Kehilangan Kepercayaan Publik, Bos Pertamina Akui Ramai Konsumen Beralih Gunakan BBM Shell dan BP - Fajar
Kehilangan Kepercayaan Publik, Bos Pertamina Akui Ramai Konsumen Beralih Gunakan BBM Shell dan BP
FAJAR.CO.ID, JAKARTA - Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Simon Aloysius Mantiri mengakui kasus dugaan korupsi yang menjerat petinggi Pertamina hingga polemik pengoplosan Pertalite membuat kepercayaan konsumen menurun. Sederet kasus yang menurunkan kepercayaan publik pada Pertamina berdampak pada ramainya konsumen beralih menggunakan BBM dari SPBU swasta seperti Shell BP.
Menurunnya kepercayaan publik pada kualitas BBM Pertamina memaksa perusahaan negara itu mau tidak mau harus memperbaiki tata kelola yang lebih transparan. Semua upaya itu dilakukan PT Pertamina untuk memperbaiki kepercayaan masyarakat, khususnya dalam pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) di SPBU.
Simon tidak menampik bahwa konsumsi BBM non subsidi Pertamina cenderung menurun pasca persoalan hukum di awal 2025 ini.
"Dengan rendah hati menyampaikan adanya kasus ini membuat kepercayaan masyarakat kepada Pertamina menurun. Ini tentu menjadi PR besar bagi Pertamina. Kami harus kerja keras untuk kembali mendapatkan kepercayaan masyarakat, dengan tata kelola yang baik dan semakin transparan," kata Simon di Kompleks Istana Kepresidenan, dikutip Senin (22/9/2025).
Seperti diketahui, skandal megakorupsi di Pertamina terungkap pada Februari 2025 lalu. Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang diduga mencampur bahan bakar minyak (BBM) jenis RON 90 untuk dijual dengan harga RON 92.
Akibat berbagai tindakan melawan hukum tersebut, negara mengalami kerugian sekitar Rp193,7 triliun, yang berasal dari kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sebesar Rp35 triliun, kerugian impor minyak mentah melalui broker sebesar Rp2,7 triliun, kerugian impor BBM melalui broker sebesar Rp9 triliun, kerugian pemberian kompensasi tahun 2023 sebesar Rp126 triliun, serta kerugian pemberian subsidi tahun 2023 sebesar Rp21 triliun.
"BBM yang sebenarnya merupakan RON 90 dibeli dengan harga RON 92, lalu dicampur atau dioplos," ujar Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, di Jakarta, Selasa (24/2) malam.
Kejaksaan Agung menetapkan beberapa petinggi Pertamina maupun swasta pada kasus dugaan korupsi tata kelola minyak dan pengoplosan BBM bersubsidi jenis Pertalite menjadi BBM Pertamax RON 92.
Tersangka yang terlibat dalam praktik megakorupsi dan pengoplosan BBM antara lain Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga; Sani Dinar Saifuddin (SDS), Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional; serta Agus Purwono (AP), VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.
Ketiganya diduga sengaja menurunkan produksi kilang, yang berimbas pada meningkatnya ketergantungan terhadap impor minyak mentah dan produk kilang.
Kejaksaan Agung mengungkap peran para tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang diduga mencampur bahan bakar minyak (BBM) jenis RON 90 untuk dijual dengan harga RON 92.
"BBM yang sebenarnya merupakan RON 90 dibeli dengan harga RON 92, lalu dicampur atau dioplos," ujar Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, di Jakarta, Selasa (24/2) malam.
Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembelian BBM RON 92, padahal yang sebenarnya dibeli hanyalah RON 90 atau lebih rendah. Kemudian, BBM tersebut dilakukan pencampuran di storage atau depo untuk menjadi RON 92, yang merupakan tindakan ilegal.
Ia menjelaskan bahwa praktik tersebut berawal dari kewajiban pemenuhan minyak mentah dalam negeri pada periode 2018-2023 yang seharusnya mengutamakan pasokan dari dalam negeri, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018.
"PT Pertamina diwajibkan mencari pasokan minyak dari kontraktor dalam negeri sebelum mempertimbangkan impor. Namun, para tersangka justru melakukan manipulasi kebijakan yang menyebabkan penurunan produksi kilang, sehingga minyak bumi dalam negeri tidak dapat diserap secara maksimal," jelasnya.
Kerja Keras Pulihkan Kepercayaan Publik
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Simon Aloysius Mantiri menyadari banyak konsumen beralih dari Pertamina ke SPBU swasta membeli produk BBM lain. Dia juga mengaku tidak bisa melarang konsumen untuk melakukan pembelian BBM dari pilihan produk dan merek yang tersedia.
"Sebagian masyarakat ada juga yang beralih ke SPBU swasta. Itu adalah pilihan masyarakat dan kami tentunya tidak melarang," katanya.
Pertamina hanya dapat bekerja keras mengupayakan untuk mengembalikan kepercayaan publik
"Saya atas nama Pertamina akan kerja keras juga untuk supaya menghasilkan produk berkualitas dan tentu bisa mendapat dukungan masyarakat," tandasnya.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), data tren pangsa pasar BBM non-subsidi di SPBU swasta yang justru terus mengalami peningkatan, yakni naik 11% pada 2024 dan mencapai sekitar 15% hingga bulan Juli 2025. Kenaikan tersebut menunjukkan impor tetap berjalan seiring bertambahnya permintaan dan outlet SPBU swasta.
Di samping itu, Pertamina Patra Niaga masih memiliki sisa kuota impor sebesar 34% atau sekitar 7,52 juta kiloliter, yang cukup untuk memenuhi tambahan alokasi bagi SPBU swasta hingga Desember 2025 sebesar 571.748 kiloliter.
Impor BBM Satu Pintu
Sementara itu, pemerintah memberlakukan kebijakan impor satu pintu melalui Pertamina bagi SPBU swasta yang ingin menambah kuota impor BBM. Saat ini, beberapa SPBU swasta terpaksa merumahkan karyawan karena kehabisan stok BBM yang diimpor sendiri.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia menegaskan operator SPBU swasta seperti Shell, Vivo, dan BP tidak lagi mendapatkan jatah impor BBM hingga 30 Desember 2026.
Bahlil menegaskan, jika SPBU swasta mau memenuhi permintaan BBM, maka bisa melakukan pembelian BBM lewat PT Pertamina (Persero). Dia menilai Pertamina saat ini masih memiliki stok cadangan minyak yang cukup.
Menurutnya, SPBU swasta sudah diberikan kuota impor BBM yang cukup, yakni 110 persen dibanding tahun 2024. Namun, kuota tersebut sudah habis sebelum akhir Desember. Cepatnya kuota BBM SPBU swasta habis, salah satunya karena banyaknya konsumen beralih dari BBM Pertamina ke BBM dari SPBU swasta. (*)
