Imigran Terkaya Amerika di 2025, Hartanya Tembus Rp21.287 Triliun - Sindo news
7 min read
Dunia Internasional,
Imigran Terkaya Amerika di 2025, Hartanya Tembus Rp21.287 Triliun
Jumlah imigran Amerika terkaya mencetak rekor pada tahun 2025, dimana tercatat ada 125 warga negara AS yang lahir di luar negeri dan kini menjadi miliarder dengan tinggal di Amerika Serikat (AS). Foto/Dok
A
A
A
JAKARTA - Jumlah imigran Amerika terkaya mencetak rekor pada tahun 2025, dimana tercatat ada 125 warga negara AS yang lahir di luar negeri dan kini menjadi miliarder dengan tinggal di Amerika Serikat (AS). Mereka berasal dari 43 negara, akan tetapi menjadi kaya di Amerika.
“Ketika Anda tinggal di negara yang ditekan dan totaliter seperti yang saya alami, dan Anda tidak memiliki uang, tidak memiliki masa depan atau bahkan untuk hidup lebih baik, jadi Anda bertanya-tanya apakah masih ada harapan,” kata miliarder Steven Udvar-Hazy (79 tahun) yang berimigrasi ke New York dari Hongaria.
Saat masih anak-anak, Ia mengemas kotak-kotak di gudang Manhattan dengan bayaran 30 sen per jam ketika berusia 14 tahun, dan kemudian Ia mampu menciptakan industri penyewaan pesawat. Baca Juga: Pengajuan Visa AS Diperketat, Pemohon Wajib Bayar Uang Jaminan hingga Rp244 Juta
“Ketika Anda keluar dari situasi itu dan datang ke Amerika, Anda memiliki sistem nilai yang sama sekali berbeda dari orang-orang yang lahir di sini, yang sudah terbiasa dengan lingkungan mereka dan semua kenyamanan, kebebasan, serta barang-barang material yang ada di sekitar kita,” kata Udvar-Hazy.
“Jadi Anda mulai dari titik yang berbeda di mana Anda menghargai nilai yang dibangun, Anda menghargai orang-orang yang akan membantu Anda, dan Anda lebih cenderung untuk menetapkan tujuan dan sasaran, karena Anda ingin menjauh dari sejarah dan masa lalu itu secepat mungkin. Tingkat motivasi yang dimiliki sama sekali berbeda daripada orang yang lahir dan dibesarkan di sini," bebernya.
Udvar-Hazy adalah salah satu dari 125 warga negara Amerika yang lahir di luar negeri dan tercatat dalam daftar miliarder Forbes yang saat ini tinggal di Amerika Serikat. Angka tersebut meningkat lebih dari sepertiga sejak penghitungan terakhir yang berjumlah 92 imigran pada tahun 2022.
Para imigran ini berasal dari 43 negara dan menyumbang 14% dari hampir 900 miliarder di negara ini. Para imigran Amerika ini memiliki total kekayaan USD1,3 triliun (atau setara Rp21.287 triliun dengan kurs Rp16.375 per USD) yang menyentuh rekor dan menguasai 18% dari total harta kekayaan miliarder Amerika sebesar USD7,2 triliun.
Tiga dari 10 orang terkaya di Amerika (dan dunia) adalah imigran, termasuk orang terkaya di dunia: Elon Musk (54 tahun) yang lahir di Afrika Selatan dan datang ke AS melalui Kanada sebagai mahasiswa, dan sekarang Ia bernilai sekitar USD393,1 miliar.
Selanjutnya ada salah satu pendiri Google, Sergey Brin (51 tahun) sebagai imigran terkaya kedua, dengan kekayaan yang diperkirakan mencapai USD139,7 miliar. Keluarga Brin pindah ke AS dari Rusia ketika ia berusia 6 tahun untuk melarikan diri dari anti-Semitisme yang mereka hadapi di negara asal mereka.
Imigran terkaya ketiga di Amerika, ditempati oleh cofounder dan CEO Nvidia, Jensen Huang (62 tahun), dimana Ia lahir di Taiwan dan pindah ke Thailand saat masih anak-anak bersama keluarganya. Ketika Huang berusia sembilan tahun, orang tuanya mengirimnya dan kakaknya yang lebih tua ke AS untuk melarikan diri dari ketidakstabilan sosial yang meluas di Thailand.
Huang saat ini diperkirakan memiliki kekayaan bersih sebesar USD137,9 miliar, dan menjadi salah satu dari 11 imigran miliarder dari Taiwan. Angka tersebut meningkat dari tahun 2022 yang hanya berjumlah empat orang.
Jumlah tersebut cukup untuk menyamakan Taiwan dengan Israel sebagai negara dengan imigran miliarder terbanyak kedua dalam daftar Forbes 2025, dan Taiwan juga mengalami lonjakan terbesar sebagai sebuah negara apabila melihat jumlah imigran terkayanya. Di antara wajah-wajah baru dari Taiwan, ada juga sepupu Huang dan pesaing pembuat chip, CEO AMD Lisa Su.
Berusia 55 tahun, Su adalah salah satu dari hanya 17 imigran miliarder wanita, meski jumlahnya meningkat dari 10 pada tahun 2022. Wanita imigran miliarder lainnya dalam jajaran ini adalah Maky Zanaganeh yang lahir di Iran.
"Menjadi seorang imigran adalah tentang mencari peluang terbaik dan belajar beradaptasi dengan lingkungan baru sambil tetap memegang nilai-nilai inti Anda," kata Zanganeh, (54 tahun) yang pertama kali pindah ke AS untuk bekerja di perusahaan bedah robotik pada tahun 2002 setelah mengelola perusahaan di Eropa.
Dia sekarang adalah co-CEO perusahaan bioteknologi Summit Therapeutics, yang sahamnya melonjak hampir 200% dalam setahun terakhir. Hal itu membawa Zanganeh ke jajaran miliarder, berkat kandidat obat kanker paru-paru yang menjanjikan.
"Dalam bisnis, itu sama—Anda harus tetap tajam, terus berkembang, dan cukup tangguh untuk berkembang terlepas dari tantangannya. Pola pikir itu telah membentuk kesuksesan saya," paparnya.
Sementara itu India menambah jumlah miliarder imigran terbanyak kedua ke dalam daftar Forbes dan mengalahkan Israel sebagai tempat kelahiran imigran miliarder terbanyak. Pendatang baru dari India termasuk CEO Alphabet berusia 53 tahun yakni Sundar Pichai, lalu ada Chief Microsoft, Satya Nadella yang berusia 57 tahun, dan Nikesh Arora (57 tahun) yang telah memimpin perusahaan cybersecurity Palo Alto Networks sejak 2018.
Tercatat 93% imigran yang menjadi miliarder, mendapatkan harta kekayaan mereka dari hasil jerih payahnya sendiri. Hampir dua pertiga dari mereka menjadi kaya di sektor teknologi (di mana 53 imigran menjadi miliarder) atau di bidang keuangan (28 orang).
Oren Zeev, 60, seorang investor ventura yang lahir di Israel, termasuk di antara para miliarder ini. "Apa yang membantu saya berhasil, saya percaya berkat latar belakang saya yang berbeda, saya dapat berpikir dan bergerak secara berbeda daripada sebagian besar VC yang pergi ke sekolah yang sama, bergaul satu sama lain dan mempengaruhi satu sama lain," kata Zeev.
Ia berimigrasi ke AS pada tahun 2002 dan telah berinvestasi di banyak perusahaan seperti audiobook Audible, perusahaan teknologi pendidikan Chegg, dan anak perusahaan pengiriman Uber. "Saya percaya saya menemukan lebih mudah untuk bersikap kontrarian, yang tentu saja bisa menjadi hal positif yang besar dalam modal ventura."
Tidak mengherankan, banyak yang datang ke Amerika untuk kuliah dan tidak pernah pergi lagi, termasuk Musk dan raja keamanan siber berusia 65 tahun Jay Chaudhry, yang belum pernah naik pesawat sebelumnya ketika ia terbang dari tanah airnya India untuk menjalani sekolah pascasarjana di Universitas Cincinnati pada tahun 1980.
Pemilik Jacksonville Jaguars, Shahid Khan (74 tahun) tiba di AS pada usia 16 tahun, menghabiskan sebagian besar tabungan keluarganya untuk perjalanan satu arah ke Universitas Illinois di Urbana-Champaign. Dalam 24 jam, dia sudah membangun impian Amerika, mendapatkan pekerjaan mencuci piring dengan bayaran USD1,20 per jam.
'Dari saat itu, saya memiliki rasa syukur, kerendahan hati, dan pemberdayaan yang belum pernah saya alami sebelumnya,' kata Khan, pendiri pembuat komponen otomotif Flex-N-Gate, yang telah menyumbangkan sekitar USD30 juta untuk almamaternya.
Hal serupa juga dilakukan Noubar Afeyan (62 tahun) yang datang ke AS awalnya untuk belajar. Dia melarikan diri dari perang saudara Lebanon ke Montreal bersama orang tuanya pada tahun 1975 sebelum memperoleh gelar Ph.D. dalam rekayasa biokimia di MIT pada tahun 1987 dan membangun akar di Massachusetts, tempat dia tinggal dan di mana dia ikut mendirikan serta menjabat sebagai chairman pembuat vaksin Covid-19 Moderna.
Pada bulan Juni, Afeyan diminta untuk berbagi perjalanannya dan menjelaskan kebijakannya kepada warga negara AS dalam upacara naturalisasi yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Kepresidenan John F. Kennedy di Boston. Nasihatnya untuk imigran baru, katanya kepada Forbes, juga berlaku untuk orang Amerika yang nenek moyangnya datang ke AS sejak lama. Itu karena, menurut Afeyan, Anda tidak harus menjadi imigran untuk memiliki pola pikir seorang imigran.
“Pola pikir imigran pada dasarnya mengatakan, ‘Saya tidak berhak atas apapun, saya tidak berhak atas hal-hal ini sejak lahir, saya harus bekerja untuk itu dan berusaha menjadikannya lebih baik,’” kata Afeyan.
Baca Juga: 3 Keluarga Terkaya Keturunan Arab Menjajah Dunia di 2025, Nomor 1 Berharta Rp1.550 Triliun
“Perjalanan imigran seringkali dipenuhi dengan kesulitan, tetapi ketahanan yang diperoleh dari perjalanan itu adalah keuntungan jika Anda memilih untuk menggunakannya. Semakin Anda mengharapkan dan menuntut, semakin sedikit Anda menjadi seorang imigran dan semakin lenyap keuntungan itu," ucapnya.
Mentalitas imigran inilah yang telah membuat Amerika menjadi hebat, menurut Afeyan. “Saya telah melihat banyak negara dan budaya yang berbeda, dan tidak ada tempat yang seperti AS sebagai ‘tanah imigran,’” katanya.
“Saya pikir kita perlu melakukan segala yang kita bisa untuk melindunginya.”
“Ketika Anda tinggal di negara yang ditekan dan totaliter seperti yang saya alami, dan Anda tidak memiliki uang, tidak memiliki masa depan atau bahkan untuk hidup lebih baik, jadi Anda bertanya-tanya apakah masih ada harapan,” kata miliarder Steven Udvar-Hazy (79 tahun) yang berimigrasi ke New York dari Hongaria.
Saat masih anak-anak, Ia mengemas kotak-kotak di gudang Manhattan dengan bayaran 30 sen per jam ketika berusia 14 tahun, dan kemudian Ia mampu menciptakan industri penyewaan pesawat. Baca Juga: Pengajuan Visa AS Diperketat, Pemohon Wajib Bayar Uang Jaminan hingga Rp244 Juta
“Ketika Anda keluar dari situasi itu dan datang ke Amerika, Anda memiliki sistem nilai yang sama sekali berbeda dari orang-orang yang lahir di sini, yang sudah terbiasa dengan lingkungan mereka dan semua kenyamanan, kebebasan, serta barang-barang material yang ada di sekitar kita,” kata Udvar-Hazy.
“Jadi Anda mulai dari titik yang berbeda di mana Anda menghargai nilai yang dibangun, Anda menghargai orang-orang yang akan membantu Anda, dan Anda lebih cenderung untuk menetapkan tujuan dan sasaran, karena Anda ingin menjauh dari sejarah dan masa lalu itu secepat mungkin. Tingkat motivasi yang dimiliki sama sekali berbeda daripada orang yang lahir dan dibesarkan di sini," bebernya.
Udvar-Hazy adalah salah satu dari 125 warga negara Amerika yang lahir di luar negeri dan tercatat dalam daftar miliarder Forbes yang saat ini tinggal di Amerika Serikat. Angka tersebut meningkat lebih dari sepertiga sejak penghitungan terakhir yang berjumlah 92 imigran pada tahun 2022.
Para imigran ini berasal dari 43 negara dan menyumbang 14% dari hampir 900 miliarder di negara ini. Para imigran Amerika ini memiliki total kekayaan USD1,3 triliun (atau setara Rp21.287 triliun dengan kurs Rp16.375 per USD) yang menyentuh rekor dan menguasai 18% dari total harta kekayaan miliarder Amerika sebesar USD7,2 triliun.
Tiga dari 10 orang terkaya di Amerika (dan dunia) adalah imigran, termasuk orang terkaya di dunia: Elon Musk (54 tahun) yang lahir di Afrika Selatan dan datang ke AS melalui Kanada sebagai mahasiswa, dan sekarang Ia bernilai sekitar USD393,1 miliar.
Selanjutnya ada salah satu pendiri Google, Sergey Brin (51 tahun) sebagai imigran terkaya kedua, dengan kekayaan yang diperkirakan mencapai USD139,7 miliar. Keluarga Brin pindah ke AS dari Rusia ketika ia berusia 6 tahun untuk melarikan diri dari anti-Semitisme yang mereka hadapi di negara asal mereka.
Imigran terkaya ketiga di Amerika, ditempati oleh cofounder dan CEO Nvidia, Jensen Huang (62 tahun), dimana Ia lahir di Taiwan dan pindah ke Thailand saat masih anak-anak bersama keluarganya. Ketika Huang berusia sembilan tahun, orang tuanya mengirimnya dan kakaknya yang lebih tua ke AS untuk melarikan diri dari ketidakstabilan sosial yang meluas di Thailand.
Huang saat ini diperkirakan memiliki kekayaan bersih sebesar USD137,9 miliar, dan menjadi salah satu dari 11 imigran miliarder dari Taiwan. Angka tersebut meningkat dari tahun 2022 yang hanya berjumlah empat orang.
Jumlah tersebut cukup untuk menyamakan Taiwan dengan Israel sebagai negara dengan imigran miliarder terbanyak kedua dalam daftar Forbes 2025, dan Taiwan juga mengalami lonjakan terbesar sebagai sebuah negara apabila melihat jumlah imigran terkayanya. Di antara wajah-wajah baru dari Taiwan, ada juga sepupu Huang dan pesaing pembuat chip, CEO AMD Lisa Su.
Berusia 55 tahun, Su adalah salah satu dari hanya 17 imigran miliarder wanita, meski jumlahnya meningkat dari 10 pada tahun 2022. Wanita imigran miliarder lainnya dalam jajaran ini adalah Maky Zanaganeh yang lahir di Iran.
"Menjadi seorang imigran adalah tentang mencari peluang terbaik dan belajar beradaptasi dengan lingkungan baru sambil tetap memegang nilai-nilai inti Anda," kata Zanganeh, (54 tahun) yang pertama kali pindah ke AS untuk bekerja di perusahaan bedah robotik pada tahun 2002 setelah mengelola perusahaan di Eropa.
Dia sekarang adalah co-CEO perusahaan bioteknologi Summit Therapeutics, yang sahamnya melonjak hampir 200% dalam setahun terakhir. Hal itu membawa Zanganeh ke jajaran miliarder, berkat kandidat obat kanker paru-paru yang menjanjikan.
"Dalam bisnis, itu sama—Anda harus tetap tajam, terus berkembang, dan cukup tangguh untuk berkembang terlepas dari tantangannya. Pola pikir itu telah membentuk kesuksesan saya," paparnya.
Sementara itu India menambah jumlah miliarder imigran terbanyak kedua ke dalam daftar Forbes dan mengalahkan Israel sebagai tempat kelahiran imigran miliarder terbanyak. Pendatang baru dari India termasuk CEO Alphabet berusia 53 tahun yakni Sundar Pichai, lalu ada Chief Microsoft, Satya Nadella yang berusia 57 tahun, dan Nikesh Arora (57 tahun) yang telah memimpin perusahaan cybersecurity Palo Alto Networks sejak 2018.
Tercatat 93% imigran yang menjadi miliarder, mendapatkan harta kekayaan mereka dari hasil jerih payahnya sendiri. Hampir dua pertiga dari mereka menjadi kaya di sektor teknologi (di mana 53 imigran menjadi miliarder) atau di bidang keuangan (28 orang).
Oren Zeev, 60, seorang investor ventura yang lahir di Israel, termasuk di antara para miliarder ini. "Apa yang membantu saya berhasil, saya percaya berkat latar belakang saya yang berbeda, saya dapat berpikir dan bergerak secara berbeda daripada sebagian besar VC yang pergi ke sekolah yang sama, bergaul satu sama lain dan mempengaruhi satu sama lain," kata Zeev.
Ia berimigrasi ke AS pada tahun 2002 dan telah berinvestasi di banyak perusahaan seperti audiobook Audible, perusahaan teknologi pendidikan Chegg, dan anak perusahaan pengiriman Uber. "Saya percaya saya menemukan lebih mudah untuk bersikap kontrarian, yang tentu saja bisa menjadi hal positif yang besar dalam modal ventura."
Tidak mengherankan, banyak yang datang ke Amerika untuk kuliah dan tidak pernah pergi lagi, termasuk Musk dan raja keamanan siber berusia 65 tahun Jay Chaudhry, yang belum pernah naik pesawat sebelumnya ketika ia terbang dari tanah airnya India untuk menjalani sekolah pascasarjana di Universitas Cincinnati pada tahun 1980.
Pemilik Jacksonville Jaguars, Shahid Khan (74 tahun) tiba di AS pada usia 16 tahun, menghabiskan sebagian besar tabungan keluarganya untuk perjalanan satu arah ke Universitas Illinois di Urbana-Champaign. Dalam 24 jam, dia sudah membangun impian Amerika, mendapatkan pekerjaan mencuci piring dengan bayaran USD1,20 per jam.
'Dari saat itu, saya memiliki rasa syukur, kerendahan hati, dan pemberdayaan yang belum pernah saya alami sebelumnya,' kata Khan, pendiri pembuat komponen otomotif Flex-N-Gate, yang telah menyumbangkan sekitar USD30 juta untuk almamaternya.
Hal serupa juga dilakukan Noubar Afeyan (62 tahun) yang datang ke AS awalnya untuk belajar. Dia melarikan diri dari perang saudara Lebanon ke Montreal bersama orang tuanya pada tahun 1975 sebelum memperoleh gelar Ph.D. dalam rekayasa biokimia di MIT pada tahun 1987 dan membangun akar di Massachusetts, tempat dia tinggal dan di mana dia ikut mendirikan serta menjabat sebagai chairman pembuat vaksin Covid-19 Moderna.
Pada bulan Juni, Afeyan diminta untuk berbagi perjalanannya dan menjelaskan kebijakannya kepada warga negara AS dalam upacara naturalisasi yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Kepresidenan John F. Kennedy di Boston. Nasihatnya untuk imigran baru, katanya kepada Forbes, juga berlaku untuk orang Amerika yang nenek moyangnya datang ke AS sejak lama. Itu karena, menurut Afeyan, Anda tidak harus menjadi imigran untuk memiliki pola pikir seorang imigran.
“Pola pikir imigran pada dasarnya mengatakan, ‘Saya tidak berhak atas apapun, saya tidak berhak atas hal-hal ini sejak lahir, saya harus bekerja untuk itu dan berusaha menjadikannya lebih baik,’” kata Afeyan.
Baca Juga: 3 Keluarga Terkaya Keturunan Arab Menjajah Dunia di 2025, Nomor 1 Berharta Rp1.550 Triliun
“Perjalanan imigran seringkali dipenuhi dengan kesulitan, tetapi ketahanan yang diperoleh dari perjalanan itu adalah keuntungan jika Anda memilih untuk menggunakannya. Semakin Anda mengharapkan dan menuntut, semakin sedikit Anda menjadi seorang imigran dan semakin lenyap keuntungan itu," ucapnya.
Mentalitas imigran inilah yang telah membuat Amerika menjadi hebat, menurut Afeyan. “Saya telah melihat banyak negara dan budaya yang berbeda, dan tidak ada tempat yang seperti AS sebagai ‘tanah imigran,’” katanya.
“Saya pikir kita perlu melakukan segala yang kita bisa untuk melindunginya.”
(akr)