Anomali “Tidak dalam Penguasaan”: Bunuh Diri Yurisprudensi UGM di Sidang KIP - Portal Hukum
Bunuh Diri Yurisprudensi UGM di Sidang KIP – Portal Hukum
Anomali “Tidak dalam Penguasaan”: Bunuh Diri Yurisprudensi UGM di Sidang KIP


Ada drama yang lebih besar dari sekadar sengketa data di panggung Komisi Informasi Pusat (KIP) RI, Senin (17/11/2025). Drama itu adalah pertaruhan kredibilitas, bukan hanya kredibilitas seorang alumnus, tetapi kredibilitas institusional Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai badan publik yang tunduk pada hukum.
Apa yang dipertontonkan UGM bukanlah sebuah upaya klarifikasi, melainkan sebuah manuver yurisprudensi yang janggal. Ketika dihadapkan pada pertanyaan mengenai kelengkapan salinan berkas ijazah Joko Widodo, UGM memilih berlindung di balik frasa “tidak dalam penguasaan”.
Ketua Majelis Sidang KIP, Rospita Vici Paulyn, dengan insting hukum yang tajam, segera membongkar logika cacat ini. “Ini persoalannya dari pihak UGM menjawabnya tidak dalam penguasaan. Tidak dalam penguasaan itu artinya tidak ada berarti,” tegas Rospita.
Ini bukan sekadar pertukaran kata. Ini adalah benturan antara akal sehat administrasi dan kabut terminologi yang sengaja diciptakan.
Cacat Logika di Hadapan UU KIP
Mari kita bedah secara hukum. Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), sebuah badan publik hanya memiliki dua jalur respons utama terhadap permohonan informasi.
Pertama, memberikan informasi (Pasal 11). Kedua, menolak dengan alasan pengecualian (Pasal 17), yang harus didasarkan pada uji konsekuensi yang ketat misalnya, jika informasi itu membahayakan negara atau mengungkap rahasia pribadi yang dilindungi.
Frasa “tidak dalam penguasaan” adalah sebuah anomali. Ia tidak dikenal sebagai alasan penolakan yang sah dalam UU KIP. Ini adalah “zona ketiga” yang diciptakan UGM untuk mengelak dari kewajiban hukumnya.
UGM sedang mencoba cherry-picking: mereka tidak mau dituduh menutup-nutupi (dengan menyatakan dikecualikan), tetapi mereka juga tidak mau memberikan (dengan menyatakan dikuasai). Ini adalah sebuah strategi “aman” yang justru menjadi bumerang.
Tafsiran Rospita adalah satu-satunya kesimpulan logis. Jika sebuah badan publik—yang notabene adalah pencipta (creator) dan penerbit (issuer) dokumen tersebut—menyatakan tidak menguasai arsipnya, maka hanya ada satu arti: arsip itu tidak ada, hilang, atau musnah.
Di sinilah letak ironi terbesarnya. UGM adalah alma mater. Ijazah adalah produk hukum dan akademik yang mereka terbitkan. Bagaimana mungkin sang pencipta dokumen menyatakan “tidak dalam penguasaan” atas arsip salinannya?
Jawaban UGM ini secara implisit menunjuk pada dua skandal yang sama-sama buruk:pertama, skandal administratif. UGM telah gagal total dalam mematuhi UU No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan. Jika dokumen vital seperti arsip ijazah (terlebih milik seorang Presiden) bisa “tidak ada”, ini menunjukkan rapuhnya tata kelola kearsipan di salah satu universitas terbaik negeri ini. Ini adalah kelalaian yang memalukan.
Kedua skandal kejujuran. Jika arsipnya ada, namun UGM memilih frasa “tidak dalam penguasaan” untuk menghindar, maka UGM telah melakukan kebohongan prosedural. Mereka tidak jujur di bawah sumpah dalam forum ajudikasi non-litigasi. Mereka meremehkan lembaga KIP dan mencederai rule of law.
Keduanya adalah pilihan yang destruktif bagi reputasi UGM sebagai center of excellence.
Preseden Berbahaya bagi Transparansi
Lebih jauh lagi, sikap UGM ini menciptakan preseden yang sangat berbahaya bagi ekosistem keterbukaan informasi di Indonesia.
Jika KIP membiarkan jawaban “tidak dalam penguasaan” ini lolos sebagai justifikasi yang sah, maka UU KIP selesai. Besok, kementerian yang ditanyai data anggaran akan menjawab “tidak dalam penguasaan”. Kepolisian yang ditanyai data SP3 akan menjawab “tidak dalam penguasaan”. Pemerintah daerah yang ditanyai data izin tambang akan menjawab “tidak dalam penguasaan”.
Frasa ini akan menjadi mantra baru bagi setiap badan publik yang koruptif atau inkompeten untuk mengubur informasi. Oleh karena itu, kritik keras Rospita Vici Paulyn bukanlah sekadar teguran, melainkan sebuah upaya penyelamatan marwah UU KIP. Ia sedang mencegah terjadinya “bunuh diri yurisprudensi” di mana badan publik bisa lari dari tanggung jawab hanya dengan permainan semantik.
Sidang ini bukan lagi soal ijazah Jokowi. Ini adalah pertarungan untuk memastikan bahwa hukum dan logika masih berkuasa di ruang sidang. UGM harus berhenti bermanuver di balik kabut terminologi dan memberikan jawaban tegas: Ada atau Tidak Ada. Jika tidak, mereka bukan hanya kehilangan data, mereka telah kehilangan integritas.