Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Featured

    Suripto, Mantan Intel Negara Menggugat Penguasa - Tirti

    11 min read

     

    Suripto, Mantan Intel Negara Menggugat Penguasa

    Suripto muda ikut dalam gerakan sosialis. Memasuki dewasa, ia bergabung sebagai intel negara. Jelang paruh baya, politik Islam ditekuninya.

    Terbit 9 Nov 2025 15:00 WIB

    Mendiang Ketua Umum Komite Nasional untuk Rakyat Palestina, Suripto. (FOTO/dok. KNRP)

    tirto.id - “Tunggu saja. Semuanya akan saya libas,” ucap Suripto saat pertama kali menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan dan Perkebunan (Sekjen Dephutbun) pada 1999 silam.

    Dalam waktu singkat, ia menjaring 12 kasus perkara korupsi ke Kejaksaan Agung. Kasus besar keluarga cendana berhasil diungkap, termasuk korupsinya “raja hutan” Bob Hasan serta Probosoetedjo, adik Soeharto yang pernah menjadi kawannya.

    Koran Wallstreet Journal edisi Asia pernah mencatat keberaniannya pada April 2001. “Dia satu-satunya yang berani memberantas KKN di bidang kehutanan,” tulis koran yang berbasis di London itu.

    Sayangnya, Kamis, 6 November 2025, Suripto, tokoh intelijen sekaligus salah satu pendiri Partai Keadilan Sejahtera (PKS), berpulang pada usia 89 tahun di Rumah Sakit Fatmawati. Bagi sebagian orang, dua identitas yang melekat pada dirinya cenderung kontradiktif.

    Intelijen negara adalah pilar deep state yang mengawasi, sementara PKS lahir dari rahim gerakan tarbiyah yang justru kerap menjadi objek pengawasan.

    Namun, bagi Suripto, keduanya mungkin hanyalah medan yang berbeda untuk perang yang sama. Suripto tidak pernah benar-benar surut; ia hanya berganti seragam.

    Sosialis yang Dipaksa Anti-komunis

    Suripto lahir di Pekalongan pada 1936, dari ayah Jawa dan ibu Batak Mandailing. Masa mudanya dihabiskan sebagai seorang intelek aktivis di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

    Di sinilah lapisan pertamanya terungkap. Warsa 1960-an awal, ia mengikuti dinas militer sukarela dan menjadi anggota Komando Ganyang Malaysia. Setahun kemudian, saat menjadi aktivis gerakan sosialis, Suripto direkrut oleh Kodam VI Siliwangi untuk mendapatkan pendidikan dasar intelijen. Saat itu, Angkatan Darat, khususnya Siliwangi, sedang dalam pertarungan sengit melawan pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI).

    Merekrut mahasiswa sosialis merupakan langkah intelijen klasik untuk memantau dan melawan infiltrasi komunis di lingkar kampus. Suripto adalah aset sempurna. Sebagai seorang sosialis di Orde Lama, ia aktif di berbagai organisasi.

    Pada 1963, ia menjadi pemimpin Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos) dan terlibat dalam aksi menentang Presiden Sukarno yang berbuntut pada kerusuhan rasial pada 10 Mei 1963 di Bandung. Akibatnya ia masuk bui 2 tahun, meskipun akhirnya hanya menjalaninya 6 bulan.

    Setelah bebas, ia diperbantukan ke Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) untuk menjadi intel di Grup I Komando Operasi Tertinggi (Koti) hingga 1967. Dari sana, ia ditarik menjadi Staf Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) hingga 1970.

    “Ketika Yoga Soegama memimpin Bakin, ia juga meminta saya membantu. Tugasnya sama, yakni menghadapi PKI,” ujarnya dalam wawancara di majalah Tempo, 13 Mei 2001.

    Baca juga:

    Dalam sekejap, aktivis sosialis itu bertransformasi menjadi operator anti-komunis andalan negara.

    Karier di dunia bayangan itu menuntut biaya yang teramat mahal. Sebuah pukulan besar menimpanya pada awal tahun 1974. Meskipun ia telah beralih tugas ke Departemen Pendidikan untuk menangani masalah kemahasiswaan, Suripto dituduh terlibat dalam peristiwa Malari.

    Malari adalah pertarungan internal elite Orde Baru. Suripto, yang masih memelihara hubungan baik dengan aktivis mahasiswa, kemungkinan besar terjebak di tengah perang faksi intelijen.

    Tuduhan terhadap Suripto membawa tragedi yang bersifat sangat pribadi. Martini, istrinya, meninggal dunia akibat kaget setelah mendengar suaminya dituduh terlibat dalam peristiwa tersebut.

    Kematian Martini tampaknya mengkristalkan pandangannya terhadap kekuasaan. “Saya paling benci kepada tiran, yaitu mereka yang senang menyelewengkan kekuasaan,” katanya bertahun-tahun kemudian.

    Kehilangan itu mendorongnya menjauh dari struktur formal Orde Baru dan mencari kerangka makna baru. Ia menemukannya pada pertengahan 1980-an. Dalam sebuah dialog, ia mengaku tertarik dengan ustad Hilmi Aminuddin di sebuah majelis taklim, yang memberinya penafsiran kontekstual terhadap Al-Qur'an, yang pada akhirnya mengubah pandangannya terhadap dunia.

    “Cara menyampaikannya [menarik] dan [dengan cara itu] tetap bisa memengaruhi saya, dan meresap apa yang disampaikan,” tuturnya.

    Suripto yang dulu sosialis, lalu menjadi operator negara, kini seperti terlahir kembali sebagai muslim. Transformasi spiritual tersebut menjadi cikal bakal yang kelak mengantarnya menjadi salah satu figur di balik pendirian Partai Keadilan Sejahtera.

    Suripto
    Mendiang Ketua Umum Komite Nasional untuk Rakyat Palestina, Suripto. (FOTO/dok. KNRP)

    Dari Intel ke Birokrat

    Namun, iman baru itu tidak membuatnya pasif. Iman itu memberinya misi baru, sintesis sempurna antara identitas spiritual dan keahlian lamanya sebagai operator intelijen. Ia mengaplikasikannya dalam berbagai aktivitas keislaman, termasuk gerakan tarbiyah dalam mengorganisasi pembentukan Partai Keadilan pasca-reformasi.

    Di masa Orde Baru, Suripto adalah tokoh kunci di balik pengiriman senjata kepada para pejuang muslim di Bosnia. Ini adalah operasi klandestin murni. Menurut Suhud Alynudin dalam PK Sejahtera Menjawab Tudingan dan Fitnah (2004:49), ia dekat dengan Probosoetedjo, yang saat itu menjabat Ketua Komite Solidaritas Muslim untuk perjuangan Bosnia, dan mendapat tugas untuk memasok senjata ke Zagreb. Suripto sendiri yang mengangkut bantuan senjata itu.

    Karena alasan keamanan, seluruh operasi tersebut disamarkan sebagai pengiriman bantuan bahan pangan sehingga tidak pernah terungkap jelas ke publik. Operasi ini begitu rahasia, bahkan Presiden Soeharto pun dianggap tidak mengetahui secara detail.

    Menurut laporan HarianKompas bertajuk “Suripto, Lika-liku Bekas Intel” pada 31 Juli 2001, ketika berkunjung ke Sarajevo, Soeharto menerima ucapan terima kasih dari para gerilyawan setempat. Pak Harto heran dan bertanya, “Lho, siapa itu yang namanya Suripto, kok selalu saja disebut-sebut?”

    Pada akhir 1999, di usia 63 tahun, Suripto ditarik oleh Menteri Kehutanan Nur Mahmudi Ismail untuk menjabat sebagai Sekjen Dephutbun. Sri Bintang Pamungkas, dalam Ganti rezim, Ganti Sistim: Pergulatan Menguasai Nusantara (2014:132), menyebut bahwa banyak orang heran atas pengangkatan Suripto karena sudah melewati masa pensiun.

    Namun Suripto melihatnya sebagai misi baru sebagaimana kata-katanya, “Saya selalu 'terangsang' setiap kali menerima tantangan.”

    Ia segera menerapkan tradecraft intelijennya, bukan untuk spionase, tetapi untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Ia tidak bekerja seperti birokrat yang berkutat dengan memo. Ia bekerja layaknya seorang case officer yang menjalankan operasi.

    Salah satu pencapaian Suripto adalah menyeret "raja hutan" Bob Hasan ke penjara di Nusa Kambangan. Namun, target terbesarnya adalah Prajogo Pangestu.

    “Enggak ada dendam ataupun motivasi yang istimewa. Hanya, dari dokumen yang saya kumpulkan, saya semakin yakin, orang ini patut dijerat. Tak lebih dari itu,” tuturnya, dikutip dari Tempo terbitan 17 Juni 2001.

    Suripto tahu, data dari departemennya saja tidak cukup. Maka, ia menerapkan keahlian intelnya: mengumpulkan informasi dari orang dalam PT Musi Hutan Persada, perusahaan milik Prajogo.

    Ia berhasil merekrut aset di dalam, yang secara betul-betul sukarela memberinya setumpuk data berharga. Pengalaman intelijennya digunakan untuk menyerang salah satu kroni terkuat Orde Baru.

    Operasi di sarang penyamun itu akhirnya membenturkannya langsung dengan Istana. Presiden menjabat kala itu, Abdurrahman Wahid, yang pernah membelanya, berbalik meminta Menteri Nur Mahmudi Ismail untuk memecat Suripto.

    Nur Mahmudi menolak, dengan alasan pemecatan itu tidak jelas. Akibatnya fatal, Gus Dur melengserkan Nur Mahmudi, menggantinya dengan Marzuki Usman, yang segera memensiunkan Suripto dengan alasan usia. Ironisnya, itu adalah alasan yang sama yang dulu dikesampingkan Gus Dur saat mengangkatnya.

    “Ah, kenapa tidak dari dulu?” ketusnya, dilansir oleh Liputan 6.

    Baca juga:

    Gus Dur tidak hanya memecatnya. Di depan publik, ia melontarkan serangkaian tuduhan berat: Suripto merancang makar untuk menggulingkan presiden, bekerja sama dengan TNI menyelundupkan kayu, membiayai demonstrasi mahasiswa, dan, yang paling mengejutkan, membantu pelarian Tommy Soeharto dengan helikopter milik Dephutbun.

    Tuduhan soal Tommy Soeharto adalah blunder fatal yang justru mengungkap integritas Suripto. Seperti yang ia jelaskan, tuduhan itu tidak masuk akal. Faktanya, justru Suripto-lah yang mengadukan korupsi Tommy di PT Gatari Hutama Air Service. Sementara itu, helikopter yang dituduhkan itu disita sebagai barang bukti.

    Tuduhan itu jelas sebuah dalih yang dibuat-buat. Motif sebenarnya dari pemecatan itu, seperti dianalisis banyak pihak, adalah karena Suripto kelewat berani membuka aib Prajogo Pangestu, sementara Gus Dur pernah meminta agar pengusaha seperti Prajogo “jangan diganggu”.

    “Di atas Gus Dur kan ada supremasi hukum,” ujar Suripto, sebagaimana ditulis oleh Jacob Oetama dalam bukunya Suara Nurani: Tajuk Rencana Pilihan 1991-2001 (2001:159).

    Suripto menggugat presiden atas pencemaran nama baik. Dan ia menang. Pada 24 September 2001, majelis hakim PN Jakarta Pusat memutuskan Gus Dur terbukti mencemarkan nama baik Suripto dan dihukum membayar ganti rugi Rp500 juta.

    Perseteruan tingkat tinggi itu akhirnya ditutup dalam sebuah pertemuan islah yang puitis saat Ramadan, November 2001, di rumah Proklamator Mohammad Hatta. Disaksikan Rosihan Anwar dan Sri-Edi Swasono, Gus Dur yang saat itu sudah menjadi mantan presiden, menjabat tangan Suripto.

    “Sebagai manusia, saya banyak melakukan kesalahan. Jadi, saya minta maaf,” ujar Gus Dur, dilansir oleh Kompas, 17 November 2001.

    Suripto menerima maaf itu, meski secara taktis tidak langsung mencabut proses hukumnya. Namun, sebelum islah itu tercapai, ada satu drama terakhir yang seolah merangkum seluruh hidupnya.

    Baca juga:

    Becik Ketitik Ala Ketara

    Pada 1 Mei 2001, di tengah perseteruannya dengan Gus Dur, Suripto ditangkap polisi. Ia diinterogasi selama 24 jam dengan tuduhan terberat bagi seorang mantan intel: membocorkan rahasia negara, melanggar Pasal 112 KUHP.

    Pemicunya adalah penangkapan tiga orang di Hotel Cemara, yang konon tertangkap tangan mengumpulkan info rahasia sambil membawa senjata.

    Suripto mengakui mereka anak buahnya. Ia yang membiayai hotel, juga memberi tugas. Namun menurutnya, itu bukan spionase. Itu adalah tugas memantau situasi menjelang Sidang Paripurna DPR, sebagai bahan untuk lembaga studi barunya, Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi).

    Penangkapannya, lagi-lagi, dicurigai sebagai gertak atau teror agar ia berhenti membongkar kasus Prajogo Pangestu. Melalui Lesperssi, Suripto pada dasarnya menjalankan biro intelijen swastanya sendiri.

    Dalam sebuah wawancara di masa itu, ia sempat berkelakar bahwa insting intelijennya juga sudah tak tajam lagi.

    Pada hari ia berdamai dengan Gus Dur, Suripto mengutip sebuah pepatah Jawa yang mungkin paling merangkum filosofi hidupnya yang penuh rahasia. “Saya juga percaya pada pepatah Jawa,” katanya, “becik ketitik olo ketoro (kebaikan kelihatan, keburukan ketahuan).”

    Kini, setelah kepergiannya, Indonesia kehilangan salah satu tokoh yang jejaknya sulit dilupakan. Dialah yang tak pernah berhenti melawan tirani, meski harus menanggung risiko besar sepanjang hidupnya.

    Baca juga:
    Komentar
    Additional JS