Antropolog UI Bicara Tradisi 'Adopsi' dan Kehidupan Luar Suku Anak Dalam | kumparan
Antropolog UI Bicara Tradisi 'Adopsi' dan Kehidupan Luar Suku Anak Dalam | kumparan

Suku Anak Dalam belakangan ramai disorot terkait kasus penculikan Bilqis, bocah 4 tahun asal Makassar. Bilqis sempat diadopsi oleh suku tersebut, tapi kini sudah kembali ke pangkuan orang tuanya.
Kasubnit Jatanras Polrestabes Makassar, Ipda Adi Gaffar, mengatakan penyelamatan Bilqis berlangsung dramatis.
“Sangat alot, karena mereka bertahan. Katanya, anak itu sudah dianggap sebagai anaknya sendiri,” kata Adi kepada kumparan, Selasa (11/11).
Ia menjelaskan, pihaknya sempat berkomunikasi dengan kepala suku atau Tumenggung serta warga Suku Anak Dalam (SAD) lainnya. Dari hasil pembicaraan itu, diketahui bahwa praktik adopsi anak di kalangan Suku Anak Dalam sudah sering terjadi.
Adi menambahkan, Suku Anak Dalam biasanya mengadopsi anak untuk memperbaiki keturunan.
Lantas, bagaimana tanggapan ahli antropologi terkait ini? Bagaimana sebenarnya karakteristik Suku Anak Dalam?
Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto, Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia, menyebut, tradisi adopsi anak memang lekat dengan sejumlah kelompok indigenous atau masyarakat adat di Indonesia.
"Artinya itu adalah bagian yang relatif biasa di kelompok-kelompok indigenous di Indonesia, bukan cuma di Suku Anak Dalam ya," kata Prof Aji pada Kamis (13/11).
Ia menjelaskan, tradisi tersebut mirip juga dengan apa yang biasa dilakukan di Suku Batak maupun Mandailing. "Di Sumatera, di sebelahnya orang-orang Batak, orang-orang Mandailing, mereka punya tradisi angkat anak, kasih marga," ucapnya.
Suku Anak Dalam pun biasa 'mengadopsi' anak, namun dalam hal pola pengasuhan anak bersama atau multiparental child rearing atau komunal. Anak-anak tersebut merupakan anak dari kerabat mereka sesama Suku Anak Dalam.
"Satu anak itu bisa diasuh, diurus 2 atau 3 keluarga. Misalnya anak saya biasa main dengan anak yang lain dan bisa mengurus anak itu. Ketika kita datang ke Suku Anak Dalam terus bertanya soal anak, dan disebut oh ini anak angkat (anak kerabat yang diasuh secara bersama)," jelasnya.
Soal adopsi anak dari luar kelompok Suku Anak Dalam, Aji menyebut hal itu tidak terlalu terlihat di budaya mereka.
"Tidak terlalu kelihatan atau ambil anak dari luar Suku Anak Dalam," katanya.
Soal polisi yang menyebut Suku Anak Dalam mengadopsi untuk memperbaiki keturunan, Aji tidak terlalu mengetahui hal itu. Namun bisa saja pengangkatan anak dari luar Suku Anak Dalam itu untuk tujuan tertentu.
"Nah kalau dari sisi anak angkat, barangkali mereka akan dapat privilege ekonomi atau politik, karena orang tuanya yang mengangkat mungkin lebih mampu, biasanya begitu," sambung dia.
Di sisi lain, soal Suku Anak Dalam yang disebut-sebut di kasus Bilqis, Aji mengapresiasi polisi menggunakan diksi yang tepat. Baginya, itu bukan penculikan yang dilakukan Suku Anak Dalam.
"Dan saya senang, saya salutlah sama Pak Polisi ini. Karena kalau kita lihat jalurnya, dia dari Makassar, diambil penadah di Jakarta, lalu kemudian dijual ke Jambi, lalu di Jambi baru ke Anak Dalam gitu ya. Nah, pada konteks yang pertama, yang ngambil dari Makassar, terus yang dari orang Makassar dijual ke Jakarta, yang dari Jakarta dijual ke Jambi, ada tiga pihak itu," urai dia.
"Tiga-tiganya kan kemudian dianggap sebagai jual-beli anak ya. Ya, walaupun dibalut dengan adopsi. Mereka menyamarkan jual-beli anak dengan adopsi. Tetapi pihak yang keempat, yaitu Anak Dalam, polisi menerapkan: “ah dia adopsi memang.” ujar Aji.
Dia meyakini apa yang dilakukan Suku Anak Dalam adalah adopsi bukan jual beli. Sebab, memang ada tradisi yang sudah turun temurun di sana.
"Hal yang penting ya, membedakan antara adopsi dan jual-beli. Kalau yang di Anak Dalam, saya percaya itu adopsi, walaupun kemudian ada uang yang bermain di situ ya, saya nggak tahu persis uangnya itu untuk apa," ungkapnya.
Di sisi lain, Aji tak yakin soal dugaan Suku Anak Dalam mengadopsi anak untuk perbaiki keturunan saja.
"Saya rasa nggak tahu ya, bukan alasan yang biasa saya dengar," tutur dia.
Soal Kehidupan dengan Dunia Luar
Lantas sebenarnya bagaimana karakteristik kehidupan Suku Anak Dalam di Jambi?
Ia menceritakan pengalamannya 15 tahun lalu pernah ke wilayah Suku Anak Dalam. Sambil meneliti, Aji pun berdampingan mempelajari kultur di sana.
Termasuk soal, bagaimana interaksi Suku Anak Dalam dengan dunia luar. Apakah mereka sudah mengenal tradisi pasar modern.
"Saya update 15 tahun yang lalu. Jadi begini, Suku Anak Dalam seperti suku-suku indigenous di Indonesia sebenarnya punya relasi dengan perdagangan global. Kalau kita melihat Dayak pasti global, suku-suku di Indonesia timur ya, bahkan Papua juga punya link dengan dunia luar," katanya.
"Nah, Anak Dalam itu terpapar dengan ekonomi kapital itu antara lain sejak tahun 70-an, 80-an, pengusahaan hutan yang ada di sekitar Jambi itu masuk ke Anak Dalam. Kalau di Riau itu di Sakai, masuk ke situ. Jadi mereka jejer aja di situ," sambungnya.
Ia menjelaskan, Suku Anak Dalam sempat terbatas keluar masuk hutan karena hutan tempat tinggal mereka ada yang menjadi taman nasional. Namun, setelah Hak Pengusahaan Hutan (HPH) berlaku pada tahun 1970-an mereka lebih tersentuh dunia luar.
Suku Anak Dalam tersebar di beberapa daerah di Provinsi Jambi termasuk di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Di Provinsi Jambi, wilayah utama Suku Anak Dalam, tersebar di Sarolangun, Merangin, Bungo, dan Muaro Jambi. Sebagian lainnya juga tersebar di Sumatera Selatan di wilayah hutan dataran rendah di provinsi tersebut.
"Di sisi lain ada bagian konservasi hutannya dijadikan taman nasional. Nah yang di taman nasional itu pun menyebabkan Anak Dalam tidak terlalu bebas lagi keluar masuk, sudah mulai terbatas di situ. Tapi dengan Hak Pengusahaan Hutan, mereka mulai berkenalan tuh dengan ekonomi pasar — jual beli madu, jual beli hasil hutan," tutupnya.