Nilai TKA Matematika 2025 JEBLOK, Metode Ajar dan Buku Disorot, BEBAN GURU Terlupakan? - Pojok Satu
POJOKSATU.id – Kabar nilai Tes Kemampuan Akademik (TKA) Matematika SMA 2025 yang “jeblok-blok-blok” langsung memantik diskusi hangat di dunia pendidikan.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menegaskan penyebabnya bukan karena murid “goblok”, melainkan cara ajar dan buku ajar yang belum cukup memantik rasa ingin tahu.
Ucapan itu ia sampaikan dalam musyawarah Ikapi di Jakarta, 19 November 2025.
Pernyataan Mu’ti sekaligus mengingatkan kembali literasi numerasi Indonesia memang masih rendah.
Banyak murid memandang matematika sebagai momok, meski pemerintah sedang mendorong Gerakan Numerasi Nasional berbasis pendekatan STEM dengan konsep “Mudah, Murah, Menarik”.
Nah, pertanyannya muncul: apakah guru sudah menggunakan metode paling efektif, atau justru buku ajar matematika kita belum cukup kontekstual?
Baca Juga:
Kompetensi Guru Penting, Tapi Bukan Satu-satunya
Sejumlah penelitian menunjukkan persoalan ini tidak sesederhana menuding guru.
Meta-analisis Sukri (2023) mencatat kompetensi guru berpengaruh 29,38 persen terhadap capaian murid.
Talitha dkk. (2021) menemukan guru belum optimal mengenali minat murid. Penelitian Telaumbanua dkk. (2023) menyebut kesiapan guru menerapkan Kurikulum Merdeka masih butuh pelatihan berkelanjutan.
Sementara Gusmawan dan Herman (2023) menunjukkan kemampuan pembelajaran kontekstual guru masih berada pada kategori “cukup”.
Di Wonogiri, MGMP Sub Rayon 01 SMPN 6 bersama PT Intan Pariwara membedah karakteristik soal TKA.
Perwakilan MGMP Didik Meiyono menjelaskan TKA memang mirip ujian nasional, tapi kini dimodifikasi mengikuti standar asesmen terbaru.
Materi bersama PT Intan Pariwara yang menerbitkan buku Matematika, diwakili Heny Kusumawati mengulas dasar hukum TKA, fungsi asesmen, sampai bentuk soal modern yang tak hanya pilihan ganda sederhana, tetapi juga pilihan ganda kompleks dan kategori respons.

Baca Juga:
Bagus, Tapi Belum Dimaksimalkan
Jika kita membahas buku Matematika terbitan Kemendikdasmen, persoalan pengajaran Matematika juga menemukan persoalan lain.
Buku terbitan Kemendikdasmen sebenarnya sudah memakai pendekatan pemecahan masalah, visual ramah murid, dan konteks kehidupan sehari-hari.
Tapi catatannya begini:
Banyak guru yang dinilai belum memanfaatkan latihan bertahap.
Contoh aplikatif sering tak sempat dibahas sehingga murid kehilangan relevansi.
Bab numerasi berbasis data kerap terlewat karena guru mengejar target materi.
Di sini terlihat bahwa buku ajar sejatinya sudah maju, hanya belum dipakai optimal karena beberapa sebab.
Guru Disorot, Beban Menumpuk
Isu kualitas pembelajaran memang sering diarahkan pada kemampuan guru. Padahal beban mereka jauh lebih besar dari yang tampak.
Guru menjalankan laporan harian, perangkat ajar, asesmen, portofolio siswa, komunikasi orang tua, hingga tugas sosial.
Di saat bersamaan, buku ajar yang makin konseptual menuntut waktu adaptasi. Wajar jika peningkatan mutu mengajar tak bisa terjadi seketika.
Guru butuh pelatihan konsisten, pendampingan relevan, dan beban kerja yang realistis agar bisa fokus pada peran utamanya: mengajar.
Kalau ekosistemnya tidak mendukung, buku sebagus apa pun tak akan berdampak maksimal.
Mengajar Matematika, Metode Tak Bisa Satu Rasa
Metode ceramah, demonstrasi, drill, penemuan, pemecahan masalah, inquiry, hingga pemberian tugas—semuanya bisa efektif asal tepat konteks.
Baca Juga:

Intinya metode harus membangkitkan minat, memberi ruang eksplorasi, dan menanamkan nalar.
Sebelum masuk metode, guru perlu membantu murid menghapus mindset bahwa matematika itu menakutkan.
Pendekatan personal yang hangat, percakapan ringan tentang angka, dan kelas yang tidak kaku bisa membuat murid berani bertanya.
Tiga Metode yang Bisa Langsung Dicoba
Metode Lugas & Terstruktur – penjelasan singkat, latihan bertahap, video pembelajaran pendek.
Metode Questioning – pertanyaan pemancing dalam format gim daring.
Metode GASING – kuasai satu tipe soal dulu, baru naik level; bisa dibantu platform tertentu.
Kenapa Matematika Terasa Sulit?
Alasannya beragam: dasar lemah, pengalaman buruk, metode monoton, hubungan guru–siswa kurang hangat, hingga ilusi bahwa matematika adalah hafalan rumus.
Padahal riset Dr Taya Evans (Stanford) menunjukkan belajar matematika justru meningkatkan volume gray matter dan kemampuan mengambil keputusan.
Diskusi ringan, personalisasi gaya belajar, pemanfaatan teknologi, hingga gim edukasi bisa membuat matematika lebih dekat dengan murid.
Karena pada dasarnya matematika adalah cara berpikir, bukan sekadar angka.
Ketika Mu’ti mengungkap akar persoalan jebloknya TKA 2025 dan guru-guru serius mengupas buku ajar serta karakter soal, sebenarnya muncul harapan baru.
Pendidikan matematika Indonesia bisa berubah—asal digerakkan dengan pendekatan yang manusiawi, kreatif, dan kontekstual.
Pelan-pelan, matematika bisa kembali jadi pelajaran yang disukai, bukan ditakuti.
Pada akhirnya, meningkatkan mutu matematika bukan mencari siapa yang salah, tapi memastikan semua bergerak bersama.
Baca Juga:

Dari guru, sekolah, pemerintah, hingga orang tua—semua punya peran membuat ruang belajar anak-anak lebih hidup dan penuh makna.
Rasanya, Matematika juga punya rasa. Bukan hanya benar atau salah. ***
Artikel Terkait
Sepakat dengan Prabowo, Inggris Siapkan 10 Ribu Beasiswa dan Perluas Jaringan Kampus di Indonesia

Hari Ini Ramai! Guru ASN Berbondong-Bondong Laporkan TPG TW 4 Sudah Cair

Cek Daftar Lengkap Kabupaten atau Kota yang Sudah Cair TPG TW 4 Hari Ini!

Hoaks BSU 2025 Makin Liar, Modus Baru, Link Palsu, dan Janji Uang Cepat yang Menjerat Warga

PT Pojok Satu Indonesia
Graha Pena Bogor Lantai 3
Jl KH Abdullah bin Muhammad Nuh No 30
Kota Bogor, Jawa Barat.
+62 2517544006
redaksi@pojoksatu.id