0
News
    Home BBM Featured Pertamina

    Nasib 60.000 Barel BBM Pertamina yang Ditolak Halus SPBU Swasta - SINDOnews

    2 min read

     

    Nasib 60.000 Barel BBM Pertamina yang Ditolak Halus SPBU Swasta

    Rabu, 01 Oktober 2025 - 14:29 WIB

    Menteri ESDM Bahlil Lahadalia saat memberikan keterangan di hadapan media. Foto: Menteri ESDM
    A
    A
    A
    JAKARTA - Sebanyak 60.000 barel bahan bakar minyak (BBM) impor yang digadang-gadang jadi simbol kolaborasi baru antara Pertamina dan SPBU swasta, kini justru berakhir "yatim piatu".

    Tak kunjung dilirik oleh para pemain besar seperti Shell dan lainnya, kargo BBM itu akhirnya terpaksa diserap sendiri oleh Pertamina.

    Dari total 100.000 barel base fuel (bahan bakar murni tanpa campuran) yang ditawarkan pada kargo impor tahap pertama, hanya PT Vivo Energy Indonesia (Vivo) yang bersedia menyerap 40.000 barel. Sisanya, 60.000 barel, mengambang tanpa pembeli.

    Sekretaris Perusahaan Pertamina Patra Niaga, Roberth MV Dumatubun, mengonfirmasi kebuntuan itu. “Kargo yang tidak terserap 60.000 barel dipakai Pertamina saat ini,” katanya.

    Setetes Air di Lautan Kebutuhan Nasional

    Angka 60.000 barel mungkin terdengar masif bagi telinga awam, namun sesungguhnya hanyalah setetes air di lautan kebutuhan energi Indonesia. Sebagai perbandingan, konsumsi BBM nasional secara total mencapai sekitar 1,6 juta barel per hari.

    Artinya, 60.000 barel yang tidak terserap itu bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan BBM nasional selama satu jam.

    Jika dihitung bulanan, Indonesia "meminum" sekitar 48 juta barel BBM. Fakta ini menggarisbawahi bahwa masalahnya bukanlah pada volume yang tak terjual, melainkan pada sinyal penolakan halus dari pasar terhadap skema baru yang dipaksakan pemerintah.

    Kebijakan Idealis yang Terbentur Realitas Bisnis

    Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, pada Jumat (19/9) lalu, mengumumkan "solusi" setelah rapat dengan Pertamina dan para pengusaha SPBU swasta. Tujuannya adalah menjaga neraca perdagangan dari tekanan defisit impor migas. Skemanya: SPBU swasta harus berkolaborasi dengan Pertamina untuk mengimpor BBM dalam bentuk base fuel.

    "Mereka setuju untuk kolaborasi dengan Pertamina, syaratnya adalah harus berbasis base fuel, artinya belum bercampur-campur," ujar Bahlil dengan optimis.

    Pemerintah bahkan menjanjikan proses transparan, survei kualitas bersama, dan target ambisius bahwa dalam tujuh hari, barang sudah bisa masuk ke Indonesia.

    Namun, realitas lapangan berbicara lain. Kebijakan yang di atas kertas tampak sebagai win-win solution, ternyata menjadi sandungan bagi model bisnis SPBU swasta yang sudah mapan dengan rantai pasok mereka sendiri.

    Ironisnya, keengganan ini terjadi di saat pangsa pasar SPBU swasta justru sedang meroket.

    Data Kementerian ESDM menunjukkan pangsa pasar mereka naik 11% pada 2024 dan terus menanjak hingga mencapai sekitar 15% pada Juli 2025. Ini membuktikan bahwa kehadiran mereka semakin signifikan dalam pemenuhan kebutuhan BBM non-subsidi.

    Di sisi lain, Pertamina Patra Niaga sebenarnya masih memiliki sisa kuota impor yang sangat besar, yakni 34% atau sekitar 7,52 juta kiloliter.

    Kuota ini lebih dari cukup untuk memenuhi tambahan alokasi bagi SPBU swasta hingga Desember 2025 yang diperkirakan sebesar 571.748 kiloliter. Kapasitas ada, barang ada, namun kesepakatan bisnis tak kunjung tiba.

    Pada akhirnya, nasib 60.000 barel BBM ini jadi cerminan kebijakan yang mungkin terlalu terburu-buru, tanpa mempertimbangkan kompleksitas bisnis di lapangan. Pemerintah menyebutnya "kolaborasi", namun pasar seolah membacanya sebagai "intervensi".
    (dan)
    Komentar
    Additional JS