Profil dan Spesifikasi Jet Tempur China J-10, Diincar Indonesia, Pernah Jatuhkan Rafale AU India - Tribunnews
Profil dan Spesifikasi Jet Tempur China J-10, Diincar Indonesia, Pernah Jatuhkan Rafale AU India - Tribunnews.com

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pesawat tempur buatan China, J-10 C kini tengah dalam kajian Kementerian Pertahanan, terkait isu Indonesia akan mengakuisisi jet generasi 4.5 tersebut.
Hari Kamis lalu (18/9/2025), Kepala Biro Informasi Pertahanan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Brigadir Jenderal Frega Wenas Inkiriwang, di Jakarta, mengkonfirmasi wacana ketertarikan RI mendapatkan 42 jet tempur yang diklaim berhasil menjatuhkan Rafale India.
”Terkait dengan alutsista, kita tentunya akan selalu mengkaji mana yang terbaik," katanya.
Menurut Frega, apa pun platform alutsista yang nantinya akan dipilih, keputusan tersebut harus selaras dengan kebijakan pertahanan nasional yang digariskan oleh Menteri Pertahanan.
J-10 C, Tawarkan Keseimbangan Kekuatan Udara
Nama Chengdu J-10C kini mencuat ke panggung dunia sebagai salah satu jet tempur paling disruptif secara strategis dalam dekade ini.
Kondisi tersebut menunjukkan J-10 tidak hanya daya mematikannya dalam pertempuran tetapi juga perannya sebagai alternatif yang hemat biaya bagi platform Barat yang telah lama mendominasi langit.
Betapa pesawat tempur yang dulu dipandang sebelah mata sebagai tiruan F-16 kini telah berevolusi menjadi pesawat tempur multiperan generasi keempat setengah yang teruji di medan perang.
J-10, oleh para pakar dirgantara disebut mampu bersaing ketat dengan pesawat garis depan seperti F-16V AS, Rafale Prancis, dan bahkan menantang supremasi platform seperti Eurofighter Typhoon dalam peran tempur tertentu.
Debut tempurnya yang memukau dalam konflik India-Pakistan tahun 2025, di mana pilot Pakistan yang menerbangkan varian ekspor J-10CE mengklaim beberapa kali kemenangan telak terhadap pesawat tempur canggih India, termasuk Rafale dan Su-30MKI.
Terlepas dari bantahan India, berita ini menggemparkan pasar pertahanan global dan mengirimkan gelombang kejut ke seluruh lingkaran strategis dari Washington hingga New Delhi.
Untuk kali pertama, dalam peperangan udara modern, pesawat tempur buatan Tiongkok tidak hanya berhadapan langsung dengan pesawat tempur asal Barat, tetapi juga diakui atas keberhasilannya dalam menghancurkan pesawat tempur, meruntuhkan persepsi lama tentang inferioritas, dan mengubah narasi keseimbangan kekuatan udara global.
Kemunculan J-10C sebagai platform yang mematikan dan andal menggarisbawahi meningkatnya kepercayaan diri Tiongkok dalam mengekspor perangkat keras militer canggih, yang menandai babak baru dalam upaya Beijing selama puluhan tahun untuk bertransformasi dari negara pengimpor teknologi pertahanan menjadi pusat kekuatan persenjataan global.
Transformasi ini juga menyoroti kematangan basis industri pertahanan Tiongkok, dengan J-10C yang mewujudkan investasi puluhan tahun dalam teknologi mesin, avionik, dan senjata presisi dalam negeri, melepaskan diri dari ketergantungan sebelumnya pada pemasok Rusia.
Bagi negara-negara yang terkekang oleh sanksi Barat, berjuang dengan keterbatasan anggaran, atau waspada terhadap ikatan politik yang terkait dengan penjualan pertahanan AS atau Eropa, J-10C dengan cepat menjadi "pesawat tempur pilihan".
Keterjangkauannya—dengan harga hampir setengah dari harga pesawat sejenis buatan Barat—dikombinasikan dengan akses ke amunisi canggih seperti rudal jarak jauh PL-15, menjadikan J-10C sangat menarik bagi angkatan udara di Asia, Timur Tengah, dan Afrika yang ingin memodernisasi armada tanpa membebani anggaran pertahanan nasional.
Kebangkitan global J-10C juga mencerminkan perubahan lingkungan strategis di mana Tiongkok memposisikan dirinya bukan hanya sebagai kekuatan regional, tetapi juga sebagai pesaing langsung Amerika Serikat dan Eropa dalam membentuk masa depan peperangan udara.
Dari langit Asia Selatan hingga daftar keinginan pengadaan di ibu kota-ibu kota Timur Tengah, "Vigorous Dragon" bukan lagi sekadar simbol ambisi kedirgantaraan Tiongkok—ia adalah realitas yang telah teruji dalam pertempuran dan membentuk kembali keseimbangan kekuatan udara global.
Debut Tahun 1998
Program pesawat tempur J-10 dimulai pada tahun 1980-an sebagai bagian dari upaya strategis Republik Rakyat China menggantikan armada J-7 dan Q-5 yang telah usang dengan pesawat multirole modern yang gesit dan tangguh.
Pesawat J-10 pertama kali mengudara pada tahun 1998 dan resmi masuk layanan Angkatan Udara Tentara Pembebasan Rakyat (PLAAF) pada tahun 2004, menandai tonggak penting dalam sejarah industri penerbangan Tiongkok.
Varian terbaru, J-10C, yang diperkenalkan antara tahun 2015 hingga 2018, membawa pesawat ini ke kategori generasi 4.5 dengan sistem avionik dan persenjataan yang sebanding dengan desain Barat dan Rusia.
Pada mulanya, jet tempur J-10C bergantung pada mesin turbofan AL-31FN buatan Rusia.
Perlahan tapi pasti, sejak 2019, pesawat ini telah dilengkapi dengan mesin WS-10B buatan dalam negeri oleh Shenyang.
Hal ini menandai pencapaian penting dalam kemandirian teknologi dirgantara Tiongkok. Transisi ini bukan sekadar perubahan teknis, melainkan pernyataan tegas atas kemampuan Beijing untuk menopang produksi pesawat militer secara mandiri dan berkelanjutan.
Kekuatan Teknologi J-10C
J-10C adalah pesawat tempur ringan bermesin tunggal yang dioptimalkan untuk misi superioritas udara, serangan presisi, dan pengintaian.
Pesawat tempur ini memiliki desain sayap delta dan canard, serta sistem kendali fly-by-wire dan saluran udara supersonik tanpa diverter, pesawat ini memiliki kelincahan luar biasa dalam pertempuran jarak dekat.
Pesawat ini mampu mencapai kecepatan maksimum Mach 1.8, radius tempur hingga 1.850 km, dan ketinggian operasional 18.000 meter. Dilengkapi radar AESA modern dengan jangkauan deteksi lebih dari 200 km, J-10C kompatibel dengan rudal udara-ke-udara jarak jauh PL-15.
Dengan 11 titik gantung dan kapasitas muatan hingga 7.000 kg, J-10C dapat membawa berbagai jenis persenjataan presisi, rudal anti-kapal, dan perangkat peperangan elektronik.
Kokpitnya dilengkapi Head-Up Display (HUD) sudut lebar, Helmet-Mounted Display (HMD), dan layar multifungsi (MFD) yang menyajikan gambaran operasional berbasis jaringan dan sensor terintegrasi.
Keunggulan Rudal PL-15
PL-15 adalah senjata utama J-10C, dengan jangkauan antara 200 hingga 300 km—melampaui rudal sekelas seperti AIM-120D (160–180 km) dan Meteor (±200 km).
Rudal ini menggunakan pencari AESA yang tahan terhadap gangguan dan dirancang untuk menghancurkan target bernilai tinggi seperti pesawat AWACS, tanker, dan paket serangan musuh.
PL-15 juga terintegrasi dengan sistem peringatan dini dan kontrol udara Tiongkok seperti KJ-500, memungkinkan peluncuran kooperatif dan pembaruan lintasan rudal secara real-time.
Motor dual-pulse memberikan dorongan tambahan di fase akhir penerbangan, memperluas zona “tanpa pelarian” dan memaksa musuh menghabiskan sumber daya secara drastis.
Respons TNI AU
Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal M Tonny Harjono pernah menanggapi rumor beredar yang menyebutkan TNI Angkatan Udara (AU) telah menyetujui pembelian sebanyak 42 unit jet tempur China J-10.
Rumor yang beredar menyebutkan TNI AU telah memberikan persetujuan prinsip untuk membeli 42 jet tempur J-10 dari China.
Rumor juga menyebutkan jika kontraknya disetujui, pesawat tersebut akan terbang bersama Rafale yang dibeli dari Prancis.
Dalam sebuah wawancara pada akhir Mei di Cilangkap, Jakarta, Marsekal Tonny Harjono, ketika itu, mengakui ada pandangan ke arah sana.
"Ada pandangan ke sana," kata Tonny di Markas Besar TNI AU.
Akan tetapi, lanjut dia, penentuan pembelian alutsista perlu memerlukan proses yang matang dan waktu yang panjang.
Proses tersebut, kata dia, turut melibatkan Dewan Penentu Alutsista atau Wantuwada.
"Jadi untuk penentuan alutsista juga tidak hanya, "ya saya beli ini". Ada Dewan Penentu Alutsista atau Wantuwada, itu melalui rapat, pertimbangan ini itu, dan kita bicarakan tidak dalam waktu singkat. Jadi prosesnya tetap ada. Kita juga negara non aligned, tidak berpihak ke salah satu blok. Dari mana saja kita bersahabat baik," ungkapnya.