KUHAP Baru Ancam Efektifitas, Tindakan Penyidik Khusus Harus Sepersetujuan Polri - NU Online
KUHAP Baru Ancam Efektifitas, Tindakan Penyidik Khusus Harus Sepersetujuan Polri
NU Online · Selasa, 25 November 2025 | 15:00 WIB
Ilustrasi KUHAP. (Foto: NU Online/Freepik)
Jakarta, NU Online
KUHAP baru dinilai dapat menjadikan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) memiliki kekuatan yang super atau superpower sebagai penyidik utama yang membawahi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Penyidik tertentu.
Baca Juga
Masyarakat Nilai RUU KUHAP Jadi Ancaman Serius bagi Kebebasan Sipil
Penilaian itu didasarkan pada Pasal 6; Pasal 7 ayat (3), (4), dan (5); Pasal 8 ayat (3); serta Pasal 24 ayat (3) KUHAP yang baru. Dengan begitu, Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Pembaruan KUHAP Muhammad Isnur menyatakan bahwa aturan baru itu dapat mengancam efektifitas penyidikan khusus.
"Selain itu untuk seluruh upaya paksa, termasuk di dalamnya penangkapan dan penahanan (menurut) Pasal 93 dan 99 oleh PPNS dan Penyidik tertentu harus dilakukan dengan persetujuan penyidik Polri," katanya menurut keterangan yang diterima NU Online pada Selasa (25/11/2025).
Baca Juga
RUU KUHAP Dinilai Berpotensi Langgar HAM, Koalisi Masyarakat Sipil Luncurkan Draf Tandingan
"KUHAP yang baru menyebabkan PPNS tidak bisa melakukan penangkapan (menurut) Pasal 93 Ayat 3 dan penahanan (menurut) Pasal 99 Ayat 3 kecuali atas perintah penyidik kepolisian," tambahnya.
Baca Juga
Mahasiswa Bersama Koalisi Masyarakat Sipil Kepung DPR Gelar Aksi Tolak Pengesahan RKUHAP
Ia menjelaskan, selain tiga instansi negara seperti Kejaksaan, KPK, dan TNI AL, semuanya berada di bawah koordinasi Polri.
Di samping itu, pada 2026 saat KUHAP diterapkan, penyidikan kasus narkotika di bawah BNN, kasus produk makanan tidak tersertifikasi di bawah BPOM, kasus illegal logging di bawah PPNS Kementerian Kehutanan, dan kasus dalam ranah bea dan cukai di bawah Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan terancam tidak independen.
"(Tidak) efektif karena harus tunduk di bawah penyidik kepolisian yang bahkan kemampuan keahliannya tidak spesifik," tegasnya.
Lebih lanjut, di dalam KUHAP baru, Isnur menegaskan bahwa pasal-pasal mengenai penangkapan dan penahanan mengancam perlindungan fisik warga negara. Sebab, kewenangan yang seharusnya berasal dari otoritas independen, justru sepenuhnya berada di tangan penyidik, sebagaimana tercantum dalam Pasal 93 dan Pasal 99.
"Penyidik sendiri yang bisa memutus melakukan penangkapan tanpa dilihat terlebih dahulu keabsahan alat bukti yang menjadi alasan penangkapan, tak ada otoritas hakim yang imparsial yang menguji kebutuhan melakukan penangkapan," jelasnya.
Hal ini, menurut Isnur, membuka peluang penyalahgunaan dan bertentangan dengan hak ingkar tersangka. Ia menambahkan bahwa ketiadaan izin penangkapan dan penahanan dari otoritas independen seperti ini merupakan hanya terjadi di dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
"Izin penangkapan dan penahanan bukan dari otoritas independen ini hanya terjadi di sistem peradilan pidana di Indonesia. Berbagai negara di belahan dunia telah menerapkan judicial scrutiny, untuk upaya paksa yang menyangkut perlindungan fisik seseorang," terangnya.