Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Beras Featured

    Pemerintah Harus Lebih Serius Bongkar Problem Distribusi Beras - Tirto

    9 min read

     

    Pemerintah Harus Lebih Serius Bongkar Problem Distribusi Beras

    tirto.id - Belum rampung polemik peredaran beras oplosan tak sesuai mutu dan bobot, ihwal tata kelola beras nasional kembali digerogoti problematika klasik. Kali ini, terjadi dugaan kecurangan penyaluran program bantuan beras atau beras bansos berupa pengurangan takaran. Kejadian ini ditemukan di Kabupaten Garut, Jawa Barat, setelah beberapa warga curiga beras bansos yang mereka terima memiliki bobot tak sesuai kemasan.

    Senin (28/7/2025) lalu, Sekretaris Daerah (Sekda) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Garut, Jawa Barat, Nurdin Yana, mengakui memang mendapatkan informasi adanya bantuan beras pemerintah yang diduga tak sesuai takaran. Namun, dia memastikan beras bansos tak sesuai bobot itu bisa diganti sesuai ketentuan.

    "Tadi juga disampaikan kekurangan timbangan itu sebetulnya sudah disosialisasikan kepada kepala desa untuk segera lapor kepada Bulog, agar itu insya Allah akan diganti,” kata Nurdin seperti dilansir Antara.

    Dugaan penggelapan beras bansos itu bermula dari pernyataan Kepala Desa Panyindangan, Indra Firman, saat memberikan keterangan kepada wartawan di Garut. Dia menyebut warganya menerima beras bansos tak sesuai takaran. Semestinya, setiap penerima bansos mendapat jatah 20 kilogram beras yang dikemas dalam dua karung berbobot 10 kg. Namun, warga mendapati takaran setiap karung berkurang sekitar 1 samapai 2,5 kg.

    Indra mengatakan bahwa temuan itu sudah dilaporkan ke Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Kecamatan Cisompet dan juga ke Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) selaku pendamping pendistribusian beras.

    Target penyaluran bantuan pangan periode Juni-Juli 2025

    Warga memikul beras saat penyaluran bantuan pangan di Cibodas, Kota Tangerang, Banten, Selasa (22/7/2025). ANTARA FOTO/Putra M. Akbar/foc.

    Menurut Indra, kekurangan timbangan semacam itu terjadi di hampir semua desa. Kondisi itu mencuat dari laporan para kepala desa di grup WhatsApp Apdesi Kecamatan Cisompet. Selain Desa Panyindangan, desa lain yang mengalami kasus beras bansos tak sesuai takaran adalah Sukamukti, Cihaurkuning, Jatisari, Margamulya, Depok, dan Sukanagara.

    Jika dirinci, jumlah keluarga penerima manfaat (KPM) bantuan beras di Garut mencapai 227.969 orang yang tersebar di 42 kecamatan. Pendistribusian beras ini sudah dilakukan sejak pekan lalu.

    Namun, Kepala Perum Bulog Cabang Ciamis, Dadan Irawan, membantah anggapan beras bantuan yang disalurkan ke masyarakat memiliki bobot yang tidak sesuai. Dia mengatakan sudah menerjunkan tim ke Kabupaten Garut untuk menelusuri kejadian tersebut dan tidak menemukan problem tersebut.

    "Sudah saya konfirmasi ke tim di lapangan, sudah cek ke semua desa daerah Cisompet yang disebutkan tadi itu, tidak ada beras yang di bawah kuantum standar," kata Dadan.

    Cerita Lama Terus Berulang

    Dugaan praktik penggelapan takaran beras bansos sebenarnya merupakan masalah klasik yang terjadi sejak lama. Semestinya, masalah seperti Ini tak perlu terjadi lagi apabila pola distribusi dan pengawasan program bantuan beras berjalan efektif dan bebas “main mata”.

    Sebelum distribusi bansos dilakukan, pemerintah harusnya mematangkan soal data, menyediakan transportasi logistik, hingga memastikan mutu beras. Pasalnya, KPM sebagai yang paling terdampak akan sangat dirugikan. Beras ini seharusnya dapat menjadi angin segar bagi keluarga miskin di tengah harga beras yang meroket.

    Direktur Kebijakan Publik dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, memandang penyelewengan takaran beras bansos itu adalah murni pelanggaran hukum. Hal ini biasanya didasari motif ekonomi dari pihak yang terlibat dalam distribusi beras bansos.

    Meski bukan satu-satunya skema, Media menduga perusahaan distributor program bantuan beras ikut terlibat dalam persoalan ini. Sebab, kondisi distributor swasta saat ini memang sedang diterpa margin keuntungan yang semakin sedikit imbas menipisnya stok beras di lapangan.

    “Kenapa beras di lapangan langka? Karena Bulog cukup kuat dalam membeli gabah dari masyarakat. Jadi, Bulog punya kekuatan besar dan stok kita [saat ini] adalah salah satu yang tertinggi ya sepanjang masa,” ucap Media kepada wartawan Tirto, Selasa (29/7/2025).

    Penyerapan masif yang dilakukan Bulog berdampak terhadap distributor beras swasta yang makin mengempis pasokannya. Menurut Media, kondisi ini dapat memicu distributor nakal “mengakali” kesempatan ketika menyalurkan beras bansos.

    Jumlah cadangan beras pemerintah mencapai 4,2 Juta Ton

    Sejumlah pekerja melakukan bongkar muat beras di Pergudangan Cabang Bulog Ternate, Maluku Utara, Jumat (25/7/2025). ANTARA FOTO/Andri Saputra/bar

    Praktik penggelapan atau pengurangan takaran beras bansos, menurut Media, sudah pasti masuk ranah pidana korupsi sehingga bisa dijerat UU Tipikor. Maka banyak pihak yang harus diperiksa aparat penegak hukum, meliputi gudang, distributor desa, transporter, hingga rekanan swasta yang digandeng pemerintah dalam program bantuan beras.

    “Kalau dari sistem pengawasan yang perlu bertanggung jawab di Bulog, Bapanas, Pemda, dan Kemensos,” ucap Media.

    Praktik dugaan penggelapan beras bansos dinilai sebagai bisnis kotor rantai pasok yang terus berulang. Saat ini, Media menilai Bulog tampak gagap berbisnis beras sehingga hanya mampu membeli besar-besaran, tapi tak bisa melakukan pendistribusian yang efektif.

    Akibatnya, distribusi beras dipenuhi masalah dan stok beras yang berlimpah tidak segera sampai ke masyarakat sehingga beras menjadi mahal.

    “Sedangkan, distributor beras juga ada swasta. Jadi, Bulog harusnya dipegang orang-orang yang benar, yang tahu logika komoditas beras dan bisnis beras berjalan,” terang Media.

    Penyaluran Beras SPHP Seret

    Tata kelola penyaluran beras yang dilakukan Bulog juga disoroti oleh Pakar Pertanian dari dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori. Menurutnya, bantuan pangan berupa beras dan penyaluran beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) seharusnya cukup untuk menanggulangi gejolak harga beras di masyarakat.

    Selain itu, penyaluran bantuan beras dan beras SPHP di atas kertas bertujuan menjaga pasokan di pasar dan menjaga daya beli masyarakat, mengendalikan inflasi, serta memanfaatkan cadangan beras pemerintah (CBP) agar tidak semakin berumur.

    Sehingga, pelepasan CBP yang dikelola Bulog ke pasar seharusnya menjadi angin segar bagi warga miskin dan rentan tatkala harga beras membumbung tinggi.

    Harga beras medium selama setahun belakangan terus melampaui HET. Sejak Mei 2025, harga beras premium juga melampaui HET.

    “Merujuk konstitusi, baik UU Pangan Nomor 18/2012 maupun UU Perdagangan Nomor 7/2014, tugas pemerintah bukan hanya memastikan pasokan pangan [beras] dalam jumlah cukup dan bisa diakses secara fisik, tapi juga terjangkau daya beli warga,” kata Khudori lewat keterangan tertulis yang diterima Tirto, Selasa (29/7/2025).

    Bantuan pangan beras bagi 18,3 juta keluarga dilakukan oleh pemerintah sebagai bagian program Stimulus Ekonomi 2025. Setiap KPM akan menerima 20 kilogram beras untuk dua bulan sekaligus, yakni periode Juni dan Juli 2025.

    Sementara itu, beras SPHP direncanakan bakal disalurkan sebanyak 1,3 juta ton sepanjang Juli-Desember 2025 secara bertahap. Namun, hingga 14-29 Juli 2025, realisasi penyalurannya baru mencapai angka 4.496,62 ton atau 0,34 persen dari target 1,3 juta ton.

    Padahal, penyaluran beras SPHP ditujukan untuk meredam kenaikan harga beras. Oleh karena itu, Khudori menilai bahwa pemerintah seharusnya lebih serius dalam mengurus pendistribusian beras.

    Menurut Khudori, salah satu penyebab seretnya penyaluran beras SPHP adalah aturan yang super ketat. Pengetatan itu merujuk pada Keputusan Kepala Bapanas Nomor 215/2025.

    “Beras SPHP yang diharapkan mengguyur pasar dalam jumlah besar, masif, dan menjangkau wilayah luas ternyata jauh dari harapan. Di tengah pasokan beras dari swasta yang mengempis, ini bikin waswas,” kata Khudori.

    Sidak penyaluran beras SPHP

    Kepala Bulog Indramayu Sri Wahyuni (tengah) berbincang dengan pedagang saat memantau penyaluran beras Program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) di salah satu kios di Pasar Induk Indramayu, Jawa Barat, Minggu (13/7/2025). ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/nz.

    Perlu Investigasi Khusus

    Sementara itu, ekonom bidang pangan Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, berpendapat bahwa penggelapan takaran beras bansos dapat terjadi di setiap rantai distribusi karena minimnya pengawasan. Oleh karena itu, diperlukan transparansi data serta pengecekan lapangan secara berkala.

    Eliza mendorong aparat penegak hukum melakukan penyelidikan khusus untuk kasus ini untuk membongkar modus serta aktor-aktor yang terlibat. Menurutnya, aktor-aktor yang bersalah harus diciduk karena posisi mereka amat sangat menentukan. Ketika jejaring mereka dibongkar, dapat diketahui cara membasmi praktik ini.

    “Polemik beras dimulai dari oplosan, pengurangan takaran, hingga inefisiensi distribusi. Ini bukan sekadar isu sosial atau administratif, tetapi masalah ekonomi mendalam dengan implikasi makro dan mikro,” ujar Eliza kepada wartawan Tirto, Selasa (29/7/2025).

    Beras adalah komoditas pokok strategis yang bisa memengaruhi harga pangan, ketahanan pangan nasional, dan berujung pada pertumbuhan ekonomi. Dari sudut pandang ekonomi, polemik takaran beras bansos ini mencerminkan kegagalan pasar (market failure) akibat asimetri informasi, korupsi, dan kebijakan subsidi yang distorsif.

    Produksi beras yang relatif meningkat semestinya bikin harga di pasar stabil. Namun, yang terjadi sekarang harga pasar tetap naik dan tinggi. Hal ini jelas menunjukkan adanya inefisiensi alokasi sumber daya.

    Menurut Eliza, ini kontradiktif dengan prinsip ekonomi dasar—bahwa pasokan berlimpah seharusnya menekan harga. Artinya, dapat disinyalir ada intervensi eksternal, seperti kartel distribusi atau korupsi.

    Praktik akal-akalan beras bansos ini berulang karena faktor struktural dan sistemik. Sebabnya pun mudah ditebak: kurangnya pengawasan dalam rantai distribusi. Selain itu, akurasi data penerima bansos yang buruk juga menyebabkan penyaluran salah sasaran, memicu manipulasi data untuk keuntungan pribadi, dan membuat kerugian negara mencapai triliunan.

    “Ketiga, faktor sosial ekonomi seperti kemiskinan dan korupsi endemik di kalangan pejabat atau distributor lokal, di mana bansos dilihat sebagai peluang cepat kaya,” ujar Eliza.

    Kepala Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI, Rio Priambodo, mendesak pemerintah segera menginvestigasi dugaan penggelapan beras bansos. Hal ini dikarenakan tindakan tersebut sudah melanggar UU Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha dilarang mengurangi takaran barang dan jasa atau produk sebagaimana yang sudah dicantumkan atau ditetapkan.

    Rio mendesak pelaku pengurangan takaran beras bansos bisa dihukum dengan tegas dan maksimal. Karena, praktik ini menyangkut sisi sosial yang merugikan masyarakat miskin dan rentan.

    “YLKI minta pemerintah tegas mengawasi dari hulu hingga hilir dari sisi produksi, distribusi, hingga konsumsi tata kelola beras nasional,” kata Rio kepada wartawan Tirto, Selasa (29/7/2025).


    tirto.id - News

    Reporter: Mochammad Fajar Nur
    Penulis: Mochammad Fajar Nur
    Editor: Fadrik Aziz Firdausi

    Komentar
    Additional JS