Shutdown AS Bisa Rugikan Ekonomi Rp249 Triliun per Minggu, 43.000 Orang Terancam PHK - SindoNews
2 min read
Shutdown AS Bisa Rugikan Ekonomi Rp249 Triliun per Minggu, 43.000 Orang Terancam PHK
Penutupan Pemerintah AS atau shutdown menimbulkan dampak kerugian ekonomi. FOTO/EPA
WASHINGTON - Penutupan Pemerintah Amerika Serikat (AS) atau shutdown diperkirakan dapat menimbulkan kerugian ekonomi mencapai USD15 miliar atau setara Rp249 triliun per minggu. Pejabat senior di pemerintahan Donald Trump mengakui bahwa penutupan pemerintah federal yang belum menunjukkan tanda-tanda berakhir berpotensi menekan laju pertumbuhan ekonomi.
Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengatakan, krisis anggaran akibat kebuntuan politik sebagai penyebab penutupan pemerintah bukan cara yang bijak dalam mengambil kebijakan ekonomi.
"Ini bukan cara yang tepat untuk berdiskusi, menutup pemerintah, dan menurunkan PDB," ujar Bessent, dikutip The Guardian pada Sabtu (4/10). "Kita bisa melihat dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan masyarakat pekerja di Amerika."
Baca Juga: Krisis Anggaran, Gaji Ribuan PNS AS Terancam Tak Dibayar
Menurut firma konsultan EY Parthenon, setiap pekan penutupan pemerintah akan mengurangi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) AS sebesar 0,1 poin persentase pada kuartal IV tahun ini. Dampak tersebut muncul karena tertundanya pembayaran gaji bagi pegawai federal yang dirumahkan, penundaan pengadaan barang dan jasa pemerintah, serta menurunnya permintaan konsumsi masyarakat.
Laporan serupa dari Dewan Penasihat Ekonomi Gedung Putih (Council of Economic Advisers/CEA) memperkirakan dampak ekonomi bisa jauh lebih besar. Dalam memo yang diperoleh Politico, CEA memperingatkan bahwa shutdown berpotensi memangkas PDB AS hingga USD15 miliar per minggu, dan jika berlangsung sebulan penuh, bisa menambah 43.000 pengangguran baru akibat PHK.
Selain itu, CEA juga mencatat penurunan belanja konsumen yang signifikan. "Penutupan selama sebulan dapat mengurangi belanja konsumen AS hingga USD30 miliar," tulis memo tersebut. Gangguan pada layanan publik seperti jaminan sosial, penerbangan, dan bantuan gizi untuk perempuan serta anak-anak juga diprediksi semakin membebani ekonomi masyarakat.
EY Parthenon menambahkan, sebagian kerugian mungkin dapat dipulihkan setelah pemerintah dibuka kembali melalui pembayaran gaji tertunda dan peningkatan aktivitas ekonomi. Namun, efek jangka panjang terhadap kepercayaan pasar dan sektor swasta diperkirakan akan sulit dihindari.
"Penutupan ini bukan hanya soal angka makroekonomi," tulis laporan itu. "Keterlambatan publikasi data ekonomi penting dapat menghambat pengambilan keputusan oleh Federal Reserve, investor, dan pelaku bisnis yang sangat bergantung pada data dalam kondisi ketidakpastian saat ini."
Baca Juga: 5 Alasan Pemerintah AS Shutdown, Salah Satunya Jadi Kesempatan bagi Trump Pecat Ribuan PNS
Penutupan pemerintah AS terakhir terjadi pada akhir 2018 hingga awal 2019 dan berlangsung selama 35 hari. Berdasarkan laporan Kantor Anggaran Kongres (CBO), shutdown tersebut menelan kerugian ekonomi sekitar USD11 miliar, termasuk kerugian permanen sebesar USD3 miliar, tanpa memperhitungkan dampak tidak langsung seperti penghentian izin usaha dan terbatasnya akses pembiayaan bagi masyarakat.
Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengatakan, krisis anggaran akibat kebuntuan politik sebagai penyebab penutupan pemerintah bukan cara yang bijak dalam mengambil kebijakan ekonomi.
"Ini bukan cara yang tepat untuk berdiskusi, menutup pemerintah, dan menurunkan PDB," ujar Bessent, dikutip The Guardian pada Sabtu (4/10). "Kita bisa melihat dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan masyarakat pekerja di Amerika."
Baca Juga: Krisis Anggaran, Gaji Ribuan PNS AS Terancam Tak Dibayar
Menurut firma konsultan EY Parthenon, setiap pekan penutupan pemerintah akan mengurangi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) AS sebesar 0,1 poin persentase pada kuartal IV tahun ini. Dampak tersebut muncul karena tertundanya pembayaran gaji bagi pegawai federal yang dirumahkan, penundaan pengadaan barang dan jasa pemerintah, serta menurunnya permintaan konsumsi masyarakat.
Laporan serupa dari Dewan Penasihat Ekonomi Gedung Putih (Council of Economic Advisers/CEA) memperkirakan dampak ekonomi bisa jauh lebih besar. Dalam memo yang diperoleh Politico, CEA memperingatkan bahwa shutdown berpotensi memangkas PDB AS hingga USD15 miliar per minggu, dan jika berlangsung sebulan penuh, bisa menambah 43.000 pengangguran baru akibat PHK.
Selain itu, CEA juga mencatat penurunan belanja konsumen yang signifikan. "Penutupan selama sebulan dapat mengurangi belanja konsumen AS hingga USD30 miliar," tulis memo tersebut. Gangguan pada layanan publik seperti jaminan sosial, penerbangan, dan bantuan gizi untuk perempuan serta anak-anak juga diprediksi semakin membebani ekonomi masyarakat.
EY Parthenon menambahkan, sebagian kerugian mungkin dapat dipulihkan setelah pemerintah dibuka kembali melalui pembayaran gaji tertunda dan peningkatan aktivitas ekonomi. Namun, efek jangka panjang terhadap kepercayaan pasar dan sektor swasta diperkirakan akan sulit dihindari.
"Penutupan ini bukan hanya soal angka makroekonomi," tulis laporan itu. "Keterlambatan publikasi data ekonomi penting dapat menghambat pengambilan keputusan oleh Federal Reserve, investor, dan pelaku bisnis yang sangat bergantung pada data dalam kondisi ketidakpastian saat ini."
Baca Juga: 5 Alasan Pemerintah AS Shutdown, Salah Satunya Jadi Kesempatan bagi Trump Pecat Ribuan PNS
Penutupan pemerintah AS terakhir terjadi pada akhir 2018 hingga awal 2019 dan berlangsung selama 35 hari. Berdasarkan laporan Kantor Anggaran Kongres (CBO), shutdown tersebut menelan kerugian ekonomi sekitar USD11 miliar, termasuk kerugian permanen sebesar USD3 miliar, tanpa memperhitungkan dampak tidak langsung seperti penghentian izin usaha dan terbatasnya akses pembiayaan bagi masyarakat.
(nng)