Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Featured

    Langkah Indonesia yang Pesan Banyak Alutsista Modern Dianggap Media Asing Terlalu Gegabah - Zona Jakarta

    6 min read

     

    Langkah Indonesia yang Pesan Banyak Alutsista Modern Dianggap Media Asing Terlalu Gegabah - Zona Jakarta

    Keranjang belanja Indonesia yang terlalu masif dianggap media asing bakal membebani anggaran negara.
    Keranjang belanja Indonesia yang terlalu masif dianggap media asing bakal membebani anggaran negara.

    ZONAJAKARTA.COM - Langkah Indonesia yang agresif dalam memesan berbagai alat utama sistem persenjataan (alutsista) modern dari berbagai negara menuai sorotan tajam dari pengamat pertahanan global.

    Meskipun terlihat ambisius, banyak kalangan menilai strategi ini terlalu gegabah dan minim perhitungan jangka panjang.

    Apalagi jika dilihat dari keterbatasan anggaran dan kebutuhan nyata di lapangan.

    Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia tercatat telah memesan jet tempur Dassault Rafale dari Prancis, Kaan dari Turki.

    Serta menunjukkan minat terhadap J-10 buatan China dan Su-35 dari Rusia.

    Selain itu, ada pula kerja sama pengembangan KF-21 Boramae bersama Korea Selatan, dan rencana pengadaan F-15EX dari Amerika Serikat.

    Baca Juga:

    Sayangnya, di balik deretan nama-nama besar ini, terdapat persoalan mendasar yang belum terselesaikan.

    Yakni minimnya anggaran pertahanan yang realistis dan terstruktur.

    Dikutip dari The Diplomat edisi Selasa, 15 Juli 2025 berjudul "Indonesia Is Out of Step With the Global Arms Race."

    Anggaran pertahanan Indonesia memang mengalami peningkatan nominal.

    Dari USD 8,8 miliar pada 2023 menjadi USD 10,6 miliar pada 2025.

    Namun secara persentase terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), anggaran tersebut hanya naik dari 0,7% menjadi 0,77%.

    Baca Juga:

    Keranjang belanja Indonesia yang terlalu masif dianggap media asing bakal membebani anggaran negara.

    Angka ini masih jauh dari rata-rata negara sekutu AS di Asia Timur dan Tenggara yang mencapai 1,85% dari PDB.

    Bahkan lebih kecil dibandingkan Singapura yang mengalokasikan 2,8% PDB-nya untuk pertahanan.

    Ironisnya, dari anggaran pertahanan Indonesia tahun 2025 tersebut, 51% justru dialokasikan untuk personel dan dukungan manajemen.

    Sementara hanya 40% yang digunakan untuk modernisasi dan pengadaan alutsista baru.

    Artinya, sebagian besar dana habis untuk belanja rutin, bukan peningkatan kapabilitas pertahanan.

    Indonesia memang tampak berupaya mengejar ketertinggalan alutsista.

    Baca Juga:

    Terutama setelah program Minimum Essential Forces (MEF) yang ditargetkan rampung pada 2024 dinilai gagal mencapai tujuannya.

    Banyak peralatan militer yang sudah uzur, dan dari segi kuantitas pun belum memadai untuk melindungi wilayah NKRI yang sangat luas.

    Dikutip dari East Asia Forum edisi Rabu, 4 Mei 2022 berjudul "Indonesia’s defence shopping spree."

    Pengadaan alutsista Indonesia terkesan asal beli.

    Tergantung apa yang tersedia di pasar dan tidak disertai strategi jangka panjang terkait interoperabilitas maupun doktrin militer yang jelas.

    Misalnya, jika Indonesia benar-benar jadi mengoperasikan F-15EX, Rafale, Kaan, KF-21, dan J-10 secara bersamaan.

    Baca Juga:

    Hal itu akan muncul beban logistik, pelatihan, hingga pemeliharaan yang sangat kompleks dan mahal.

    Halaman:
    Keranjang belanja Indonesia yang terlalu masif dianggap media asing bakal membebani anggaran negara.

    Belum lagi, masing-masing sistem persenjataan ini berasal dari negara berbeda dengan standar dan teknologi yang tidak kompatibel satu sama lain.

    Banyak pengamat menilai, daripada sekadar mengejar jumlah dan nama besar.

    Indonesia seharusnya fokus membangun kapasitas pertahanan berbasis kemampuan (capability-based defense) yang berkelanjutan dan sesuai dengan kondisi geografis serta ancaman nyata.

    Saat ini dunia tengah menyaksikan eskalasi konflik global seperti Rusia-Ukraina, Israel-Hamas, hingga ketegangan di Selat Taiwan dan Laut China Selatan.

    AS sebagai pemimpin NATO bahkan mendesak negara-negara sekutunya untuk menaikkan anggaran pertahanan menjadi 5% dari pendapatan nasional.

    Baca Juga:

    Di Asia, Jepang menaikkan anggaran pertahanannya sebesar 21% hingga mencapai 1,4% dari PDB.

    Sementara negara-negara lain juga memperkuat militer mereka.

    Namun Indonesia, dengan klaim tumpang tindih di Laut Natuna Utara dan kedekatan geografis dengan titik konflik.

    Justru belum menunjukkan komitmen nyata dalam penguatan militer secara menyeluruh.

    Jika eskalasi militer di kawasan terus meningkat, maka Indonesia bisa berada dalam posisi rentan.

    Apalagi jika modernisasi pertahanannya masih terjebak pada kalkulasi politik dan simbolisme, bukan kebutuhan nyata.

    Baca Juga:

    Indonesia harus berhenti berpikir bahwa membeli alutsista dari banyak negara akan otomatis memperkuat pertahanan.

    Tanpa strategi induk, konsolidasi sistem, serta peningkatan SDM dan logistik.

    Halaman:
    Keranjang belanja Indonesia yang terlalu masif dianggap media asing bakal membebani anggaran negara.

    Langkah belanja alutsista seperti sekarang tidak akan menghasilkan kekuatan tempur yang efektif.

    Sebaliknya, Indonesia justru berisiko mengalami ketergantungan suku cadang asing, pemborosan anggaran, dan disfungsi dalam operasional.

    Saat dunia bergerak cepat dalam perlombaan persenjataan, Indonesia tak boleh hanya ikut-ikutan.

    Tapi harus punya visi pertahanan nasional jangka panjang yang terukur dan realistis.

    Baca Juga:

    ***

    Komentar
    Additional JS