Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Featured Kasus Sahara Yai Mim

    Kasus Imam Muslimin dan Sahara Butuh Jalur Sosial - RRI

    2 min read

     

    Kasus Imam Muslimin dan Sahara Butuh Jalur Sosial

    Oleh: Hanum Oktavia
    Editor: Syamsuddin
    03 Oct 2025 - 19:20
    Malang


    Pakar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya (UB), Prof. Ali Safaat (Foto: RRI Malang/Hanum)
    KBRN, Malang : Kasus viral mengenai konflik antara Imam Muslimin dengan tetangganya, Sahara, beberapa waktu terakhir ramai diperbincangkan publik. Kasus ini mencuat setelah beredar video di media sosial yang memperlihatkan adanya dugaan pengusiran yang melibatkan pengurus RT/RW setempat. Peristiwa tersebut memicu perdebatan luas, salah satunya soal hak bertempat tinggal, hingga kewenangan perangkat masyarakat tingkat bawah.

    Pakar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya (UB), Prof. Ali Safaat, menegaskan bahwa secara hukum formal RT maupun RW tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pengusiran terhadap warga. 
    “Kalau bicara hukum formal, memang tidak ada kewenangan RT atau RW melakukan pengusiran. Setiap orang sebetulnya memiliki hak untuk bertempat tinggal di rumahnya. Tetapi dalam kehidupan bermasyarakat, sering ada tatanan sosial, kebiasaan, atau kesepakatan yang dijalankan untuk menyelesaikan persoalan konkret,” kata Prof. Ali, Jumat (3/10/2025).
    Menurut Prof. Ali, konflik antarwarga jarang bisa diselesaikan secara tuntas hanya melalui jalur hukum formal. Proses hukum, khususnya pidana, bersifat hitam-putih dan panjang, sehingga sering kali justru menimbulkan penderitaan baru.

    “Kalau masuk jalur pidana, pasti ada pihak yang dipidana dan itu meninggalkan luka. Padahal masalah antarwarga lebih tepat diselesaikan lewat pendekatan sosial yang menekankan komunikasi dan musyawarah,” jelasnya.

    Ia menegaskan, peran RT, RW, maupun tokoh masyarakat sebetulnya merupakan kewenangan sosial, bukan kewenangan hukum. Walau tidak diatur dalam peraturan perundangan, mereka secara nyata diberi legitimasi oleh masyarakat untuk menjaga ketertiban, keamanan, dan kenyamanan bersama.

    Prof. Ali mencontohkan, dalam suatu lingkungan warga bisa sepakat mengatur jalur keluar-masuk kendaraan atau ketentuan penggunaan fasilitas bersama. 
    “Secara hukum formal, RT/RW tidak punya kewenangan itu. Tetapi karena mereka yang hidup di situ dan bertanggung jawab atas keamanan dan kenyamanan, maka lahirlah kewenangan sosial yang dijalankan atas dasar kesepakatan warga,” ujar pria yang juga menjabat WR 2 UB ini.
    Ia juga menyoroti kompleksitas masyarakat urban yang menjadi latar belakang kasus serupa. Perbedaan profesi, gaya hidup, hingga generasi bisa memicu gesekan. 
    “Ada warga yang lebih toleran terhadap kebisingan, ada juga generasi yang butuh ketenangan. Perbedaan semacam ini sering menimbulkan konflik jika tidak ada komunikasi di tingkat lokal,” ujarnya.
    Selain faktor internal, Prof. Ali menilai media sosial turut memperkeruh suasana karena memperbesar eskalasi konflik. 
    “Media sosial membuat setiap orang bisa jadi wartawan. Satu versi cepat menyebar, sementara versi lain sering diabaikan. Netizen yang anonim biasanya paling berani berkomentar, bahkan memprovokasi, sehingga memperuncing ketegangan,” katanya.

    Ia menambahkan, dalam banyak kasus, aparat kepolisian bila turun tangan lebih memilih pendekatan persuasif ketimbang represif. 
    “Secara hukum formal, tidak ada kewajiban orang untuk pindah rumah. Tapi polisi bisa saja meminta secara baik-baik demi mencegah benturan sosial. Jadi alasannya lebih pada menjaga ketertiban, bukan pada aspek hukum formal,” pungkas Prof. Ali.

    Dengan demikian, menurutnya, solusi atas konflik antarwarga seperti kasus imam Muslimin dan Sahara bukanlah sekadar menaikkan perkara ke ranah hukum, melainkan memperkuat komunikasi, mencari jalan tengah, dan melibatkan peran tokoh masyarakat di tingkat bawah untuk mencegah konflik semakin meluas.
    Kata Kunci:
    Komentar
    Additional JS