Ribuan Kasus Keracunan, JPPI Nilai Program MBG Perlu Direm - Kompas
Kesehatan,
Ribuan Kasus Keracunan, JPPI Nilai Program MBG Perlu Direm
JAKARTA, KOMPAS.com – Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah perlu segera direm menyusul ribuan kasus keracunan yang dilaporkan di berbagai daerah.
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, menyebut hingga Minggu (14/9/2025) jumlah korban keracunan mencapai 6.452 kasus berdasarkan laporan pemantau di lapangan.
“Artinya lonjakan ribuan korban keracunan ini kalau tidak direm, Presiden, please, jangan main-main dengan nyawa. Mohon utamakan keselamatan anak,” ujar Ubaid di Jakarta, Selasa (23/9/2025).
Per Jumat kemarin, JPPI merilis ada 5.360 korban keracunan MBG. Lalu pada hari Minggu, JPPI melakukan rekap kembali, dari laporan di berbagai daerah yang menunjukkan tren naik seribuan.
“Sehingga total sampai ke angka 6.452 korban keracunan. Itu yang reported ya,” kata Ubaid.
Ia menambahkan, jumlah korban bisa lebih besar lantaran diduga ada banyak kasus yang tidak dilaporkan akibat intimidasi kepada sekolah, SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi), maupun orang tua.
“Artinya yang unreported, ya ribuan lebih. Jadi yang ketahuan saja dari pemantau kami 6.452,” ujarnya.
Menurut Ubaid, di balik angka itu ada kisah tragis yang dialami anak-anak dan keluarganya.
“Di balik angka ini ada anak-anak yang menangis karena keracunan, ada yang berjuang mati-matian, ada orang tua yang sampai nangis-nangis di rumah sakit,” ujarnya.
“Saya tidak tahu Presiden butuh berapa ribu lagi korban, atau menunggu ada korban nyawa baru dihentikan,” tambahnya.
Adapun lima kesalahan sistemik MBG menurut JPPI, pertama, merupakan program kejar target, yang mengabaikan kualitas. Dia bilang, fokus BGN lebih pada jumlah dapur dan anak penerima, bukan pada kualitas gizi dan keselamatan anak.
Kedua, lokasi dapur tidak sesuai prioritas. Banyak dapur dibuka di kota yang relatif sudah tercukupi gizinya, sementara daerah dengan angka stunting tinggi justru terabaikan.\
“Padahal anak gizi buruk itu di mana? Kalau kita lihat antara kota, kemudian desa, daerah, kemudian wilayah terpencil, itu angka ketercukupan gizi itu jomplangnya ada di mana?,” kata dia.
“Kalau niatnya pemenuhan gizi, perbaikan gizi, maka cari titik-titik yang penting dan mendesak. Di mana angka-angka stunting, mana wilayah-wilayah dengan angka ketercukupan gizi yang kurang, itu yang mendesak itu di dapur buka,” lanjutnya.
Ketiga, minim pelibatan pemangku kepentingan. Dia bilang, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, sekolah, hingga orang tua tidak dilibatkan dalam pengawasan maupun pengambilan keputusan.
Keempat, sistem pengawasan lemah, di mana tidak ada mekanisme quality control yang jelas, membuat kasus keracunan sulit ditangani secara cepat dan tuntas.
Terakhir, program ini rawan korupsi dan tidak transparan. Menurut Ubaid, ada praktik sekolah atau orang tua diminta menandatangani surat pernyataan agar tidak menuntut jika terjadi keracunan.
“Ketika sistem yang dibikin oleh BGN itu tidak akuntabel, tidak transparan, tidak kredibel, maka sangat bahaya. Orang bilang, bahaya ini MBG,” tegas Ubaid.
