0
News
    Home Featured Istimewa Spesial Universitas Brawijaya Yai Mim

    Pakar Hukum UB Soroti Surat Pengusiran Yai Mim: Tak Ada Kewajiban Pindah, Mediasi Sosial Jadi Kunci - beritajatim

    3 min read

     

    Pakar Hukum UB Soroti Surat Pengusiran Yai Mim: Tak Ada Kewajiban Pindah, Mediasi Sosial Jadi Kunci

     - beritajatim4 Oktober 2025 | 16:26

    Wawancara dengan Prof. Muchamad Ali Safaat pakar hukum UB. (Foto: Istimewa)

    Malang (beritajatim.com) – Perseteruan antara eks dosen UIN Malang, Imam Muslimin atau Yai Mim, dengan tetangganya, Nurul Sahara, yang berujung pada viralnya surat pengusiran oleh RT/RW, mendapat sorotan dari pakar hukum. Wakil Rektor Bidang Keuangan dan Sumber Daya UB, Prof. Dr. Muchamad Ali Safaat, S.H., M.H., menegaskan bahwa secara hukum formal, surat tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat, namun menyoroti pentingnya penyelesaian sosial dalam konflik komunal.

    Konflik yang bermula dari masalah parkir mobil rental milik Sahara ini telah merembet ke berbagai ranah, mulai dari saling lapor ke polisi atas dugaan pencemaran nama baik, pemecatan Yai Mim sebagai dosen, hingga tuntutan publik agar UB mengeluarkan Sahara. Termasuk munculnya surat kesepakatan warga RT setempat yang meminta Mim dan istri untuk pindah dari lingkungan tersebut.

    Menanggapi fenomena ini, Prof. Ali Safaat memberikan pandangan hukum dan sosialnya. Prof. Ali menjelaskan bahwa dalam tatanan hukum formal di Indonesia, perangkat RT maupun RW tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pengusiran terhadap seorang warga dari kediamannya.

    “Kalau bicara hukum formal, ya memang enggak ada kewenangan RT/RW itu melakukan pengusiran. Setiap orang memiliki hak untuk bertempat tinggal di rumahnya,” tegas Prof. Ali pada beritajatim.com pada Sabtu (4/10/2025).

    Namun, ia juga mengakui adanya kewenangan sosial yang melekat pada institusi RT/RW. Kewenangan ini lahir dari kesepakatan dan kebutuhan masyarakat setempat untuk menjaga ketertiban dan harmoni. Dalam praktiknya, kewenangan sosial ini seringkali lebih efektif untuk menyelesaikan persoalan konkret di level komunitas.

    “Di samping hukum formal, ada tatanan atau kebiasaan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan persoalan. RT/RW secara nyata memiliki kewenangan yang diberikan oleh masyarakat setempat untuk mengatur lingkungannya,” tambahnya.

    Menurut Prof. Ali, konflik antar tetangga seperti yang terjadi antara Yai Mim dan Sahara tidak akan pernah tuntas jika hanya diselesaikan melalui jalur hukum formal, terutama pidana. Pendekatan hukum yang bersifat hitam-putih dinilai hanya akan melahirkan korban dan meninggalkan luka mendalam.

    “Penyelesaiannya harus lebih diarahkan ke penyelesaian sosial. Kalau menggunakan pendekatan hukum, apalagi hukum pidana, penderitaan yang akan terjadi itu lebih besar jika dibandingkan dengan manfaat yang akan diperoleh,” paparnya.

    Ia menekankan peran vital tokoh masyarakat, ketua RT, dan ketua RW sebagai mediator untuk menjembatani komunikasi. Menurutnya, kompleksitas kehidupan urban dengan beragam profesi dan generasi menuntut adanya ruang dialog yang dimediasi oleh figur yang dihormati di lingkungan tersebut.

    Secara tegas, Prof. Ali menyatakan bahwa Yai Mim tidak memiliki kewajiban hukum untuk mematuhi surat pengusiran tersebut. Bahkan, aparat kepolisian pun tidak dapat mengeksekusi surat itu secara paksa.

    “Sebetulnya tidak ada kewajiban itu. Kalaupun ada aparat kepolisian yang turun tangan, pasti pendekatannya akan persuasif untuk meminta pindah dengan alasan menghindari benturan sosial atau konflik, bukan karena penegakan surat itu,” jelasnya.

    Prof. Ali turut menyoroti peran media sosial yang menjadi akselerator dalam memuncaknya konflik ini. Ia mengibaratkan setiap orang bisa menjadi wartawan atas versinya sendiri, tanpa adanya verifikasi yang berimbang.

    “Yang ini pasti dari versinya, kemudian ditanggapi dari versi yang lain. Orang yang sudah percaya pada satu versi belum tentu membaca versi satunya. Apalagi netizen anonim yang komentarnya paling berani, seolah-olah ngompori dan membuat semakin meruncing,” pungkasnya. (dan/ian)

    Komentar
    Additional JS