Israel Syaratkan Perjanjian Damai Komprehensif untuk Penarikan Pasukan dari Wilayah Suriah | Republika Online
Israel Syaratkan Perjanjian Damai Komprehensif untuk Penarikan Pasukan dari Wilayah Suriah | Republika Online
Israel masih menduduki sejumlah wilayah Suriah.

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV— Lembaga penyiaran Israel mengutip sumber-sumber yang mengatakan bahwa negosiasi dengan Suriah untuk mencapai kesepakatan keamanan telah menemui jalan buntu.
Sponsored
Sumber-sumber Israel mengatakan kepada badan tersebut pada Senin (17/11/2025) malam bahwa Israel menolak permintaan Presiden Suriah Ahmad al-Sharaa untuk menarik pasukannya dari semua wilayah yang didudukinya setelah jatuhnya rezim Bashar al-Assad pada 8 Desember 2024.
Sumber yang sama menambahkan, Israel tidak bersedia menarik diri dari wilayah-wilayah tersebut kecuali dengan imbalan penandatanganan perjanjian damai komprehensif dengan Suriah, bukan hanya perjanjian keamanan. Perjanjian semacam itu saat ini tidak terlihat akan terwujud, menurut sumber-sumber tersebut.
Scroll untuk membaca
Suriah dan Israel diharapkan menandatangani perjanjian keamanan yang disponsori Amerika Serikat di sela-sela pertemuan Majelis Umum PBB pada September lalu, tetapi laporan media menyebutkan bahwa pembicaraan tersebut terhenti pada saat-saat terakhir.
Sumber-sumber keamanan Israel saat itu berbicara tentang perbedaan pendapat yang muncul selama pertemuan antara Menteri Luar Negeri Suriah Asad al-Shibani dan Menteri Urusan Strategis Israel Ron Derme.
Terutama terkait tuntutan Damaskus agar Israel mundur dari lokasi-lokasi yang didudukinya sejak akhir 2024 dan kembali ke perbatasan yang ditetapkan dalam perjanjian gencatan senjata yang ditandatangani pada 1974 serta menghentikan pelanggaran wilayah udara Suriah.
Seperti yang dilaporkan oleh Reuters dari sumber-sumbernya, pembicaraan tersebut menemui jalan buntu karena tuntutan Israel untuk mengizinkan pembukaan koridor kemanusiaan ke Provinsi Suwayda di selatan Suriah.
Sejak 1967, Israel menduduki sebagian besar wilayah Dataran Tinggi Golan Suriah, dan memanfaatkan peristiwa penggulingan rezim Assad untuk menyerbu zona penyangga dan memperluas pendudukan atas wilayah Suriah.
Israel juga merebut puncak Gunung Sheikh yang strategis dan membatalkan perjanjian gencatan senjata yang disepakati pada 1974.
Israel juga melancarkan serangan udara yang menewaskan warga sipil dan menghancurkan lokasi, kendaraan militer, senjata, dan amunisi milik tentara Suriah.
Sementara itu, Hubungan Suriah-Israel akan menjadi topik utama agenda pembicaraan KTT hari ini, Selasa (11/11/2025) di Washington antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Suriah Ahmad al-Sharaa, yang melakukan kunjungan bersejarah pertama kali bagi seorang presiden Suriah ke Gedung Putih.
Dikutip Aljazeera, Selasa, kunjungan ini terjadi pada saat kritis ketika kawasan ini mengalami perubahan radikal sejak runtuhnya rezim Bashar al-Assad.
Sementara Washington berusaha merumuskan kembali hubungannya dengan Damaskus yang baru dan mencoba mendorongnya menuju pengaturan keamanan dan politik.
Kondisi yang akan mengubah posisi Suriah dalam keseimbangan Timur Tengah dan hubungannya dengan Amerika Serikat dan sekutunya, terutama Israel.
Israel mengambil sikap bermusuhan terhadap pemerintahan al-Sharaa mengingat peran al-Sharaa sebelumnya sebagai pemimpin jihad.
Setelah pertemuan pertama Trump dengan al-Sharaa di Riyadh pada Mei lalu, Israel mulai terbuka untuk berurusan dengan pemerintahan baru di Damaskus.
Sementara itu, Damaskus menuntut Israel untuk menarik pasukannya dari selatan Suriah terlebih dahulu.
Sementara Israel ingin membuat zona demiliterisasi di dalam Suriah serta mempertahankan pasukannya di Gunung Sheikh, sebuah lokasi strategis yang memungkinkan Israel untuk mengawasi perbatasan Lebanon-Suriah.
Menurut Reuters, Amerika Serikat bersiap membangun kehadiran militer di pangkalan udara Damaskus untuk membantu mewujudkan perjanjian keamanan yang dimediasi Washington antara Suriah dan Israel, meskipun Suriah secara resmi membantah berita tersebut.
Advertisements
general_URL_gpt_producer-20250813-12:48
arrow_forward_ios
Baca selengkapnya
Tekanan Amerika
Pada Maret lalu, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengirimkan pertanyaan tentang beberapa isu yang menjadi perhatiannya kepada pemerintah al-Shara, Washington meminta jawaban dan sikap jelas.
Isu yang menonjol di sini adalah masa depan hubungan dengan Israel, dan kemungkinan penandatanganan dan bergabung dengan Perjanjian Abraham.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya oleh banyak anggota Kongres yang bertemu dengan Presiden al-Shara, baik selama kunjungan mereka ke Damaskus maupun di sela-sela kunjungannya ke New York pada September lalu, Suriah dapat bergabung dengan apa yang sekarang dikenal sebagai Perjanjian Abraham, jika kondisi tepat tersedia.
Sementara itu, Damaskus menegaskan bahwa masalah pendudukan Israel atas Dataran Tinggi Golan, kontrol Israel atas wilayah perbatasan, dan invasi berkelanjutan ke wilayah Suriah harus diselesaikan terlebih dahulu.
Para pengamat menegaskan kembali perlunya mediasi dan intervensi Amerika Serikat untuk menyelesaikan masalah-masalah ini.
Dalam sebuah seminar menjelang kunjungan Al-Sharaa yang diselenggarakan oleh Washington Institute for Near East Policy, Michael Herzog, mantan duta besar Israel untuk Washington dan saat ini menjadi pakar di lembaga tersebut, mengatakan Suriah merupakan peluang bagi Israel karena tidak lagi menjadi penghubung penting dalam poros Iran.
Herzog menambahkan, Israel menyambut baik keinginan Al-Sharaa untuk menjalin hubungan yang kuat dengan Amerika Serikat.
Di sisi lain, Herzog mencatat bahwa orang Israel merasa khawatir dengan latar belakang dan orientasi perjuangan al-Sharaa.
Israel juga merasa khawatir dengan kemungkinan militerisasi di selatan Suriah, di mana kelompok-kelompok musuh berkumpul dan menjadi ancaman di dekat perbatasan.
Dia menambahkan, setelah serangan Gerakan Perlawanan Islam Hamas pada 7 Oktober 2023, Israel tidak akan lagi mentoleransi ancaman di sekitarnya.
Oleh karena itu, Israel mengupayakan perjanjian pelucutan senjata, tetapi dengan struktur baru, bukan perjanjian gencatan senjata yang sudah usang sejak ditandatangani pada 1974.
Fondasi yang kuat
Di tengah tekanan Amerika Serikat terhadap Damaskus untuk bergabung dengan Perjanjian Abraham, sejumlah pakar meminta Washington untuk bersabar dan terlebih dahulu membangun fondasi kuat untuk hubungan masa depan antara Suriah dan Israel.
Dalam wawancara dengan Aljazeera Net, Profesor Stephen Haydman, Ketua Departemen Studi Timur Tengah di Universitas Smith Massachusetts AS mengatakan persetujuan Suriah atas pengaturan keamanan yang berarti dengan Israel akan bergantung pada sejauh mana Amerika Serikat bersedia campur tangan dalam mengakhiri pendudukan Israel di Suriah selatan dan menjamin keamanan Suriah dari invasi Israel.
Haydman menambahkan, Trump secara terbuka telah meminta Suriah bergabung dengan Perjanjian Abraham, tuntutan yang tidak realistis pada tahap ini.
Pada saat yang sama, Amerika Serikat secara terbuka menegaskan dukungannya terhadap kedaulatan penuh Suriah atas seluruh wilayah Suriah.
“Jika Amerika Serikat bersedia bekerja untuk hubungan Suriah-Israel yang mencerminkan prinsip ini, kita mungkin akan melihat beberapa langkah positif selama kunjungan tersebut," kata pakar non-residen di Pusat Kebijakan Timur Tengah di Institut Brookings di Washington ini.
Sementara itu, Duta Besar Frederick Hof, utusan Amerika Serikat pertama untuk Suriah setelah revolusi 2011 dalam wawancaranya dengan Aljazeera menyatakan keyakinannya bahwa Suriah tertarik untuk menghindari perang dengan Israel dan menyetujui pengaturan keamanan bilateral yang berarti.
Dia berpendapat titik awalnya adalah kembalinya pasukan Israel ke garis perjanjian gencatan senjata 1974 di Golan, sehingga kedua belah pihak dapat menegosiasikan perjanjian keamanan yang secara resmi mengakhiri permusuhan dan mengakhiri kehadiran PBB di Golan, menurutnya.
Dia melanjutkan, dengan kedua belah pihak melepaskan penggunaan kekuatan, panggung untuk negosiasi perdamaian pada akhirnya akan dipersiapkan.
“Dan saya rasa Suriah mungkin tertarik dengan pendekatan ini, tetapi saya tidak yakin dengan niat Israel dalam hal ini," kata pakar di Dewan Atlantik ini.
Perjanjian Ibrahim
Presiden Trump sebelumnya telah menyatakan minatnya untuk memasukkan Suriah ke dalam Perjanjian Ibrahim, tetapi al-Sharaa bersikeras bahwa situasi Suriah berbeda dari dua negara lain yang telah menandatangani perjanjian tersebut, karena Dataran Tinggi Golan masih berada di bawah pendudukan.
Sementara itu, pakar strategi dan Direktur Lembaga Studi Negara-Negara Teluk, Giorgio Cavero, menilai sulit membayangkan Damaskus akan mengambil langkah apa pun untuk menandatangani perjanjian dengan Israel dalam kondisi saat ini.
"Sulit membayangkan Damaskus dan Tel Aviv mencapai kesepakatan keamanan yang komprehensif atau permanen dalam waktu dekat. Selain itu, tampaknya masuknya Suriah ke dalam perjanjian Abraham sama sekali tidak mungkin," kata dia kepada Aljazeera.
Dia menambahkan, semua pihak harus menyadari bahwa langkah semacam itu akan membawa biaya politik yang sangat besar bagi pemerintah al-Sharaa, yang akan sangat merusak legitimasi mereka di dalam negeri.
“Kemungkinan besar kepemimpinan Suriah akan memprioritaskan kedaulatan dan stabilitas internal daripada normalisasi resmi dengan Israel,” ujar dia.
Dalam wawancara dengan Aljazeera, mantan diplomat dan pakar urusan luar negeri Wolfgang Postzmayr mengatakan salah satu tujuan kunjungan tersebut adalah untuk membangun kesepakatan keamanan antara Suriah dan Israel.
Dia menambahkan para pemimpin baru Suriah telah melihat dari dekat bagaimana Israel menangani Hizbullah, yang memberi mereka kesempatan untuk menggulingkan rezim Bashar al-Assad dalam beberapa waktu setelah mereka berjuang selama lebih dari satu dekade.
"Mereka tahu bahwa Suriah tidak dapat menghadapi Israel karena sangat lemah dan rapuh. Tidak ada yang bisa dimenangkan dalam konflik semacam itu," kata dia.
Youve reached the end