Kebangkitan Maritim Indonesia, Pengamat: Laut Kini Jadi Poros Peradaban - SINDOnews
4 min read
Kebangkitan Maritim Indonesia, Pengamat: Laut Kini Jadi Poros Peradaban
Rabu, 22 Oktober 2025 - 16:29 WIB
Pengamat Maritim dari IKAL Strategic Center (ISC) Marcellus Hakeng Jayawibawa menyatakan satu tahun kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto telah menunjukkan arah baru bagi kebangkitan maritim Indonesia. Foto: Ist
A
A
A
JAKARTA - Satu tahun kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto telah menunjukkan arah baru bagi kebangkitan sektor maritim Indonesia. Kebijakan maritim bukan sekadar kelanjutan program masa lalu melainkan transformasi struktural yang menempatkan laut sebagai inti pembangunan nasional.
“Selama satu tahun terakhir, kita melihat tanda-tanda kebangkitan nyata dalam cara negara mengelola lautnya. Pemerintah tidak lagi memandang laut sebatas sumber daya ekonomi, tetapi juga sebagai sistem kehidupan dan peradaban,” ujar Pengamat Maritim dari IKAL Strategic Center (ISC) Marcellus Hakeng Jayawibawa di Jakarta, Rabu (22/10/2025).
Baca juga: Captain Hakeng: Saatnya Riau Bangkit Jadi Raja Maritim Lagi!
Arah kebijakan Prabowo yang terangkum dalam visi Asta Cita menegaskan kembali pentingnya kemandirian ekonomi, pemerataan pembangunan, dan ketahanan nasional berbasis potensi maritim. Dalam kerangka itu, laut menjadi medan strategis bagi masa depan bangsa, bukan hanya sumber pangan melainkan sumber energi, transportasi, dan diplomasi.
“Masa depan Indonesia ada di laut dan kini kita mulai melihat langkah-langkah konkret menuju visi itu,” kata Hakeng.
Salah satu capaian penting selama satu tahun ini adalah peningkatan investasi dalam infrastruktur pelabuhan dan penguatan konektivitas antarwilayah. Pemerintah mempercepat modernisasi pelabuhan strategis, memperluas kawasan industri perikanan, serta mendorong efisiensi logistik maritim.
Menurut Hakeng, langkah ini sejalan dengan upaya menjadikan laut bukan hanya jalur distribusi, tetapi pusat pertumbuhan ekonomi baru. “Pelabuhan sekarang bukan lagi sekadar tempat bongkar muat, tetapi pusat nilai tambah ekonomi yang menggerakkan industri lokal,” tuturnya.
Dia menilai kebijakan hilirisasi hasil laut dan pengembangan ekonomi biru (blue economy)menjadi dua tonggak utama dalam membangun kemandirian maritim Indonesia. Program ini menekankan pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan dengan keseimbangan antara produktivitas ekonomi dan kelestarian ekologi.
“Ekonomi Biru bukan sekadar jargon. Ia adalah paradigma baru yang menuntut perubahan sikap dari eksploitasi menjadi pengelolaan, dari konsumsi menjadi konservasi,” katanya.
Pemerintah juga mulai memperkenalkan kebijakan transisi menuju low carbon shipping yakni sistem pelayaran rendah emisi karbon. Inisiatif ini menunjukkan kesadaran baru bahwa pembangunan maritim tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab terhadap perubahan iklim.
Meski banyak kemajuan, dia mengingatkan masih terdapat sejumlah tantangan yang harus segera diatasi. Salah satunya tumpang tindih regulasi antarinstansi dalam pengelolaan laut dan pesisir.
Dia menilai perlu ada reformasi kelembagaan yang lebih tegas agar kebijakan maritim tidak berjalan parsial. “Laut itu lintas sektor dan lintas batas. Maka harus ada satu komando kebijakan yang bisa mengharmoniskan fungsi ekonomi, keamanan, dan ekologi. Kalau tidak, kita akan terus tersandung di masalah birokrasi,” ujarnya.
Hakeng menyoroti pentingnya digitalisasi data kelautan nasional. Dengan data akurat, pemerintah dapat mengambil keputusan berbasis sains dan menghindari tumpang tindih kebijakan. “Kita perlu sistem informasi maritim terpadu agar setiap langkah pembangunan memiliki pijakan ilmiah dan dapat dievaluasi secara objektif,” ucapnya.
Menurut dia, reformasi maritim tidak bisa hanya berorientasi pada infrastruktur fisik, tetapi juga harus membangun ekosistem manajemen yang efisien. Dia mencontohkan pentingnya rantai pasok dingin (cold chain) yang terintegrasi agar nelayan kecil tidak dirugikan oleh fluktuasi harga.
Pembangunan maritim yang berkelanjutan hanya dapat dicapai bila disertai penguatan sumber daya manusia. Pemerintah telah memulai langkah penting melalui program regenerasi pelaut dan profesional maritim.
“Indonesia memerlukan ribuan tenaga ahli baru di bidang bioteknologi laut, manajemen logistik pelabuhan, dan teknologi navigasi. Pemerintah sudah memulai, tapi perlu percepatan,” ujar Hakeng.
Dia juga mengingatkan agar kebijakan maritim tidak hanya berpihak pada industri besar, tetapi juga menyentuh kehidupan nelayan kecil. Dalam banyak kasus, masyarakat pesisir masih menghadapi ketimpangan akses modal dan teknologi. “Kalau kita bicara kedaulatan maritim, maka nelayan harus menjadi subjek, bukan objek pembangunan,” katanya.
Baca juga: Laksda Edwin: Budaya Maritim Perkuat Karakter Bangsa Kelola Potensi Maritim
Di bagian lain, Hakeng menilai 1 tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto terhadap kebijakan luar negeri semakin memperkuat posisi Indonesia sebagai kekuatan maritim di kawasan Indo-Pasifik. Dengan pendekatan diplomasi bebas aktif, Indonesia terus memperluas kerja sama dengan negara-negara ASEAN, Jepang, dan Australia dalam bidang keamanan laut, perlindungan keanekaragaman hayati, serta pertukaran teknologi kelautan.
“Diplomasi maritim Indonesia kini bergerak dari posisi reaktif menjadi proaktif. Kita tidak hanya menjadi penjaga laut sendiri, tetapi juga mitra dalam menjaga stabilitas kawasan,” ujar Hakeng.
Pendekatan ini sejalan dengan visi poros maritim dunia yang dihidupkan kembali oleh Presiden Prabowo. “Poros maritim bukan ambisi hegemonik, tapi panggilan moral bahwa laut adalah ruang bersama umat manusia yang harus dijaga dengan kebijaksanaan,” ujarnya.
Dia menilai arah kebijakan maritim Indonesia saat ini menunjukkan kedewasaan baru dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Pemerintah dinilainya semakin serius memperluas kawasan konservasi laut dan memperkuat sistem peringatan dini bencana pesisir.
Hakeng menambahkan arah pembangunan maritim di bawah Presiden Prabowo Subianto telah berada di jalur yang benar. Namun, konsistensi dan kesinambungan kebijakan menjadi syarat mutlak agar hasilnya benar-benar terasa di masyarakat.
“Pemerintah sudah mengukuhkan fondasi yang kuat. Sekarang tinggal menjaga ritme dan keberlanjutannya. Kalau konsistensi ini dijaga, saya yakin Indonesia akan benar-benar berlayar menuju kejayaan maritimnya,” ujarnya.
Kebangkitan maritim Indonesia bukan hanya soal infrastruktur atau ekspor ikan, tetapi juga pemulihan identitas bangsa. “Laut adalah jati diri kita. Kalau kita berhasil mengelolanya dengan bijak, maka kita bukan hanya membangun ekonomi, tetapi juga membangun kembali peradaban Nusantara,” katanya.
“Selama satu tahun terakhir, kita melihat tanda-tanda kebangkitan nyata dalam cara negara mengelola lautnya. Pemerintah tidak lagi memandang laut sebatas sumber daya ekonomi, tetapi juga sebagai sistem kehidupan dan peradaban,” ujar Pengamat Maritim dari IKAL Strategic Center (ISC) Marcellus Hakeng Jayawibawa di Jakarta, Rabu (22/10/2025).
Baca juga: Captain Hakeng: Saatnya Riau Bangkit Jadi Raja Maritim Lagi!
Arah kebijakan Prabowo yang terangkum dalam visi Asta Cita menegaskan kembali pentingnya kemandirian ekonomi, pemerataan pembangunan, dan ketahanan nasional berbasis potensi maritim. Dalam kerangka itu, laut menjadi medan strategis bagi masa depan bangsa, bukan hanya sumber pangan melainkan sumber energi, transportasi, dan diplomasi.
“Masa depan Indonesia ada di laut dan kini kita mulai melihat langkah-langkah konkret menuju visi itu,” kata Hakeng.
Salah satu capaian penting selama satu tahun ini adalah peningkatan investasi dalam infrastruktur pelabuhan dan penguatan konektivitas antarwilayah. Pemerintah mempercepat modernisasi pelabuhan strategis, memperluas kawasan industri perikanan, serta mendorong efisiensi logistik maritim.
Menurut Hakeng, langkah ini sejalan dengan upaya menjadikan laut bukan hanya jalur distribusi, tetapi pusat pertumbuhan ekonomi baru. “Pelabuhan sekarang bukan lagi sekadar tempat bongkar muat, tetapi pusat nilai tambah ekonomi yang menggerakkan industri lokal,” tuturnya.
Dia menilai kebijakan hilirisasi hasil laut dan pengembangan ekonomi biru (blue economy)menjadi dua tonggak utama dalam membangun kemandirian maritim Indonesia. Program ini menekankan pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan dengan keseimbangan antara produktivitas ekonomi dan kelestarian ekologi.
“Ekonomi Biru bukan sekadar jargon. Ia adalah paradigma baru yang menuntut perubahan sikap dari eksploitasi menjadi pengelolaan, dari konsumsi menjadi konservasi,” katanya.
Pemerintah juga mulai memperkenalkan kebijakan transisi menuju low carbon shipping yakni sistem pelayaran rendah emisi karbon. Inisiatif ini menunjukkan kesadaran baru bahwa pembangunan maritim tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab terhadap perubahan iklim.
Meski banyak kemajuan, dia mengingatkan masih terdapat sejumlah tantangan yang harus segera diatasi. Salah satunya tumpang tindih regulasi antarinstansi dalam pengelolaan laut dan pesisir.
Dia menilai perlu ada reformasi kelembagaan yang lebih tegas agar kebijakan maritim tidak berjalan parsial. “Laut itu lintas sektor dan lintas batas. Maka harus ada satu komando kebijakan yang bisa mengharmoniskan fungsi ekonomi, keamanan, dan ekologi. Kalau tidak, kita akan terus tersandung di masalah birokrasi,” ujarnya.
Hakeng menyoroti pentingnya digitalisasi data kelautan nasional. Dengan data akurat, pemerintah dapat mengambil keputusan berbasis sains dan menghindari tumpang tindih kebijakan. “Kita perlu sistem informasi maritim terpadu agar setiap langkah pembangunan memiliki pijakan ilmiah dan dapat dievaluasi secara objektif,” ucapnya.
Menurut dia, reformasi maritim tidak bisa hanya berorientasi pada infrastruktur fisik, tetapi juga harus membangun ekosistem manajemen yang efisien. Dia mencontohkan pentingnya rantai pasok dingin (cold chain) yang terintegrasi agar nelayan kecil tidak dirugikan oleh fluktuasi harga.
Pembangunan maritim yang berkelanjutan hanya dapat dicapai bila disertai penguatan sumber daya manusia. Pemerintah telah memulai langkah penting melalui program regenerasi pelaut dan profesional maritim.
“Indonesia memerlukan ribuan tenaga ahli baru di bidang bioteknologi laut, manajemen logistik pelabuhan, dan teknologi navigasi. Pemerintah sudah memulai, tapi perlu percepatan,” ujar Hakeng.
Dia juga mengingatkan agar kebijakan maritim tidak hanya berpihak pada industri besar, tetapi juga menyentuh kehidupan nelayan kecil. Dalam banyak kasus, masyarakat pesisir masih menghadapi ketimpangan akses modal dan teknologi. “Kalau kita bicara kedaulatan maritim, maka nelayan harus menjadi subjek, bukan objek pembangunan,” katanya.
Baca juga: Laksda Edwin: Budaya Maritim Perkuat Karakter Bangsa Kelola Potensi Maritim
Di bagian lain, Hakeng menilai 1 tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto terhadap kebijakan luar negeri semakin memperkuat posisi Indonesia sebagai kekuatan maritim di kawasan Indo-Pasifik. Dengan pendekatan diplomasi bebas aktif, Indonesia terus memperluas kerja sama dengan negara-negara ASEAN, Jepang, dan Australia dalam bidang keamanan laut, perlindungan keanekaragaman hayati, serta pertukaran teknologi kelautan.
“Diplomasi maritim Indonesia kini bergerak dari posisi reaktif menjadi proaktif. Kita tidak hanya menjadi penjaga laut sendiri, tetapi juga mitra dalam menjaga stabilitas kawasan,” ujar Hakeng.
Pendekatan ini sejalan dengan visi poros maritim dunia yang dihidupkan kembali oleh Presiden Prabowo. “Poros maritim bukan ambisi hegemonik, tapi panggilan moral bahwa laut adalah ruang bersama umat manusia yang harus dijaga dengan kebijaksanaan,” ujarnya.
Dia menilai arah kebijakan maritim Indonesia saat ini menunjukkan kedewasaan baru dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Pemerintah dinilainya semakin serius memperluas kawasan konservasi laut dan memperkuat sistem peringatan dini bencana pesisir.
Hakeng menambahkan arah pembangunan maritim di bawah Presiden Prabowo Subianto telah berada di jalur yang benar. Namun, konsistensi dan kesinambungan kebijakan menjadi syarat mutlak agar hasilnya benar-benar terasa di masyarakat.
“Pemerintah sudah mengukuhkan fondasi yang kuat. Sekarang tinggal menjaga ritme dan keberlanjutannya. Kalau konsistensi ini dijaga, saya yakin Indonesia akan benar-benar berlayar menuju kejayaan maritimnya,” ujarnya.
Kebangkitan maritim Indonesia bukan hanya soal infrastruktur atau ekspor ikan, tetapi juga pemulihan identitas bangsa. “Laut adalah jati diri kita. Kalau kita berhasil mengelolanya dengan bijak, maka kita bukan hanya membangun ekonomi, tetapi juga membangun kembali peradaban Nusantara,” katanya.
(jon)