Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Bullying Featured Istimewa Perundungan Spesial

    1 dari 3 Siswa Mengalami Perundungan, Apa Faktor Utamanya? - Tirto

    10 min read

     

    1 dari 3 Siswa Mengalami Perundungan, Apa Faktor Utamanya?

    Pelaku bullying biasanya berusaha mendominasi interaksi sosial karena ingin mengontrol kelompok dan tidak menghargai batasan orang lain.

    Terbit 26 Nov 2025 18:21 WIB,

    Header Decode Mengurai Pola di Balik Maraknya Kasus Penculikan Anak. tirto.id/Fuad

    tirto.id - Perundungan, alias bullying, seperti epidemi senyap di lingkup satuan pendidikan Indonesia. Deretan kasus perundungan belakangan menandakan kedaruratan yang tak cukup sekadar direkognisi, namun jadi alarm urgensi penanganan luar biasa bagi seluruh stakeholder.

    Perundungan tidak hanya menghambat hak pendidikan korban, banyak kasus bullying turut memakan nyawa. Peristiwa perundungan bisa mendorong korban untuk memiliki niatan melukai diri sendiri, bahkan orang lain.

    Seorang siswa kelas 3 SMP, Upi (bukan sebenarnya), berbagi cerita dengan Tirto soal kasus dugaan bullying yang terjadi di sekolahnya. Menurutnya, pernah salah satu siswa disembunyikan sepatunya hingga jam pulang sekolah. Siswa tersebut mencari sendiri sepatu itu sampai menemukannya di kolong meja salah satu kelas.

    Sayangnya, pelaku tidak hanya satu orang sehingga Upi mengaku bingung untuk membantu siswa yang menjadi sasaran. Tindakan menyembunyikan barang siswa hingga jam pulang sekolah, juga berulang kali terjadi hingga menyasar beberapa siswa lainnya.

    Baca juga:

    Namun Upi merasa tak ada guru menanggapi serius perilaku sekelompok siswa tersebut. “Bingung, nggak ada guru sama sekali juga yang ikut bantu pas kejadian,” kata Upi kepada wartawan Tirto, Selasa (25/11/2025).

    Senada, sejak tahun lalu, terjadi satu peristiwa kekerasan setiap harinya di lingkungan pendidikan. Fenomena ini terpotret dari laporan yang dikeluarkan oleh Jaringan Pemantauan Pendidikan Indonesia (JPPI).

    Pada 2024 terjadi peningkatan yang begitu signifikan terkait kasus kekerasan di lingkungan lembaga pendidikan. Kurva kekerasan di tempat anak mendapatkan bekal pengajaran masa depan ini, melonjak konsisten dari masa pandemi COVID-19 lalu.

    Made with Flourish • Create a chart
    Baca juga:

    Jumlah kasus yang ditangkap JPPI lewat monitoring media dan kanal pelaporan itu bahkan mendeteksi bahwa kasus kekerasan di lembaga pendidikan akan kembali meningkat tahun ini. JPPI mencatat segala jenis kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan, termasuk kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikis, perundungan, hingga kebijakan diskriminatif.

    Dari total 573 kasus kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan tahun 2024 lalu, kekerasan seksual (42 persen) dan perundungan (31 persen) menjadi jenis kekerasan yang paling banyak terjadi.

    Mirisnya, JPPI mencatat berbagai kekerasan itu terjadi di semua jenis satuan pendidikan. Di satuan pendidikan berbasis agama bahkan kasus kekerasan mencapai 36 persen dari total kasus. Meskipun, sekolah menjadi tempat kejadian perkara terbanyak kasus kekerasan.

    Ilustrasi Cyberbullying
    Ilustrasi Cyberbullying. foto/istockphoto

    Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, memandang bullying tumbuh subur karena sistem pendidikan yang gagal membangun kultur inklusif dan humanis. Kekerasan di sekolah justru semakin menemukan tempatnya didukung sistem hierarkis dan otoriter yang terpelihara dari dalam kultur pendidikan Indonesia.

    Misalnya menempatkan guru sebagai patron tanpa cacat, senior sebagai contoh yang wajib ditiru tanpa kritik, hingga identitas mayoritas yang meminggirkan kelompok minoritas.

    Bullying di sekolah adalah cerminan dari budaya kekuasaan yang tidak sehat,” ujar Ubaid kepada wartawan Tirto, Senin (24/11/2025).
    Baca juga:
    Made with Flourish • Create a chart

    Banyak Faktor Pendorong

    Perilaku bullying dan perundungan memang tidak muncul begitu saja. Perisakan di lembaga pendidikan lahir dan berkembang karena didukung kelindan sebab.

    Bentuk perundungan bisa berupa verbal dan fisik, penghinaan, mengejek secara diam-diam, hingga kontak fisik. Perundungan juga dapat bersifat langsung atau tidak langsung. Aktivitas dunia maya bahkan menciptakan perundungan di ruang daring yang berdampak nyata pada korban di dunia nyata.

    Baca juga:

    Tahun 2024 lalu, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB alias UNESCO, memperkenalkan definisi baru terhadap kasus perundungan di sekolah. Mereka menyebutnya sebagai perilaku agresif yang tidak diinginkan dan terjadi berulang dari waktu ke waktu.

    Selain itu, melibatkan unsur ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan yang memantik kerugian fisik, sosial, dan emosional bagi individu atau kelompok sasaran. Tindakan ini juga merugikan komunitas sekolah secara luas.

    Kepala Biro Psikologi dari Rumah Cinta, Retno Lelyani Dewi, menelisik setidaknya ada tujuh faktor penyebab bullying di sekolah. Tujuh faktor itu di antaranya faktor individu atau kepribadian; keluarga; lingkungan sekolah; sosial dan teman sebaya; media serta teknologi; biologis-psikologis; hingga sosial budaya.

    Baca juga:

    “Adanya norma maskulinitas toksik seperti laki-laki mesti kuat ataupun ‘yang lemah pantas dihina’. Bisa diskriminasi terhadap perbedaan ras, agama, gender, ekonomi, hingga orientasi seks, mendorong perilaku bullying,” ujar Retno kepada wartawan Tirto, Rabu (26/11/2025).

    Retno melihat lingkungan sekolah turut mempengaruhi perilaku perisakan. Misalnya budaya permisif yang dipelihara akibat tidak ada sanksi tegas bagi pelaku.

    “Minimnya pengawasan pada rawan seperti kantin, lorong, dan lapangan juga menjadi faktor lain. Termasuk sistem penghargaan salah, komunitas sekolah memuja popularitas, kekuatan fisik, atau status sosial,” sambung Retno.

    Mengidentifikasi Pelaku & Korban Bullying

    Tidak berlebihan jika perundungan atau bullying di lembaga pendidikan telah masuk kategori darurat di Indonesia. Pada 2018, hasil asesmen survei Programme for International Student Assessment (PISA) terhadap siswa di Indonesia menunjukkan, 41 persen pelajar berusia 15 tahun pernah mengalami perundungan beberapa kali dalam satu bulan.

    Made with Flourish • Create a chart

    Hasil PISA 2018 menunjukkan jenis perundungan yang menimpa murid Indonesia tak sedikit melibatkan kekerasan fisik seperti tindakan pemukulan oleh sesama murid. Mayoritas murid juga pernah mengalami perusakan dan perampasan barang pribadi oleh murid lain.

    Di tahun sama, UNICEF turut menggandeng U-Report untuk menelisik kondisi cyber bullying di kalangan anak muda Indonesia. Dari jejak pendapat terhadap 2.777 anak muda Indonesia berusia 14-24 tahun, ditemukan sebanyak 45 persen telah mengalami perundungan daring.

    Laporan yang sama menyajikan juga bahwa tingkat pelaporan dari anak laki-laki sedikit lebih tinggi, jika dibandingkan anak perempuan, yakni 49 persen berbanding 41 persen.

    Jenis perundungan daring yang paling banyak terjadi yakni pelecehan lewat aplikasi chatting (45 persen), penyebaran foto/video pribadi tanpa izin (41 persen), dan jenis pelecehan lain (14 persen).

    Teranyar, survei Asesmen Nasional tahun 2022 menunjukkan, sekitar 34,51 persen siswa (1 dari 3) berpotensi mengalami kekerasan seksual. Diikuti sekitar 26,9 persen (1 dari 4) siswa yang berpotensi mengalami hukuman fisik, dan 36,31 persen (1 dari 3) menghadapi potensi perundungan.

    Kepala Biro Psikologi dari Rumah Cinta, Retno Lelyani Dewi, menilai pelaku bullying dapat diamati dari perilaku yang agresif secara verbal atau fisik. Ciri lainnya, pelaku juga biasanya berusaha mendominasi interaksi sosial karena ingin mengontrol kelompok, tidak menghargai batasan orang lain, serta berulang kali mengintimidasi target tertentu.

    Selain perilaku, kata Retno, pelaku bullying kerap menunjukkan ciri khas mental dan emosi yang spesifik. Beberapa di antaranya adalah empati rendah, minim perasaan bersalah, sulit mengendalikan emosi, dan tampak percaya diri berlebihan.

    Menariknya, pelaku bullying sebetulnya menutupi kecemasan dan kebutuhan atas validitas serta status. Secara sosial, pelaku juga tetap mencari dukungan dari kelompok karena ingin memiliki status sosial tinggi atau berusaha mendapatkannya.

    “Dan sering memanipulasi lingkungan dengan menunjukkan peran baik di depan guru atau orang tua,” ujar Retno kepada wartawan Tirto.

    Di sisi lain, karakteristik korban memiliki perilaku berkebalikan. Korban bullying menarik diri dari lingkar pertemanan, kegiatan, dan ruang sosial tertentu. Terjadi perubahan rutinitas harian seperti malas datang ke sekolah, terlambat, menghindari lokasi tertentu, dan tampak pasif saat diperlakukan tidak adil (tidak melawan).

    Sementara dari segi akademik korban juga menunjukkan adanya penurunan prestasi. Hal ini dilengkapi reaksi mental emosional yang goyah seperti mudah cemas, sedih, menangis, atau sering tersinggung.

    “Selain itu, perlu diperhatikan tanda ‘silent victim’. Korban tampak baik-baik saja di luar, tapi tiba-tiba menghapus media sosial, menghindari teman padahal aktif sosialisasi, dan sering sakit fisik tanpa penyebab jelas,” ungkap Retno.

    Peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, menilai bullying beroperasi sebagai strategi kekuasaan yang membuat pelaku melakukan agresi mengontrol untuk memantik ketakutan. Hal ini dilakukan demi bisa jadi puncak hierarki sosial dalam kelompok sebaya. Pola ini diperkuat absennya batasan dari orang dewasa, pembiaran dari kelompok, dan dinamika sekolah yang tidak sensitif terhadap relasi kuasa.

    Ilustrasi Bullying
    Ilustrasi Bullying. foto/Istockphoto

    Dampak bullying pada anak, kata Wawan tidak berhenti pada luka fisik. Namun menjalar ke dampak batin atau psikologis serta neurologis yang lebih dalam. Korban bullying mengalami kecemasan kronis, depresi, menarik diri dari pergaulan, menurunnya rasa percaya diri, dan membentuk internalized stigma.

    “Yang paling berbahaya, bullying dapat menanamkan mental model bahwa dunia tidak aman dan orang lain adalah ancaman, yang berdampak jangka panjang pada relasi interpersonal hingga masa dewasa,” ucap Wawan kepada wartawan Tirto, Selasa (25/11).

    Karena itu, penanganan korban bullying dimulai dari pemberian rasa aman. Intervensi dalam bentuk apapun tidak akan efektif selama anak berada dalam situasi terancam. Dengan begitu sekolah dan orang tua wajib memastikan perilaku bullying berhenti total sebelum ada upaya pemulihan psikologis terhadap korban.

    Korban perlu ruang untuk memproses pengalaman traumatiknya melalui konseling berbasis trauma-informed care. Konseling ini menekankan validasi emosi, pemulihan kontrol diri, dan penguatan identitas juga harga diri. Terpenting, harus membangun jejaring sosial yang lebih sehat.

    “Yaitu melibatkan teman pendukung, kelas yang aman, serta kegiatan yang menumbuhkan kompetensi, karena social buffering terbukti mempercepat pemulihan dari stres sosial. Semua intervensi harus berlangsung konsisten, bukan hanya respons sesaat,” ujar Wawan.

    close
    Komentar
    Additional JS