Gizi Anak Harus Terjaga di Saat Bencana, Jangan Asal Beri Donasi Makanan - Kompas
Gizi Anak Harus Terjaga di Saat Bencana, Jangan Asal Beri Donasi Makanan
Menjelang akhir tahun, kita didera oleh bencana banjir bandang yang tak terperikan di Sumatera.
Mendadak keluarga-keluarga kehilangan orang-orang yang dicintai, jangan kata harta benda atau sawah dan ladang apalagi ternak. Dalam sekejap semua terbelit dalam kalut dan hidup mendadak carut marut.
Orang dewasa saja panik apalagi anak dan balita. Bingung mau mengungsi kemana, minta tolong kepada siapa. Semua serba tiba-tiba.
Tapi prediksi banjir bandang akan terjadi, sudah lama bisa diperkirakan karena kondisi alam yang dirusak ditambah perubahan iklim yang kian ekstrim.
Tahapan penanggulangan bencana secara umum meliputi tiga tahap utama: pra bencana (pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan), saat bencana (tanggap darurat), dan pasca bencana (pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi).
Di negri yang rawan bencana, mestinya kita sudah lebih mahir di tahap pra bencana - dimana 4 tahap mitigasi bencana (pemetaan rawan bencana, pemantauan, penyebaran informasi dan penyuluhan), mestinya kita juga bisa memahami risiko, mengantisipasi kejadian dan mengurangi dampak negatif sebelum bencana terjadi.
Betapa sedihnya saat banjir bandang, datang begitu banyak gelondongan kayu terseret memenuhi sungai Tapanuli Sumatera Utara.
Spekulasi bergulir mulai dari pembabatan hutan hingga penebangan liar, namun Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mensinyalir kayu gelondongan tersebut berasal dari Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT) yang berada di areal penggunaan lain (APL).
Di sisi lain, muncul lagi dugaan penambangan liar dan perluasan perkebunan sawit yang semakin memiskinkan hutan tropis Sumatera, sekaligus menyingkirkan keragaman satwanya.
Apa pun kelakuan manusia, bencana alam menyisakan penderitaan. Terutama bagi kelompok rentan seperti anak dan balita.
Yang harus dilakukan agar gizi anak tetap terjaga
Bahkan tidak semua bentuk donasi meringankan nasib mereka, justru bisa menjerumuskan ke dalam masalah baru.
Literasi masyarakat termasuk pendonor, tidak semuanya cukup tinggi seperti yang kita sangka.
Dikira menyumbang susu formula dan aneka produk makanan bayi membantu keluarga-keluarga yang masih punya anak kecil.
Jika dipikir panjang, di saat bencana dimana air bersih sulit didapat (termasuk untuk mencuci dot dan botol), maka susu formula justru bisa menyebabkan bencana baru. Apalagi, jika bayi alergi atau intoleran laktosa.
Jadi, apa yang harus dilakukan saat tanggap bencana? Saat mendirikan tenda pengungsian, perlu dipersiapkan tenda khusus ramah ibu dan anak: di mana para ibu yang masih menyusui anaknya bisa dengan tenang memberi asupan steril terbaik bagi bayinya tanpa diganggu.
ASI adalah yang terbaik bagi bayi, seperti yang tertera jelas di semua kardus susu formula. Begitu pula saat dapur umum berdiri, semestinya ada tenda PMBA (Pemberian Makan Bayi dan Anak) yang bahan baku MPASI (Makanan Pendamping ASI) sama persis seperti dapur umum dewasa, hanya saja perlu standar higiene tinggi - karena bayi dan anak lebih rentan diare.
Seperti yang kami sering lakukan di banyak tempat kejadian bencana beberapa tahun lalu, dengan adanya tenda ramah ibu dan anak dan dapur PMBA, sosialisasi gizi keluarga lebih mudah dilaksanakan.
Termasuk menerapkan PHBS (Pola Hidup Bersih dan Sehat). Anak-anak yang belum bisa bersekolah dengan senang belajar soal cuci tangan, ibu-ibu berlatih membuat MPASI, memilih bahan pangan sederhana tapi bermanfaat.
Karenanya donasi lebih berharga berupa beras, kentang, aneka umbi, jagung, kacang-kacangan dan telur sebagai protein hewani yang mudah disimpan tanpa perlu lemari es. Telur pun tidak hanya telur ayam.
Bisa telur bebek atau telur puyuh, asal bukan telur asin. Telur bisa diolah jadi aneka makanan sedap dan bergizi.
Menerapkan teknologi retort
Teknologi pangan pun bisa membantu di saat bencana. Alih-alih mendistribusikan produk-produk ultraproses yang menjebak anak jadi terbiasa mengonsumsi produk pabrikan yang tidak sehat, kita bisa mengimplementasikan teknologi retort, yaitu metode pengawetan makanan yang menggunakan panas di atas 100 derajat Celcius dan tekanan untuk mensterilkan makanan dalam kemasan kedap udara.
Teknologi retort bisa membunuh mikroorganisme berbahaya dan memperpanjang masa simpan produk, tanpa memerlukan bahan pengawet.
Hasilnya adalah makanan yang aman secara mikrobiologis, tahan lama di suhu ruang, dan menjaga kualitas rasa, tekstur, serta nutrisinya.
Keunggulan teknologi retort juga membuat makanan dapat bertahan lama (bisa 1-2 tahun) pada suhu ruang tanpa bahan pengawet.
Makanan aman dan stabil secara mikrobiologis, karena mikroorganisme berbahaya telah dimusnahkan.
Dengan demikian, aneka kudapan seperti arem-arem, lemper, semar mendhem, lepet bahkan nasi uduk dengan lauknya bisa didistribusikan ke pelosok mana pun secara praktis dan aman.
Bencana bukan ajang promosi
Kondisi bencana tidak boleh menjadi ajang promosi dan kesempatan bagi para oportunis berdalih donasi untuk memasarkan produknya.
Apalagi, dilakukan oleh orang-orang berpengaruh yang tanpa sadar beritikad baik dan mulia tapi menyisakan masalah di hari depan.
Anak-anak harus terlindungi dari distorsi pemenuhan gizi sebagai pemenuhan kebutuhan dasar dan jaminan keamanan sebagaimana diamanatkan dalam pasal 62 UU 23/2002 tentang perlindungan anak.
Bencana alam bukan hanya berisiko menyebabkan gangguan fisik, tapi juga tekanan psikis, kekurangan gizi dan serangan penyakit infeksi.
Mari membantu sesama, memulihkan bangsa. Ciptakan lingkungan yang selalu ramah anak, donasi pun bisa berupa perpustakaan keliling atau hadir di tengah mereka dengan membawa hati yang hangat serta gembira.
Membantu di dapur, membacakan dongeng, menemani anak-anak bermain, menyanyikan lagu pengantar tidur di saat mereka gelisah dan takut.
Solidaritas tanpa batas membuat bencana menjadi hikmah yang tak terduga. Dan mulai hari ini, mari jaga negri, awasi setiap tindakan manipulasi.
Jangan mau diam karena takut diancam, sebab orang-orang serakah tanpa rasa salah akan merusak masa depan Nusantara. Percuma menangisi yang telah terjadi. Cegah jangan berlanjut lagi. Buat anak cucu kita nanti.