Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Featured Istimewa PSN Spesial Whoosh

    Kejanggalan Whoosh di Mata Pengamat Agus Sarwono: Bermasalah Sejak Awal, Kok Tiba-tiba Jadi PSN? - Tribunnews.com

    13 min read

     

    Kejanggalan Whoosh di Mata Pengamat Agus Sarwono: Bermasalah Sejak Awal, Kok Tiba-tiba Jadi PSN? - Tribunnews.com

    Editor: Wahyu Gilang Putranto


    Dok. Agus Suparto BPMI Setpres
    PROYEK KERETA CEPAT WHOOSH - Dalam Foto: Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) saat berfoto dengan Kereta Cepat Jakarta-Bandung di Stasiun Kereta Cepat Halim, Jakarta Timur, sebelum berangkat menuju Stasiun Padalarang, Jawa Barat, Rabu (13/9/2023). Peneliti Sektor Pengadaan dan Partisipasi Publik dari Transparansi Internasional (TI) Indonesia Agus Sarwono menyoroti kejanggalan dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh yang diresmikan di era Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). 
    Ringkasan Berita:
    • Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh mengalami pembengkakan biaya atau cost overrun sehingga biaya pembangunannya mencapai 7,27 miliar dollar AS atau setara Rp108,14 triliun, menurut kajian Transparency Internasional (TI) Indonesia.
    • Peneliti TI Indonesia Agus Sarwono menilai, proyek kereta cepat ini sudah bermasalah sejak awal jika ditilik dari aspek perencanaannya.
    • Kejanggalan lain dari Whoosh meliputi dugaan mark-up, tidak ada informasi studi kelayakan dan AMDAL.

    TRIBUNNEWS.COM - Peneliti Sektor Pengadaan dan Partisipasi Publik dari Transparency Internasional (TI) Indonesia, Agus Sarwono menyoroti kejanggalan dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh yang diresmikan di era Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).

    Agus Sarwono menilai, proyek kereta cepat ini sudah bermasalah sejak awal jika ditilik dari aspek perencanaannya.

    Menurutnya, ada yang janggal ketika Whoosh tiba-tiba menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN).

    Whoosh sendiri ditetapkan sebagai PSN melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016.

    Proyek itu diberi 'stempel' PSN oleh Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP).

    Hal tersebut disampaikan Agus saat menjadi narasumber dalam program Overview yang tayang di kanal YouTube Tribunnews, Rabu (29/10/2025).

    Proyek Strategis Nasional (PSN) adalah proyek yang dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau badan usaha yang memiliki sifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah, dikutip dari laman bpkp.go.id.

    Rekomendasi Untuk Anda
    Debat Panas Bahas Polemik Utang Whoosh, PSI Sebut PDIP Tidak Inginkan Impian Berkelanjutan

    "Sebenarnya dari aspek perencanaan itu sendiri, kami nilai memang bermasalah sejak awal. Proyek ini tiba-tiba muncul menjadi proyek strategis nasional," kata Agus.

    Lebih lanjut, Agus juga menyebut proyek KCJB terkesan terburu-buru dalam hal tata kelola perencanaannya, meski bisa dinilai memang dibutuhkan jika dilihat dari aspek kebutuhan untuk memperlancar transportasi dari Jakarta ke Bandung atau sebaliknya.

    "Sementara dari aspek tata kelola perencanaan kami lihat rasanya itu terburu-buru. Mungkin dari aspek kebutuhan mungkin iya [dibutuhkan] gitu," papar Agus

    "Tapi, dari konteks perencanaan, ini kami lihat terburu-buru," tambahnya.

    Agus menyatakan, pihak TI Indonesia pernah merilis kajian mengenai risiko korupsi terkait PSN, dalam konteks proyek KCJB atau Whoosh.

    Ia menyebut, saat meminta informasi mengenai proyek Whoosh, pihak pelaksana justru tidak memahami informasi tersebut dengan baik.

    Hal ini, menurutnya, mencerminkan banyaknya titik lemah pada tata kelola Whoosh sebagai PSN, yang dapat berujung pada potensi terjadinya korupsi.

    "Bahkan pada tahun 2022, 2023, kami pernah merilis risiko korupsi dalam proyek strategis nasional dalam konteks infrastruktur gitu ya. salah satunya adalah kereta cepat," jelas Agus.

    "Di 2021, kami mencoba untuk melakukan permintaan informasi kepada pelaksana program," ujar Agus.

    "Menariknya, sampai dengan kami mengirimkan surat keberatan, bahkan pelaksana program tidak menguasai informasi," lanjutnya.

    "Ini artinya, tata kelola proyek strategis nasional dalam konteks Kereta Cepat Jakarta-Bandung ini, kami nilai masih banyak titik lemahnya begitu dan tentu menimbulkan risiko korupsi yang ada," tambahnya.

    Dugaan Mark Up, Tak Ada Feasibility Study dan Tak Ditemukan AMDAL

    Kemudian, Agus mengungkap kejanggalan lain dalam tata kelola pengadaan proyek Whoosh.

    Yakni, dugaan adanya mark-up atau penggelembungan anggaran sebagaimana yang disampaikan oleh Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM RI (Menkopolhukam) Mahfud MD.

    Selain itu, Agus menyebut, kajian yang dilakukan pihak TI tidak menemukan informasi mengenai studi kelayakan atau feasibility study terkait proyek Whoosh.

    Bahkan, Agus mengaku, tidak menemukan informasi mengenai Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dari proyek tersebut.

    Padahal, pihaknya sudah mencoba mencari-cari informasi di Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) maupun PT. Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) soal studi kelayakan dan AMDAL Whoosh.

    "Kajian kami melihat sudah nampak di awal bahwa ada perbedaan harga dari yang sekarang ini muncul, dan Prof. Mahfud sudah berulang kali menyatakan bahwa ada mark-up yang luar biasa besar di sana," jelas Agus.

    "Dari aspek tata kelola pengadaannya sendiri, itu sudah kami nilai cukup cukup bermasalah," lanjutnya.

    "Bahkan kami tidak menemukan informasi dalam konteks feasibility study-nya, AMDAL-nya," imbuhnya.

    "Kami mencoba mencari dari berbagai macam instrumen yang tersedia baik di KPPIP, kemudian di KCIC. Di PT. KCIC, kami tidak menemukan sama sekali informasi tersebut," pungkas Agus.

    TI Indonesia menilai, meskipun Proyek Strategis Nasional (PSN) didesain sebagai instrumen untuk mempercepat pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi, praktik implementasinya menunjukkan adanya celah tata kelola, ketidakadilan sosial, serta potensi beban fiskal jangka panjang.

    Celah tersebut juga terlihat pada proyek Whoosh.

    Analisis TI Indonesia Mengenai Proyek Whoosh

    Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh dibangun dengan panjang trase 142,3 kilometer, yang terbentang dari Jakarta hingga Bandung, dengan empat stasiun pemberhentian, yakni Halim, Karawang, Padalarang, dan Tegalluar. 

    Whoosh dikelola oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), yang merupakan perusahaan patungan antara konsorsium Indonesia (PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia/PSBI) dengan 60 persen saham dan konsorsium China melalui Beijing Yawan HSR Co Ltd (40 persen saham).

    Adapun PSBI sendiri dipimpin oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan porsi saham 58,53 persen, diikuti Wijaya Karya (33,36 persen), PT Jasa Marga (7,08 persen), dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII (1,03 persen).

    Sementara, komposisi pemegang saham Beijing Yawan HSR Co. Ltd terdiri atas CREC 42,88 persen, Sinohydro 30 persen, CRRC 12 persen, CRSC 10,12 persen, dan CRIC 5 persen.

    Whoosh pun diresmikan oleh Jokowi pada 2 Oktober 2023 di Stasiun Halim, Jakarta.

    Pada 2015 silam, Jokowi sudah berjanji bahwa proyek KCJB tidak akan menggunakan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) karena dijalankan  dengan skema Business to Business (B2B) antara Indonesia dengan China. 

    Namun pada  2021, Jokowi resmi meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 yang merupakan perubahan atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015, tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung.

    Dari beberapa pasal revisi, yang menjadi sorotan publik adalah revisi Pasal 4 yang menyatakan bahwa proyek KCJB kini diizinkan untuk didanai APBN.

    Hingga saat ini biaya total pembangunan Whoosh telah mencapai 7,27 miliar dollar AS atau setara Rp108,14 triliun.

    Biaya tersebut mengalami pembengkakan sebesar Rp1,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp18,02 triliun.

    Angka ini bahkan jauh melampaui nilai investasi dari proposal Jepang melalui JICA (Japan International Cooperation Agency) yang
    memberikan tawaran proyek KCJB sebesar 6,2 miliar dollar AS.

    Akibat pembengkakan biaya tersebut, Pemerintah China dan Pemerintah Indonesia menyepakati cost overrun sebesar 1,2 miliar dollar AS.

    Dari cost overrun 1,2 miliar dollar AS, total pinjaman Indonesia adalah sekitar 560 juta dollar AS dengan bunga pinjaman kepada China Development Bank (CDB) sebesar 3,4 persen.

    Selain itu, Pemerintah China juga menginginkan agar pinjaman tersebut dijamin oleh APBN.

    Namun, Pemerintah Indonesia menawarkan agar penjaminan dapat dilakukan melalui PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PPI).

    Dampak lain dari pembengkakan biaya tersebut adalah jangka waktu konsesi diperpanjang menjadi 80 tahun.

    Indikasi State Capture Corruption dalam Proyek Whoosh

    Proses penilaian yang dilakukan TI Indonesia menemukan bahwa indikasi risiko korupsi pada proyek Whoosh sangat tinggi.

    Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa indikasi adanya state capture corruption (bentuk korupsi yang melibatkan kolusi antara pejabat, politisi, dan pengusaha untuk memengaruhi peraturan demi keuntungan pribadi atau kelompok) dalam pengambilan keputusan proyek KCJB. 

    1. Patut diduga beberapa pejabat melibatkan kepentingan pribadinya dengan mengusahakan agar proyek ini terus dibangun.

    Dugaan ini, diikuti dengan indikasi bahwa informasi terkait perencanaan proyek yang disampaikan kepada Presiden tidak cukup memadai.

    Adapun kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam tawaran China juga diduga tidak secara jujur disampaikan karena faktor kepentingan. 

    Jika kembali membaca konteks pemilihan sebetulnya, tampak ada upaya sistematis untuk melakukan undue influence lewat penandatanganan MoU pengerjaan proyek Kereta Cepat.

    2. Seleksi calon investor tidak komprehensif dan perencanaan proyek tidak matang. Tim penilai proposal terindikasi tidak mempertimbangkan secara seksama proposal yang disampaikan.

    Hal ini terbukti dalam tahapan pengerjaan proyek muncul biaya tidak terduga yang mengakibatkan pembengkakan tidak diantisipasi dalam feasibility study, seperti pada tahapan pembebasan lahan.

    3. Kurang adanya keterlibatan pihak eksternal dan kurang berjalannya mekanisme checks and balances.

    4. Informasi terkait legalitas dan dokumen kelayakan proyek terkesan tertutup di mana nyaris publik tidak dapat mengaksesnya.

    Salah satu faktor utamanya adalah buruknya keterbukaan informasi terkait proses pra-pengerjaan proyek.

    Dokumen-dokumen penting seperti laporan tahunan proyek kereta cepat, laporan audit kereta cepat, HPS kereta cepat, KAK kereta cepat, dokumen kontrak kereta cepat, dokumen studi kelayakan kereta cepat, dan AMDAL kereta cepat pada website milik konsorsium BUMN termasuk kementerian yang terkait hingga milik PT. KCIC itu sendiri cenderung tidak tersedia dan/atau kurang memadai.

    *) Analisis TI Indonesia terhadap Whoosh dikutip dari artikel AMICUS CURIAE Transparency International Indonesia dalam Perkara Nomor 112/PUU-XXIII/2025 yang dipublikasikan pada September 2025. Akses di sini.

    (Tribunnews.com/Rizki A.)

    Komentar
    Additional JS