Ketika Diaspora Tak Lagi Membanggakan: Mencermati Kasus WNI dan Perguruan Silat di Jepang | XYZONEMEDIA
Dunia internasional,
Ketika Diaspora Tak Lagi Membanggakan: Mencermati Kasus WNI dan Perguruan Silat di Jepang | XYZONEMEDIA

XYZonemedia - Ketika diaspora Indonesia tampil dalam narasi publik global, biasanya kita berharap wajah yang muncul adalah wajah yang penuh prestasi, kebudayaan, atau nilai-nilai solidaritas. Namun dalam beberapa minggu terakhir, jagat maya Jepang dan Indonesia justru dipenuhi dua berita yang bertolak belakang dengan harapan itu: video viral sekelompok pesilat Indonesia yang membentangkan spanduk besar di ruang publik Jepang tanpa izin, serta penangkapan tiga WNI overstayer karena percobaan perampokan rumah warga lokal di Ibaraki.
Dua kejadian ini berbeda konteks, tetapi saling bersinggungan dalam satu titik temu: bagaimana negara gagal menyiapkan warganya untuk hidup sebagai bagian dari komunitas global yang menuntut sensitivitas budaya dan kesadaran hukum tinggi. Di tengah derasnya arus migrasi kerja dan mobilitas budaya, kita justru dihadapkan pada kenyataan bahwa sebagian warga Indonesia di luar negeri membawa serta ego kolektifisme tanpa adaptasi, bahkan kadang tersesat dalam ketimpangan ekonomi dan sosial yang menjerumuskan.
Ketika Silat Menjadi Simbol yang Salah Tempat
Video viral itu menampilkan anggota Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Cabang Jepang berbaris membentuk formasi sambil mengibarkan spanduk besar di jembatan umum. Satu sisi, ini bisa dilihat sebagai ekspresi identitas budaya. Namun dalam konteks Jepang—negara yang sangat menjunjung keteraturan dan kesunyian ruang publik—aksi seperti itu dianggap tidak hanya mengganggu, tetapi juga mencerminkan ketidaktahuan atas norma setempat.
Pihak PSHT mengklarifikasi bahwa video tersebut sebenarnya dibuat pada 2022 dan berjanji akan lebih disiplin dalam kegiatan ke depan. Tapi dalam dinamika diplomasi kultural, waktu dan niat seringkali tak mampu menambal persepsi yang sudah terbentuk. Di mata publik Jepang, atribut hitam seragam silat, spanduk besar, dan aktivitas fisik kolektif bisa saja terbaca sebagai ekspresi geng, bukan budaya.
Hal ini memperlihatkan kegagalan lebih besar: tak adanya sistem pembekalan lintas budaya yang memadai. Ketika organisasi masyarakat Indonesia di luar negeri—termasuk paguyuban keagamaan, kesenian, maupun pencak silat—beroperasi tanpa pemahaman konteks lokal, mereka rentan memperkuat eksklusivisme alih-alih inklusi.
Dari Magang ke Kriminalitas: Lubang Besar dalam Sistem Migrasi
Masih dari Jepang, pada awal Juli, publik juga dikejutkan dengan kabar penangkapan tiga WNI—Bayu Rudiarto, Nanda Arif Rianto, dan Jaka Sandra—karena mencoba merampok rumah warga di Prefektur Ibaraki. Ketiganya diketahui merupakan overstayer alias tinggal melebihi masa visa yang diizinkan. Peristiwa ini menambah daftar panjang kasus pelanggaran hukum oleh WNI di Jepang dalam setahun terakhir.
Kita tak bisa menutup mata bahwa sebagian besar dari mereka datang sebagai pemagang teknis (kenshusei), atau tenaga kerja spesifik terampil. Mereka kerap masuk melalui jalur legal, tetapi kemudian terlunta-lunta karena sistem kerja yang menuntut banyak tetapi memberi sedikit. Ketika tekanan ekonomi, isolasi sosial, dan lemahnya jaring pengaman hukum bertemu, jalan pintas kriminal jadi menggiurkan.
Bukan kali ini saja kasus semacam ini terjadi. Dari Fukuoka hingga Gunma, berbagai laporan menunjukkan keterlibatan WNI dalam perampokan, bahkan pembunuhan. Namun penyikapan kita selama ini lebih banyak bersifat reaksioner—pendampingan hukum, klarifikasi, atau pembelaan moral—tanpa pembenahan serius pada hulu: sistem migrasi, edukasi hukum, dan pengawasan keberlanjutan.
Refleksi: Siapa yang Bertanggung Jawab?
Dalam dua kasus ini, siapa yang layak kita salahkan?
Mereka yang terlalu percaya diri mengekspresikan identitas tanpa memahami batasan budaya tempat mereka tinggal? Mereka yang jatuh dalam jurang kriminalitas karena frustrasi sosial dan ekonomi? Atau kita semua—yang terlalu lama menutup mata pada kerapuhan sistem diaspora dan migrasi kita sendiri?
Kementerian luar negeri dan lembaga pengirim tenaga kerja harus mengakui bahwa pembekalan budaya tidak cukup bila hanya sebatas formalitas pelatihan pra-keberangkatan. Pendidikan lintas budaya perlu menyentuh cara berpikir, bukan sekadar prosedur. Organisasi diaspora juga perlu menyadari bahwa ruang publik di negeri orang tidak bisa diperlakukan seperti halaman rumah sendiri.
Sementara itu, bagi masyarakat kita di dalam negeri, dua peristiwa ini adalah kenyataan pahit bahwa nasionalisme tidak cukup jika tak disertai kepekaan. Kita bangga membawa budaya ke mancanegara, tetapi apakah kita siap menjadi warga dunia?
Silat adalah warisan luhur. Kerja keras migran adalah sumbangsih nyata bagi devisa. Tapi tanpa kejelasan arah, dua hal ini bisa berubah menjadi citra buruk. Dunia tak lagi melihat kita dari apa yang kita klaim, tetapi dari apa yang kita lakukan di ruang yang bukan milik kita.
Dan di tengah dunia yang saling terhubung seperti sekarang, satu video atau satu kasus perampokan bisa lebih kuat gaungnya ketimbang seribu duta budaya.(*)