Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Benjamin Netanyahu Donald Trump Dunia Internasional Featured Hamas Israel Konflik Timur Tengah Netanyahu

    Adu Lihai Diplomasi Trump, Netanyahu, dan Hamas: Siapa Lebih Unggul? |Republika Online

    4 min read

     

    Adu Lihai Diplomasi Trump, Netanyahu, dan Hamas: Siapa Lebih Unggul? |Republika Online

    Hamas membuktikan kelihaian diplomasi tingkat tinggi.

    Foto: AP Photo/Evan Vucci
    Presiden Donald Trump berbicara setelah konferensi pers dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, di Gedung Putih, Senin, 29 September 2025, di Washington.

    Oleh : Dina Y Sulaeman, dosen Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran

    REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Ketika Trump dan Netanyahu (29/09) berdiri berdampingan mengumumkan “Comprehensive Plan to End the Gaza Conflict”, dunia seolah disuguhi harapan muluk yaitu perang akan berakhir, Gaza dibangun kembali, sandera dibebaskan, dan era baru koeksistensi dimulai. Apalagi, delapan negara Muslim dan Arab—termasuk Indonesia dan Pakistan—segera menyatakan dukungan terhadap rencana “damai” ini.

    Rencana jahat

    Bila kita cermati dua puluh poin damai dari Trump secara kritis, dengan segera akan terlihat bahwa di balik retorika diplomatik itu tersembunyi rencana jahat.

    Di bawah istilah “perdamaian,” rakyat Gaza diberi janji semu tentang Israel yang akan ditarik keluar dan pengeboman dihentikan, asalkan Hamas mau melucuti semua senjata dan membongkar semua infrastruktur paramiliternya (yang diberi istilah “teror” oleh Trump).

    Jika Hamas menyerah, bantuan kemanusiaan akan dikirim ke Gaza. Dengan kata lain: rakyat Gaza akan diberi makan kembali jika mereka berhenti melawan penjajahan. Inilah strategi klasik kolonial: menggunakan makanan sebagai senjata untuk menundukkan perlawanan.

    Trump juga mengusulkan dibentuknya komite khusus yang akan mengurus Gaza, tanpa keterlibatan Hamas atau faksi-faksi perlawanan lain. Komite ini akan diawasi oleh Board of Peace yang dipimpin Trump dan Tony Blair, mantan perdana menteri Inggris yang dikecam sebagai penjahat perang dalam dalam invasi Irak 2003.

    Melalui skema Trump ini, Netanyahu berharap memperoleh apa yang gagal ia capai lewat dua tahun genosida: Gaza yang lumpuh secara militer dan sepenuhnya terkendali, meski untuk sementara melalui tangan AS dan Inggris.

    Tidak heran, beberapa jam setelah pengumuman itu Netanyahu berkata dengan nada puas kepada media Ibrani:

    “Alih-alih Hamas mengisolasi kami, kini kamilah yang mengisolasi Hamas. Dunia, bahkan negara-negara Muslim, menekan Hamas agar tunduk pada syarat-syarat kami bersama Presiden Trump.”

    Halaman 2 / 3

    Jawaban dari Hamas

    Banyak yang menanti-nanti respons Hamas karena jelas, posisinya sangat dilematis. Gaza telah hancur, puluhan ribu warganya meninggal, dan jutaan lainnya kelaparan.

    Menolak tawaran damai Trump akan membuat Hamas menjadi sasaran cercaan jika Israel menyerang lagi. Tetapi, menerima begitu saja berarti mengkhianati cita-cita kemerdekaan Palestina.

    Namun, jawaban yang diberikan dari Hamas menunjukkan kelihaian diplomasi organisasi politik dan paramiliter ini.

    Alih-alih menolak mentah-mentah atau tunduk patuh, Hamas memilih manuver diplomasi yaitu tampil konstruktif dengan menerima aspek-aspek kemanusiaan dari proposal tersebut, namun tetap mempertahankan posisi politiknya yang memperjuangkan hak bangsa Palestina dalam menentukan nasib sendiri.

    Dalam pernyataannya, Hamas menyatakan kesediaan melakukan pertukaran sandera namun dengan syarat penghentian total agresi dan penarikan penuh Israel dari Gaza.

    Langkah ini membalikkan narasi yang selama ini dikendalikan oleh Israel dan sekutu Baratnya. Hamas kini justru menempatkan Israel di posisi penanggung jawab.

    Jika perang terus berlanjut, maka dunia akan tahu bahwa penyebabnya bukan gerakan perlawanan Palestina, melainkan kerakusan kolonial yang tak mau kehilangan kendali.

    Hamas juga menunjukkan itikad baiknya, yaitu bersedia menyerahkan administrasi Gaza “kepada sebuah badan Palestina yang terdiri dari kalangan independen berdasarkan konsensus nasional Palestina dan dengan dukungan Arab serta Islam.”

    Kalimat ini secara tersirat, namun jelas, menunjukkan bahwa Hamas tidak setuju jika Washington, London, atau Tel Aviv menjadi pemegang kontrol atas Gaza.

    photo
    Ragam Faksi Militer di Palestina - (Republika)
    Loading...
    Komentar
    Additional JS