Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Bank BCA Featured Keuangan

    Dugaan Patgulipat Akuisisi BCA oleh Djarum Berujung Diambil Alih Pemerintah? Ini Kata Ekonom - Inilah

    5 min read

     Keuangan 

    Dugaan Patgulipat Akuisisi BCA oleh Djarum Berujung Diambil Alih Pemerintah? Ini Kata Ekonom



    Harapan agar pemerintah menuntaskan megaskandal BLBI-BCA terus mengemuka. Banyak pihak mendorong agar dugaan permainan dalam akuisisi 51 persen saham BCA oleh Djarum Group, yang disebut dieksekusi dengan harga terlalu murah, dibongkar secara terang-benderang.

    Tapi di sisi lain, tidak sedikit pihak yang meragukan kejelasan dasar hukum untuk mengusut kembali persoalan tersebut. Pengamat hukum dan keuangan daerah, Ichsanuddin Noorsy, menilai persoalan utama justru terletak pada aspek legalitas jika pemerintah berniat mengambil alih kembali saham BCA.

    "Sekarang persoalan pokoknya, ketika mau diambil alih lagi oleh pemerintah 51 persen, maka pengambilalihan oleh pemerintah itu berhadapan dengan dua undang-undang. Undang-undang pertama adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Salah satu pasalnya menyebut, harganya harus internasional. Ada tiga syaratnya," ujar Ichsanuddin kepada Inilah.com, Jakarta, Selasa (19/8/2025).

    Ia menjelaskan, syarat pertama adalah harga pengambilalihan harus ikut harga internasional. Kedua, penilaian atas harga tersebut harus dilakukan oleh perusahaan penilai (appraisal company) internasional pula. "Yang ketiga, jika terjadi perselisihan dalam persoalan pengambilalihan, maka menggunakan badan arbitrase internasional," tambahnya.

    Namun, menurutnya, ada pula faktor lain yang kerap dipersoalkan, yakni skandal di balik BCA terkait batas maksimum pemberian kredit dan kredit macet (BMPK). "Nah itu dalam hukum sudah dimaafkan karena sudah ada release and discharge. Jadi, pertanyaannya: ada tidak peluang untuk mengambil alihnya?" tutur Ichsanuddin.

    Ia menegaskan, badan hukum yang berinvestasi di dalam negeri tetap dilindungi oleh hukum. Persoalannya, kata dia, apakah Indonesia siap berhadapan dengan hukumnya sendiri atau dengan hukum internasional.

    "Kenapa? Karena yang pertama kali mengambil BCA adalah Farallon, sebuah perusahaan cangkang (shell company) yang beroperasi di negara bebas pajak dalam rangka ambil alih BCA," katanya

    "Salah satu tokohnya adalah Lawrence Summers atau Larry Summers, mantan Menkeu AS. Artinya, waktu ambil alih BCA, mereka menggunakan hukum nasional, yang dalam perjanjian dilindungi oleh hukum," jelas Ichsanuddin menambahkan.

    Wacana agar pemerintah mengambil alih paksa saham BBCA digaungkan oleh Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN), Sasmito Hadinegoro. Ide itu kemudian disambut oleh Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi Teknologi DPP PKB Ahmad Iman Syukri.

    Wacana pengambilalihan saham BBCA oleh negara ini berkaitan dengan masa lalu Bantuan Likuiditas Bank Indonesia pada saat krisis 1998. Peristiwa itu bergulir hingga adanya pelepasan 51 persen saham oleh pemerintah yang saat itu dipimpin Megawati Soekarnoputri.

    Ada Apa DPR Buka Lagi Kasus Akuisisi BCA?

    Belakangan, Anggota Komisi III DPR, Abdullah juga mendesak pemerintah menyelesaikan megaskandal BLBI-BCA secara tuntas. Termasuk membongkar dugaan permainan dalam akuisisi 51 persen saham BCA oleh Djarum Group

    Namun, Ichsanuddin Noorsy, menegaskan sebelum DPR melangkah lebih jauh, sebaiknya mereka mengacu pada laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang sudah sangat lengkap terkait BLBI.

    "Saya menjadi narasumber bagi DPR maupun DPD dalam soal BLBI. Saya menjelaskan seperti yang saya bilang tadi. Kalau DPR mau bongkar-bongkar kasus ini, ya belajar dulu bahan-bahan BPK," katanya.

    Ichsanuddin menambahkan, DPR jangan hanya sekadar menciptakan posisi tawar politik yang ujung-ujungnya bersifat transaksioonal. "Garis bawahi itu. Kasarnya seperti itu. Bongkar dulu audit BPK," tegas Ichsanuddin.

    Ia menyebut, BPK sudah memiliki laporan setebal setengah meter yang terangkum dalam tujuh buku. Dari situ, ada tiga hal yang harus dirujuk DPR sebelum melangkah.

    Pertama, mempelajari status hukum masing-masing obligor BLBI, apakah sudah memperoleh release and discharge atau belum. Kedua, menelaah laporan audit BPK yang sudah lengkap. Dan ketiga, mencari temuan baru di luar dua hal sebelumnya.

    "Kalau ada temuan baru, misalnya aset-aset yang ditilep oleh para korporasi yang seharusnya diserahkan ke BPPN atau Kementerian Keuangan, tapi tidak diserahkan dengan berbagai modus operandi, nah itu bisa menjadi pintu masuk. Jadi jangan sampai DPR atau DPD yang mau ngorek-ngorek BLBI dianggap tidak mengerti masalah," jelasnya.

    Lebih jauh, Ichsanuddin menegaskan untuk saat ini peluang membongkar kembali kasus akuisisi 51 persen saham BCA, termasuk upaya mengambil alihnya, pada prinsipnya sangat tertutup.

    "Nah, kalau mengambil alih sudah tertutup peluangnya. Masih ada peluangnya untuk mengambil alih kasus-kasus BLBI yang tertunda. Misalnya pada kasus Sartono Salim dan Iji Nur Salim, itu bukan pada kasus BLBI-nya, tapi pada kasus Bank Dewa Rutji. Jadi kalau pada BCA sudah tidak bisa lagi, hampir tidak lagi. Mau dibilang skandal, ternyata ada skandal lain," ujarnya.

    Menurutnya, skandal yang saat ini mungkin dibuka bukan terkait proses BLBI itu, tapi fokus pada tahap pemulihannya.

    "Jadi, kasus hukum dalam masalah krisis keuangan, itu menggunung istilahnya. Yang disebut dengan istilah menggunung itu adalah dia dimulai dari kesalahan kebijakan pemerintah sendiri yang memberikan keleluasaan asing," katanya.

    "Atau keleluasaan korporasi swasta meminjam dalam bentuk mata uang dolar, itu satu kesalahannya. Yang kedua, membebaskan para konglomerat membangun bank. Yang ketiga, tadi pemerintah sendiri melakukan bailout. Nah, itu kesalahan besarnya," ujarnya lagi.

    Kilas Balik BLBI-BCA

    Di tengah gemuruh krisis 1997 sampai 1998, BCA yang semula berdiri kokoh pun terguncang. Arus penarikan dana besar-besaran menekan likuiditas, sementara ekspansi kredit yang gegap gempita menjelma bumerang.

    Pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) turun tangan. BCA berubah status menjadi bank take over (BTO) dan dimasukkan ke dalam program rekapitalisasi serta restrukturisasi. Tahun 1999, rekapitalisasi tuntas. BCA tak lagi sepenuhnya milik Salim Group. Saat itu BPPN menggenggam 92,2 persen sahamnya sebagai ganti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

    Pada 1999, pemerintah berencana menjual saham BCA lewat mekanisme di bursa efek. Harga yang ditawarkan sebesar Rp 1.400 per lembar saham. Namun, saham BCA tersebut ironisnya tidak laku. Barulah tahun 2002 situasi mulai mereda dan Presiden Megawati Soekarnoputri sepakat menjual 51 persen saham BCA kepada publik.

    Ketiga nama paling awal bersaing sengit untuk merebutkan saham BCA. Standard Chartered Bank terafiliasi dengan pemerintah Singapura. Lalu, Farallon bermitra dengan keluarga Hartono pemilik Djarum. Sedangkan Bank Mega dimiliki oleh pengusaha Chairul Tanjung.

    Pada Februari 2002, persaingan merebut BCA dimenangkan oleh Farallon yang berani membeli BCA sebesar US$ 530 juta. Sejak saat itu, keluarga Salim tak lagi memiliki BCA seutuhnya. Kelak, sekitar tahun 2007, Djarum menguasai BCA sepenuhnya usai membeli 92,18 persen saham Farallon di Farindo Investment. Farindo Investment adalah perusahaan patungan Grup Djarum melalui Alaerka, dan Farallon.

    Penjualan saham mayoritas BCA pada 2002 sarat kejanggalan. Nilai jual hanya sekitar Rp5 triliun, padahal BCA saat itu punya aset Rp117 triliun serta memegang obligasi rekap Rp60 triliun. 

    Komentar
    Additional JS