Akademisi: Ketiadaan Payung Hukum Femisida Tunjukkan Kelalaian Negara Lindungi Perempuan - NU Online
Akademisi: Ketiadaan Payung Hukum Femisida Tunjukkan Kelalaian Negara Lindungi Perempuan
NU Online · Selasa, 11 November 2025 | 19:30 WIB
Dosen Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia (UI) Mamik Sri Supatmi dalam Pertemuan Jaringan Perempuan Pembela HAM bertema Femisida dan Kekosongan Payung Hukum di Indonesia yang diselenggarakan secara daring pada Selasa (11/11/2025). (Foto: tangkapan layar zoom)
Jakarta, NU Online
Dosen Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia (UI) Mamik Sri Supatmi menegaskan bahwa pembahasan mengenai kriminalisasi femisida tidak boleh berhenti pada aspek pemidanaan terhadap pelaku.
Menurutnya, negara harus memastikan adanya pemulihan dan perlindungan hak-hak korban serta keluarga yang terdampak.
Femisida merupakan pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan laki-laki karena kebenciannya terhadap perempuan atau berdasarkan alasan gender.
Baca Juga
Komnas Perempuan: Kasus Femisida 2024 Tertinggi dalam 5 Tahun Terakhir
Mamik menilai, ketiadaan payung hukum yang secara jelas mengatur kejahatan ini mencerminkan kelalaian negara dalam menjamin hak hidup dan martabat perempuan.
“Ketika kita bicara regulasi femisida, jangan hanya soal kriminalisasi atau sanksinya. Hak-hak korban termasuk keluarga dan pihak yang menjadi tanggungan korban harus dijamin oleh negara. Negara berkewajiban memberikan kompensasi dan restitusi kepada mereka yang menderita akibat femisida,” ujarnya.
Hal itu disampaikan dalam Pertemuan Jaringan Perempuan Pembela HAM bertema Femisida dan Kekosongan Payung Hukum di Indonesia yang diselenggarakan secara daring pada Selasa (11/11/2025).
Mamik menegaskan, femisida bukan sekadar tindak pidana individual, melainkan kejahatan kemanusiaan yang merampas hak paling mendasar perempuan, yaitu hak untuk hidup dan bebas dari diskriminasi.
Ia menyebutkan bahwa pelanggaran atas hak hidup berdampak pada hilangnya seluruh hak asasi lainnya.
Baca Juga
KontraS Soroti Praktik Femisida yang Dilakukan Anggota TNI: Cerminan Kultur Militer dan Patriarki
Ia mengacu pada kerangka hukum nasional dan internasional, yang sebenarnya telah menjamin perlindungan perempuan. Konstitusi melalui UUD 1945 Pasal 28A dan 28I, serta Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi Indonesia sejak 1984, menegaskan perlindungan tersebut.
Namun, praktik diskriminasi dan kekerasan tetap berulang karena femisida belum diakui sebagai kejahatan berbasis gender dalam hukum positif.
“CEDAW jelas mewajibkan negara untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bidang kehidupan. Tapi di Indonesia, praktik kekerasan terhadap perempuan, termasuk femisida, terus berulang karena belum diakui secara hukum sebagai kejahatan berbasis gender,” terangnya.
Meski hukum pidana tidak dapat menjadi satu-satunya solusi, Mamik menilai kriminalisasi femisida tetap mendesak dilakukan sebagai bentuk pengakuan atas pengalaman diskriminasi ekstrem yang dialami perempuan.
“Pengaturan khusus tentang femisida akan menjadi wujud penghormatan negara terhadap martabat perempuan dan pengakuan bahwa pembunuhan berbasis gender adalah kejahatan serius yang harus dihentikan,” ujarnya.
Mamik juga menyoroti bahwa femisida di Indonesia masih menjadi fenomena yang tersembunyi.
Minimnya kesadaran publik, keterbatasan akses pada bantuan hukum, dan bias aparat penegak hukum membuat banyak kasus tidak pernah tercatat atau ditangani dengan tepat.
“Tanpa langkah penegakan hukum, negara akan terus gagal menunjukkan keberpihakan pada kehidupan dan kemanusiaan perempuan,” tegasnya.