Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Featured UU Haji

    RUU Haji dan Umrah Didorong Fleksibel dan Tidak Indonesiasentris | SINDONEWS

    5 min read

     

    RUU Haji dan Umrah Didorong Fleksibel dan Tidak Indonesiasentris | Halaman Lengkap


    logo-apps-sindo

    Makin mudah baca berita nasional dan internasional.

    Selasa, 19 Agustus 2025 - 21:39 WIB

    RUU Haji dan Umrah Didorong...

    Ketua Komnas Haji Mustolih Siradj (kanan) dalam Forum Legislasi yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR di Gedung DPR, Selasa (19/8/2025). Foto/Istimewa

    JAKARTA 

    - Ketua Komnas Haji Mustolih Siradj mendorong Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah

     Haji 

    dan Umrah agar fleksibel dan tidak Indonesiasentris. Sebab, jika terlalu kaku dan rigid, siapa pun yang mengelola dan bertanggung jawab menyelenggarakan ibadah haji bakal rentan menghadapi masalah hukum.

    Mustolih mengungkapkan bahwa 90 persen penyelenggaraan ibadah haji dilakukan di Arab Saudi. Sisanya seperti pendaftaran, manasik haji, dan pengurusan dokumen seperti paspor dan visa dilakukan di dalam negeri.

    "Kalau UU Haji dan Umrah tidak ada relaksasi, tidak ada integrasi dengan taklimatul hajj, dengan aturan-aturan yang ada di Arab Saudi, maka siapa pun yang mengelola dan menanggungjawabi ibadah haji akan rentan menghadapi proses hukum," katanya dalam Forum Legislasi yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR di Gedung DPR, Selasa (19/8/2025).

    Baca juga: RUU Haji dan Umrah Jangan Abaikan Ekosistem Ekonomi Umat

    Mustolih menilai draf RUU Haji dan Umrah yang telah menjadi usul inisiatif DPR, terlalu Indonesiasentris. "Satu contoh terkait aturan kuota haji. UU No 8/2019 yang eksisting hari ini, kuota haji khusus angkanya sebesar 8%. Tidak ada frasa paling banyak, tidak ada paling sedikit,” ujar Dosen UIN Jakarta ini.

    Sehingga apabila diasumsikan kuota haji khusus sebesar 8%, haji reguler mendapatkan 92%. "Ini akan sulit diimplementasikan. Karena pasti dalam penyelenggaraan ibadah haji itu ada kuota yang tidak terserap. Pasti, karena ini menyangkut manusia. Bisa karena meninggal dunia, bisa hamil, bisa sakit, atau hambatan-hambatan lain,” imbuhnya.

    Jika kuota haji tidak terserap, kata Mustolih, artinya pemerintah atau penyelenggara haji melanggar aspek besaran kuota. "Tapi sayangnya ini belum dipahami. Apalagi dalam draf revisi UU yang baru nanti, DPR terlibat dalam penentuan kuota haji,” ujarnya.

    “Maka akan sangat birokratis, sementara dikejar waktu dalam penyelenggaraan ibadah haji. Seperti yang terjadi di tahun 2024, DPR sedang reses dan menghadapi pemilu, sementara pemerintah berjibaku menyelenggarakan ibadah haji," sambungnya.

    Mustolih menambahkan, masalah lainnya jika ternyata haji reguler tidak bisa menghabiskan kuota yang ditentukan. "Maka idealnya adalah, karena teman-teman PIHK atau Haji Khusus mereka adalah B to C (Bussines to Customer), lebih fleksibel. Kalau haji reguler kan paradigma procurement atau pengadaan sehingga kaku, birokratis dan terlalu rumit. Tapi beda dengan PIHK yang bisa lebih fleksibel," ucapnya.

    Menurut doktor hukum ini, idealnya frasa yang paling tepat untuk kuota haji khusus adalah minimal 8%. "Kita tahu yang namanya kuota tambahan itu tidak terjadwal, tiba-tiba diberikan, dan dalam waktu yang sangat singkat harus diisi, sehingga sulit pemerintah mengisi mendadak. Contohnya tahun 2019 dan tahun 2022 yang dimana kita mendapatkan kuota tambahan. Tetapi karena waktunya sangat mepet, akhirnya tidak dioptimalkan," ujar dia.

    Dengan menggunakan konstruksi kuota haji khusus paling tinggi 8% dan kuota haji reguler 92%, maka rentan terjadi persoalan hukum karena tidak mampu menyerap kuota dan tidak sesuai UU. "Beda jika dalam UU, kuota haji khusus frasa nya paling sedikit 8%, maka ketika Arab Saudi memberikan kuota tambahan sementara pemerintah tidak siap mengisinya, teman-teman PIHK bisa mengisi dengan haji khusus," pungkasnya.

    (rca)

    wa-channel

    Follow WhatsApp Channel SINDOnews untuk Berita Terbaru Setiap Hari

    Follow

    Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com,

     Klik Disini 

    untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!

    Lanjut Baca Berita Terkait Lainnya

    Infografis

    Perbedaan Amnesti dan...

    Perbedaan Amnesti dan Abolisi, Ini Tokoh yang Pernah Mendapatkannya

    Komentar
    Additional JS