Pupuk Mahal Petani Merana! Subsidi 200 T Digerogoti Pabrik Tua? Menkeu Purbaya Soroti Audit BPK! - VIVA
Pupuk Mahal Petani Merana! Subsidi 200 T Digerogoti Pabrik Tua? Menkeu Purbaya Soroti Audit BPK!
Subsidi pupuk 200 triliun terancam sia-sia. Menkeu Purbaya dan DPR soroti inefisiensi pabrik tua dan mendesak audit BPK untuk menyelamatkan nasib petani Indonesia.
Jakarta, WISATA - Sektor pertanian, sebagai penopang utama kedaulatan pangan, kembali menjadi sorotan tajam dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dengan Menteri Keuangan (Menkeu) yang baru, Bapak Purbaya. Di tengah alokasi dana subsidi yang mencapai hampir 500 triliun rupiah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2025, muncul sebuah ironi yang memilukan: pupuk masih mahal dan petani merana.
Anggota dewan dari berbagai fraksi menyoroti bahwa alokasi subsidi pupuk yang besar—mencapai sekitar 200 triliun rupiah jika diakumulasi dalam beberapa tahun terakhir—ternyata tidak menghasilkan efisiensi yang diharapkan. Uang negara yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan petani dan menjamin ketahanan pangan, justru terindikasi "digerogoti" oleh inefisiensi internal industri.
Lalu, apa sebenarnya biang keladinya? Jawabannya terletak pada kanker kronis yang menjangkiti industri pupuk nasional: Pabrik Tua.
Komisi XI memaparkan data yang mengejutkan. Dari sekitar 30 pabrik pupuk yang dimiliki negara, sebanyak 24 pabrik di antaranya sudah berusia tua dan memiliki efisiensi yang sangat rendah. Pabrik-pabrik ini beroperasi dengan teknologi lama, sehingga menghasilkan biaya pokok produksi yang sangat tinggi dan tidak kompetitif. Inilah yang menjadi sumber masalah utama. Subsidi yang diberikan pemerintah bukan benar-benar untuk meringankan petani, tetapi untuk menalangi mahalnya biaya operasional pabrik-pabrik tua tersebut.
Menkeu Purbaya, sebagai bendahara negara, mengakui temuan ini. Ia menegaskan bahwa APBN akan terus hadir sebagai shock absorber, tetapi kehadiran negara harus dibarengi dengan perbaikan kinerja industri. Jika subsidi terus-menerus digunakan untuk menutupi kelemahan operasional, maka ini adalah pemborosan yang merugikan seluruh bangsa.
Skema Cost Plus: Menghukum Efisiensi
Masalah pabrik tua ini erat kaitannya dengan mekanisme pembayaran yang digunakan selama ini, yaitu skema biaya plus margin (cost plus). Dalam skema ini, pemerintah membayar selisih antara harga jual pupuk ke petani dan harga pokok produksi BUMN ditambah margin keuntungan yang wajar.
Secara teori, skema ini melindungi BUMN. Namun, dalam praktiknya, skema cost plus justru menghilangkan insentif bagi BUMN untuk menjadi efisien. Mengapa? Karena semakin tinggi biaya produksi yang dikeluarkan (meskipun karena inefisiensi pabrik tua), maka semakin besar pula subsidi yang harus dibayarkan negara untuk menalangi biaya tersebut.
Ini menciptakan lingkaran setan yang merugikan:
1. Pabrik Tua: Biaya produksi mahal.
2. Cost Plus: Pemerintah wajib membayar selisih harga yang besar.
3. BUMN Aman: BUMN merasa aman karena biayanya ditanggung negara.
4. Subsidi Sia-sia: Uang subsidi habis hanya untuk menutupi biaya operasional yang mahal, bukan untuk pengembangan teknologi atau penurunan harga jual yang signifikan bagi petani.
DPR mendesak agar skema ini diubah total. Mereka mengusulkan agar subsidi pupuk dialihkan ke mekanisme berbasis pasar (marketplace), di mana pemerintah menetapkan harga patokan yang wajar, sehingga memaksa BUMN pupuk untuk bersaing dan meningkatkan efisiensi agar tetap untung. Jika BUMN pupuk tetap bergantung pada pabrik tua, mereka akan rugi, dan hal itu akan mendorong mereka untuk segera merevitalisasi.
Sorotan Tajam Menkeu Purbaya dan Audit BPK
Menanggapi desakan DPR, Menkeu Purbaya menunjukkan dukungan penuh terhadap reformasi di sektor pupuk ini. Ia menyetujui bahwa subsidi tidak boleh lagi hanya menjadi alat penutup inefisiensi. Menkeu Purbaya lantas menyoroti pentingnya Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengurai dan memastikan efisiensi anggaran di industri pupuk.
Meskipun Kemenkeu melalui audit internal dan BPKP telah melakukan pengawasan, temuan yang berulang menunjukkan bahwa masalahnya struktural. Oleh karena itu, Menkeu Purbaya berjanji akan menggunakan otoritasnya untuk mendorong kementerian teknis terkait (Kementerian Pertanian dan BUMN) agar segera melakukan langkah-langkah nyata untuk efisiensi. Ia bahkan mengancam akan mengevaluasi dan memotong anggaran BUMN yang tidak serius dalam menjalankan proyek strategis efisiensi.
Ancaman ini bukan hanya berlaku untuk pupuk, tetapi juga untuk sektor lain seperti Bahan Bakar Minyak (BBM). Menkeu secara eksplisit mengkritik kegagalan PT Pertamina yang sudah puluhan tahun gagal membangun kilang minyak baru.
"Kita rugi besar karena kita impor dari mana? Dari Singapura minyak produk-produk minyaknya... Kalau mereka tidak menjalankan proyek-proyek yang penting-penting untuk efisiensi, ya saya akan potong anggarannya," tegas Menkeu Purbaya.
Pesan Menkeu jelas: BUMN tidak boleh lagi manja. Uang negara, meskipun dialokasikan untuk subsidi (sekitar 901 triliun rupiah secara keseluruhan untuk Bansos dan Subsidi), harus digunakan dengan penuh tanggung jawab dan efisiensi.
Komitmen 30 Hari Kerja untuk Kesehatan BUMN
Di luar masalah inefisiensi, Raker juga mencatat komitmen penting Menkeu Purbaya dalam memperbaiki tata kelola pembayaran utang. Masalah carry over atau tunggakan kompensasi kepada BUMN, seperti utang PLN yang mencapai puluhan triliun rupiah, disebabkan oleh proses verifikasi yang terlalu lama (4-5 bulan).
Menkeu Purbaya berjanji untuk mereformasi proses ini dalam waktu 30 hari kerja, agar utang negara bisa dibayar lebih cepat dan tidak mengganggu cash flow BUMN.
Komitmen ini, digabungkan dengan tuntutan efisiensi di sektor pupuk dan migas, menunjukkan pendekatan baru Kemenkeu. Di satu sisi, Kemenkeu akan memastikan BUMN sehat dengan membayar cepat. Di sisi lain, Kemenkeu menuntut BUMN untuk membersihkan diri dari inefisiensi kronis seperti pabrik tua dan kegagalan kilang, agar subsidi benar-benar efektif.
Singkatnya, subsidi pupuk 200 triliun rupiah harus dipertaruhkan untuk dua hal:
1. Efisiensi Produksi: BUMN Pupuk harus merevitalisasi pabrik tua atau mengubah skema pembayaran untuk mendorong efisiensi.
2. Ketepatan Sasaran: Subsidi harus dipastikan jatuh ke tangan petani yang berhak, melalui mekanisme yang transparan.
Kini, dengan sorotan tajam dari DPR dan Menkeu Purbaya, serta desakan audit BPK, nasib ratusan triliun rupiah subsidi pupuk dipertaruhkan. Petani menunggu, apakah reformasi ini akan benar-benar mengakhiri penderitaan mereka akibat harga pupuk yang mahal dan inefisiensi yang terus berlanjut.
Sumber Artikel:
Rapat Kerja Komisi XI DPR RI dengan Menteri Keuangan Purbaya. (30 September 2025). [BREAKING NEWS] Raker DPR Bersama Menkeu Purbaya Bahas Realisasi Subsidi dan kompensasi 2025. Disiarkan oleh tvOneNews melalui kanal YouTube. [https://www.youtube.com/live/iecIkdOxYN8?si=-nAUe5Bo-rXVVsOa]