersebut, asosiasi perguruan tinggi di Belanda (UNL) mengajukan banding ke pengadilan memprotes kebijakan yang sangat menghantam ritme operasional perguruan tinggi dan riset tersebut.

    Untuk sementara, beberapa perguruan tinggi termasuk University of Amsterdam mengambil kebijakan untuk menghentikan penerimaan mahasiswa baru doktoral dengan skema beasiswa luar yang tidak sesuai standar talangan biaya hidup minimal, termasuk LPDP.

    Fenomena ini menyingkap satu kenyataan pahit yang selama ini mungkin luput dari perhatian: living allowance LPDP belum benar-benar mampu mengikuti dinamika kebutuhan riil di negara tujuan studi.

    Hal ini sebenarnya sudah sejak lama menjadi perbincangan hangat di kalangan awardee. Salah satunya disuarakan oleh Angga Fauzan—teman saya dan sesama penerima beasiswa S2 LPDP di Inggris—yang cuitannya sempat viral di platform X (14 Februari 2025).

    Dalam tulisannya, ia menyebut bahwa “Living allowance anak-anak LPDP itu itungannya udah di ambang garis kemiskinan kalau dibandingkan dengan UMR negara mereka kuliah. Udah kayak penerima BLT.”

    Baca juga: Student Loan: Solusi atau Lepas Tangan Negara?

    Sayangnya, banyak respons terhadap kritik itu justru bernada defensif. Sebagian masyarakat menilai para awardee LPDP harusnya lebih banyak bersyukur karena sudah dibiayai kuliah dengan uang rakyat.

    Padahal, permasalahannya jauh lebih kompleks dari sekadar rasa syukur atau tidak. Ini tentang keberlangsungan studi, kesehatan mental, dan kelayakan hidup di negeri orang.

    Ketika beasiswa tidak lagi memadai untuk membayar sewa, listrik, air, transportasi, dan makanan sehat, maka siapa pun akan terjebak dalam posisi rentan—meskipun secara formal mereka adalah penerima beasiswa prestisius.

    Evaluasi dan reorientasi kampus tujuan LPDP

    Saya meyakini bahwa persoalan ini seharusnya menjadi titik tolak bagi LPDP untuk mengevaluasi secara serius strategi pendanaan mereka, khususnya dalam menetapkan kampus-kampus tujuan studi.

    Penolakan dari University of Amsterdam bukanlah perkara sepele. Kampus ini bukan hanya berada di peringkat 53 dunia versi QS World University Rankings 2025, tetapi juga peringkat 1 dunia untuk bidang Communication and Media Studies dan peringkat 29 untuk bidang Arts and Humanities.

    Artinya, universitas dengan reputasi global ini justru tidak dapat lagi menjadi mitra LPDP karena skema pendanaan kita dianggap tidak memadai.

    Yang ironis, kasus serupa juga terjadi di Finlandia. Beberapa kampus ternama di sana juga mulai menolak mahasiswa PhD dari Indonesia yang datang dengan beasiswa LPDP karena besaran living allowance-nya di bawah standar biaya hidup minimum di negara tersebut.

    Ini cukup memprihatinkan, terutama jika kita tahu bahwa negara-negara seperti Belanda dan Finlandia justru tidak mengenakan tuition fee atau uang kuliah yang murah meriah untuk program doktoral.

    Baca juga: Menggagas PTN Garuda: Langkah Radikal Menuju World Class University

    Bahkan, di Belanda, universitas bisa mendapatkan semacam insentif dari pemerintah (konon besarannya mencapai 80.000 – 90.000 euro per mahasiswa) jika berhasil meluluskan mahasiswa S3 karena dianggap telah berkontribusi menghasilkan riset.

    Selain uang kuliah yang gratis, University of Amsterdam memberikan dana riset tambahan sebesar 4.500 euro kepada mahasiswa doktoral di bidang Humaniora, yang bisa digunakan untuk pengumpulan data, konferensi, atau keperluan riset lainnya.

    Ini mencerminkan komitmen mereka dalam menciptakan ekosistem riset yang sehat dan produktif.

    Namun, semua itu kini menjadi tidak relevan jika beasiswa yang dibawa mahasiswa tidak mampu mencukupi kebutuhan dasarnya.

    Kontras dengan Negara Anglo-Saxon

    Sistem ini sangat berbeda dengan negara-negara Anglo-Saxon seperti Inggris, Amerika Serikat, atau Australia, yang masih mengenakan biaya kuliah sangat tinggi kepada mahasiswa S1 hingga S3.

    Sebagai gambaran, biaya kuliah S3 di Inggris berkisar antara 20.000–40.000 pound sterling per tahun (sekitar Rp 400 juta – Rp 800 juta). Di AS, sekitar 30.000–60.000 dollar AS per tahun (Rp 480 juta – Rp 960 juta).

    Sementara di Australia antara 20.000–50.000 dollar Australia per tahun (Rp 220 juta– Rp 550 juta).

    Namun ironisnya, kampus-kampus di negara-negara dengan tuition fee mahal inilah yang justru lebih banyak masuk dalam daftar kampus tujuan LPDP.

    Padahal, jika LPDP lebih aktif menjalin kerja sama dengan kampus-kampus unggul di negara-negara Eropa Kontinental seperti Jerman, Belanda, Perancis, atau negara-negara Skandinavia, maka anggaran bisa lebih dioptimalkan.

    Banyak dari mereka menawarkan program doktoral dengan biaya kuliah nol rupiah (free tuition) atau sangat terjangkau.

    Jika kita bandingkan, biaya kuliah satu tahun di kampus Inggris atau Amerika bisa digunakan untuk membiayai kebutuhan hidup mahasiswa S3 selama satu hingga satu setengah tahun di negara seperti Belanda atau Jerman.

    Artinya, dengan strategi yang tepat, LPDP bisa mengirimkan lebih banyak mahasiswa doktoral ke luar negeri tanpa membebani anggaran negara secara berlebihan.

    Baca juga: Sandiaga Uno Ungkap Alasan Larang Anaknya Ikut Beasiswa LPDP

    Apa yang perlu dipertimbangkan LPDP saat ini bukan hanya soal living allowance, tetapi juga bagaimana mengubah fokus pendanaan dari subsidi biaya kuliah ke peningkatan kualitas hidup.

    Di negara-negara yang tidak mengenakan biaya kuliah, LPDP seharusnya bisa mengalokasikan anggaran tersebut untuk memperkuat living allowance mahasiswa. Langkah ini akan memberikan banyak keuntungan.

    Mahasiswa S3 tidak lagi harus hidup dalam tekanan ekonomi, universitas mitra akan lebih terbuka menerima awardee Indonesia, dan LPDP bisa membangun reputasi sebagai program beasiswa yang adaptif, responsif, dan berbasis kebutuhan riil mahasiswa.

    Terlebih lagi, dengan dana yang sama, LPDP bisa memperluas jangkauan dan menambah kuota awardee untuk program doktoral.

    Jika ingin lebih banyak anak bangsa menempuh pendidikan berkualitas di kampus-kampus top dunia—dengan efisiensi anggaran dan keberlanjutan program—maka sudah waktunya kita memikirkan ulang bukan hanya living allowance, tetapi juga arah dan orientasi strategis LPDP secara keseluruhan.

    Dunia sedang berubah, dan tantangan global—dari budget cut untuk bidang riset dan pendidikan tinggi hingga transformasi digital—membutuhkan SDM unggul yang bisa belajar dan bertahan di ekosistem akademik internasional.

    Jangan sampai peluang emas ini terhalang hanya karena selisih 200 euro per bulan

    Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
    Komentar
    Additional JS