Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home DPR Featured Istimewa Mahkamah Konstitusi Pensiun Pensiun Seumur Hidup Presiden Spesial

    MK Panggil DPR dan Presiden, Pemohon Serius Uji Aturan Pensiun Seumur Hidup - Tribun kaltim

    11 min read

     

    MK Panggil DPR dan Presiden, Pemohon Serius Uji Aturan Pensiun Seumur Hidup - Tribunkaltim.co

    Tribun X
    TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
    PENSIUN SEUMUR HIDUP - Suasana Rapat Paripurna Ke-8 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025-2026 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (18/11/2025). Hari ini, Senin (24/11/2025), Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan gugatan terkait tunjangan pensiun seumur hidup anggota DPR.  
    Ringkasan Berita:

    TRIBUNKALTIM.CO - Hari ini, Senin (24/11/2025), Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan gugatan terkait tunjangan pensiun seumur hidup anggota DPR

    Sidang dengan agenda Pemeriksaan Persidangan ini akan mendengar keterangan dari DPR dan Presiden sebagai pihak terkait, seiring pengajuan uji materi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 oleh para pemohon.

    Gugatan ini diajukan Syamsul Jahidin bersama delapan pemohon lainnya, menyoroti ketentuan pensiun seumur hidup bagi anggota DPR yang dinilai tidak adil dan merugikan negara.

    Para pemohon berasal dari beragam latar belakang, mulai dari advokat, ASN, hingga psikolog, yang bersatu menuntut pemerataan hak dan keadilan fiskal di Indonesia.

    Penggugat sekaligus Pemohon perkara nomor 176/PUU-XXIII/2025, Syamsul Jahidin, mengatakan,  MK bakal menghadirkan dan mendengar keterangan DPR dan Presiden.

    "Jika diwakili, minimal yang hadir adalah pejabat eselon II. Kami berharap mereka yang datang adalah yang benar-benar sebagai cerminan pejabat menghadapi keseriusan tuntutan rakyat," jelasnya kepada Tribunnews, Senin pagi.  

    Adapun sidang bakal digelar pada pukul 13.30 WIB di Gedung MKR 1 Lantai 2.

    Syamsul yang juga dikenal berhasil menggugat aturan rangkap jabatan Polri itu mengaku tak sabar untuk melakoni agenda utama sidang gugatannya itu untuk bersama 8 pemohon lainnya seperti Lita Linggayani Gading atau dr. Lita Gading.

    Mereka total bersembilan pemohon telah memperbaiki berkas hasil revisi sesuai saran dari hakim konstitusi dalam sidang sebelumnya untuk menguji Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980, tentang Hak Pensiun Bekas Kepala Lembaga Negara terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, khususnya Pasal 1a, Pasal 1f, dan Pasal 12.

    Satu dari poin gugatannya adalah perihal tunjangan pensiunan seumur hidup mantan anggota DPR yang menurutnya merugikan negara serta menunjukkan ketimpangan nyata bagi rakyat Indonesia.

    9 Penggugat

    Mulanya jumlah penggugat ada dua orang yakni Lita Linggayani Gading atau dr. Lita Gading dan Syamsul Jahidin, kini bertambah menjadi sembilan orang pemohon.

    Mereka berasal dari berbagai latar belakang profesi dan daerah, bersatu menyuarakan ketidakadilan dalam pemberian pensiun seumur hidup kepada anggota DPR yang hanya menjabat lima tahun.

    Berikut sosok kesembilan pemohon yang kini menjadi garda depan dalam gugatan ini:

    • Dr. Lita Linggayati Gading, M.Psi – Psikiater/Psikolog Sebagai Pemohon I, Dr. Lita adalah seorang profesional di bidang kesehatan mental yang berdomisili di Gading Serpong, Tangerang. Ia menjadi salah satu inisiator gugatan ini, menyuarakan keresahan masyarakat terhadap ketimpangan sistem pensiun DPR. Lita dikenal aktif dalam isu-isu sosial dan keadilan publik.
    • dr. Ria Merryanti A.P., M.H. – ASN (Aparatur Sipil Negara) Pemohon III adalah seorang dokter sekaligus ASN yang berdomisili di Pontianak. Ia membawa perspektif birokrasi dan pelayanan publik dalam gugatan ini, menyoroti ketimpangan antara hak pensiun ASN dan anggota DPR.
    • Yosephine Chrisan Ecclesia Tamba, S.H. – Karyawan BUMN dan Advokat Pemohon V berasal dari Sekadau, Kalimantan Barat. Dengan pengalaman di sektor BUMN dan profesi advokat, Yosephine menyoroti beban fiskal negara akibat pensiun DPR yang dinilai tidak proporsional.
    • Meilani Mindasari, S.H. – Advokat Pemohon VI berdomisili di Jakarta Timur. Sebagai praktisi hukum, Meilani turut memperkuat gugatan dengan pendekatan yuridis terhadap ketentuan yang dinilai diskriminatif terhadap profesi lain yang tidak mendapat pensiun seumur hidup.
    • H. Evaningsih, S.H. – Advokat Pemohon VIII berdomisili di Tambun Selatan. Ia menyoroti aspek keadilan sosial dan keberpihakan negara terhadap rakyat kecil dalam sistem pensiun pejabat negara.
    • Andrean Winoto Wijaya, S.H., M.H. – Advokat Pemohon IX berasal dari Pontianak. Andrean aktif dalam isu-isu hukum tata negara dan menilai bahwa pemberian pensiun seumur hidup kepada anggota DPR bertentangan dengan prinsip keadilan dan efisiensi anggaran negara.

    Dalam kasus ini, para Pemohon—Lita yang bekerja sebagai psikolog serta Syamsul yang merupakan mahasiswa dan juga advokat—mengajukan uji terhadap Pasal 1 huruf a, Pasal 1 huruf f, dan Pasal 12 ayat (1) UU 12/1980.

    Menurut mereka, ketentuan-ketentuan itu dianggap melanggar prinsip keadilan dan kesamaan di depan hukum seperti yang dijamin oleh UUD NRI 1945.

    Saat menyampaikan perbaikan permohonan, Syamsul Jahidin menjelaskan bahwa jumlah Pemohon dalam perkara ini meningkat dari awalnya dua orang menjadi sembilan orang.

    “Selain itu, di halaman 6 poin 4 kami menegaskan bahwa perkara ini bukan nebis in idem, karena sebelumnya ada pengujian undang-undang serupa dengan Nomor Perkara 41/PUU-XI/2013,” kata Syamsul di depan Majelis Hakim, dikutip dari laman MK.

    Syamsul juga menerangkan bahwa para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai warga negara Indonesia yang hak konstitusionalnya berpotensi terganggu oleh penerapan norma-norma dalam pasal-pasal yang diuji.

    “Hak-hak kami berpotensi dilanggar oleh keberadaan penerapan norma-norma itu,” ungkapnya.

    Di samping itu, para Pemohon juga menyajikan perbandingan dengan kebijakan pensiun di berbagai negara, serta melampirkan petisi yang didukung oleh 88.834 tanda tangan dari masyarakat Indonesia sebagai wujud aspirasi publik yang mendukung penghapusan tunjangan pensiun bagi Anggota DPR RI.

    Dalil Permohonan

    Sebelumnya, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diadakan pada Jumat (10/10/2025), para Pemohon mengemukakan bahwa frasa “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat” dalam Pasal 1 huruf a UU 12/1980 menyebabkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan hukum.

    Menurut mereka, ketentuan itu memungkinkan Anggota DPR RI yang hanya bertugas selama satu periode (lima tahun) untuk mendapatkan pensiun seumur hidup yang bahkan bisa diwariskan.

    “Ini bertentangan dengan prinsip keadilan serta asas negara hukum yang berfokus pada kesejahteraan rakyat,” kata Syamsul tanpa pendampingan kuasa hukum.

    Para Pemohon menilai bahwa pemberian pensiun seumur hidup untuk anggota DPR menciptakan beban keuangan negara yang tidak seimbang. Berdasarkan data yang dikemukakan, total biaya pensiun anggota DPR RI mencapai Rp226,015 miliar, yang seluruhnya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

    “Kerugian yang kami rasakan bersifat konkret dan potensial. Sebagai pembayar pajak, kami merasa bahwa penggunaan dana pajak untuk pensiun DPR yang hanya menjabat lima tahun merupakan bentuk ketidakadilan fiskal,” tambah Syamsul.

    Perbandingan dan Pertimbangan

    Dalam permohonannya, para Pemohon juga membahas perbandingan dengan sistem pensiun di lembaga negara lainnya. Untuk Hakim Agung, Anggota BPK, ASN, TNI, dan Polri, masa kerja yang menjadi dasar pensiun biasanya antara 10 hingga 35 tahun.

    Sementara itu, bagi anggota DPR, masa jabatan hanya satu hingga lima tahun, tetapi mereka tetap berhak atas pensiun seumur hidup.

    Para Pemohon juga menyebutkan praktik di beberapa negara lain.

    Di Amerika Serikat dan Inggris, hak pensiun anggota parlemen didasarkan pada masa jabatan, usia, dan kontribusi.

    Di Australia, sistem pensiun berbasis kontribusi telah diterapkan sejak 2004, sementara di India, pensiun seumur hidup bagi anggota parlemen masih berlaku tetapi sering dikritik oleh publik karena dianggap membebani anggaran negara, kondisi yang menurut Pemohon mirip dengan di Indonesia.

    Selain isu hukum dan keuangan, para Pemohon juga menyoroti aspek moral dan kinerja DPR yang dianggap belum sebanding dengan fasilitas serta tunjangan yang diterima.

    Mereka mengutip opini publik tentang rendahnya tingkat kehadiran dalam sidang paripurna serta perilaku anggota DPR yang dinilai tidak mencerminkan tanggung jawab sebagai perwakilan rakyat.

    Berdasarkan aturan saat ini, anggota DPR RI menerima pensiun antara Rp401.894 hingga Rp3.639.540, tergantung pada masa jabatan, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000.

    Namun, para Pemohon berargumen bahwa ketentuan itu tetap tidak adil karena memberikan pensiun seumur hidup untuk jabatan politik yang bersifat sementara.

    Melalui permohonan ini, para Pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan dalam UU 12/1980 yang memberikan hak pensiun seumur hidup kepada anggota DPR bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. (*)

    Komentar
    Additional JS