Terungkap Ratusan Tentara Israel Lakukan Percobaan Bunuh Diri dalam Kurun Waktu 18 Bulan Terakhir | Republika Online
Terungkap Ratusan Tentara Israel Lakukan Percobaan Bunuh Diri dalam Kurun Waktu 18 Bulan Terakhir | Republika Online
Tentara Israel hadapi tekanan mental selama perang Gaza.

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV— Data resmi Israel mengungkapkan terdapat 279 upaya bunuh diri di kalangan tentara selama 18 bulan, sementara 36 tentara kehilangan nyawa karena bunuh diri selama periode yang sama.
Lembaga penyiaran mengatakan pada Rabu (30/10/2025) bahwa laporan baru dari Pusat Penelitian dan Informasi di Knesset (parlemen) menunjukkan data yang mengkhawatirkan tentang upaya bunuh diri di kalangan tentara Israel.
Sponsored
Laporan yang dibuat atas permintaan anggota Parlemen Ofer Cassif itu menunjukkan antara Januari 2024 dan Juli 2025, tercatat 279 upaya bunuh diri di kalangan tentara Israel.
Menurut surat kabar Haaretz, mengutip laporan tersebut, 36 tentara meninggal akibat bunuh diri selama periode yang sama.
Scroll untuk membaca
Laporan tersebut menjelaskan, menurut badan penyiaran, bahwa pengumpulan data terorganisasi tentang upaya bunuh diri di militer dimulai pada 2024, dengan menunjukkan bahwa 12 persen dari upaya tersebut sangat berbahaya, dan 88 persen levelnya sedang.
Laporan tersebut juga menampilkan data sejak 2017. Data menunjukkan bahwa 124 tentara meninggal karena bunuh diri hingga Juli 2025, di antaranya 68 persen adalah tentara wajib militer, 21 persen tentara cadangan aktif, dan 11 persen tentara tetap.
Laporan tersebut menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam kasus bunuh diri di antara tentara cadangan sejak 2023, dan mengaitkannya dengan peningkatan jumlah tentara aktif sejak pecahnya perang terakhir.
Lembaga penyiaran mengutip pernyataan anggota parlemen Kasif. Dia mengatakan, tidak ada yang lebih berharga daripada nyawa manusia.
Wabah bunuh diri, yang diperkirakan akan meningkat setelah perang berakhir, membutuhkan pembentukan sistem dukungan yang nyata bagi para tentara, serta upaya untuk mengakhiri perang dan mewujudkan perdamaian yang sejati.
Dia menyebut pemerintah yang mengirim tentara ke medan perang dan membiarkan mereka menghadapi konsekuensinya sendirian, adalah pemerintah yang bertindak melawan mereka.
Pada 7 Oktober 2023, Israel memulai genosida di Gaza yang berlangsung selama dua tahun, yang mengakibatkan 68.531 warga Palestina tewas dan 170.402 lainnya terluka, kebanyakan dari mereka adalah anak-anak dan perempuan, dengan biaya rekonstruksi yang diperkirakan PBB mencapai sekitar 70 miliar dolar AS.
Tentara Israel pada Rabu (29/30/2025) ini, mengumumkan kembali komitmennya untuk gencatan senjata di Jalur Gaza, setelah membunuh 100 warga Palestina, termasuk 35 anak-anak, dalam serangan yang menargetkan berbagai wilayah di Jalur Gaza.
Dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Aljazeera pada Rabu, atas arahan politik, tentara Israel mulai kembali berkomitmen pada perjanjian yang dilanggar oleh Hamas setelah serangkaian serangan besar-besaran terhadap militan dan banyak target lainnya.
Pernyataan itu menjelaskan bahwa tentara dan badan keamanan Shin Bet menargetkan lebih dari 30 militan dari tingkat kepemimpinan dalam organisasi yang beroperasi di Jalur Gaza, tanpa merinci lebih lanjut.
Sementara itu, militer Israel mengancam akan menanggapi dengan keras setiap pelanggaran, meskipun mereka akan terus menerapkan perjanjian tersebut.
Badan Pertahanan Sipil di Jalur Gaza mengumumkan pada Rabu bahwa militer Israel telah membunuh lebih dari 100 warga Palestina, termasuk 35 anak-anak, dalam pembantaian terpisah dalam waktu kurang dari 12 jam.
Serangan tentara Israel menargetkan rumah-rumah, mobil sipil, pusat penampungan, rumah sakit, dan tenda-tenda pengungsi, yang semuanya berada di sebelah barat apa yang disebut “garis kuning”, yaitu di luar wilayah yang dikuasainya.
Kebuntuan
Dalam konteks ini, Profesor hukum internasional di Universitas Arab Amerika, Raed Abu Dayeh, mengatakan kepada Aljazeera, bahwa apa yang terjadi di Gaza mencerminkan kerapuhan sistem internasional secara keseluruhan.
Dayeh menjelaskan, wilayah tersebut kembali terbangun dengan babak baru pertumpahan darah, setelah serangan Israel menargetkan tenda-tenda pengungsi dan rumah-rumah sipil, hanya beberapa hari setelah perjanjian gencatan senjata mulai berlaku.
Advertisements
general_URL_gpt_producer-20250813-12:48
Abu Dayeh menganggap perkembangan ini sekali lagi mengungkap kebuntuan hukum ketika gagal melindungi mereka yang seharusnya dilindungi, karena gencatan senjata dalam hukum internasional bukan sekadar kesepakatan politik, melainkan kewajiban hukum yang mengikat pihak-pihak yang bertikai untuk menghentikan tindakan permusuhan demi menghormati nyawa warga sipil.
Dia menambahkan, pelanggaran berulang oleh Israel mencerminkan penghinaan yang jelas terhadap komitmen ini dan menimbulkan pertanyaan tentang kegunaan sistem keadilan internasional yang sering kali hanya memberikan kecaman tanpa hukuman.
Dia menganggap bahwa apa yang terjadi merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap gencatan senjata dan pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional yang melarang penargetan warga sipil dengan dalih apa pun.
Abu Dayeh menyimpulkan bahwa situasi di Gaza bukan hanya pelanggaran terhadap teks-teks hukum, tetapi juga perwujudan dari ketidakberdayaan kolektif ketika hukum menjadi saksi bisu.
Bukan hanya Gaza yang membayar harga dari gencatan senjata yang dilanggar, tetapi juga gagasan hukum internasional itu sendiri, ketika anak-anak ditinggalkan di bawah reruntuhan tanpa dunia menemukan perlindungan bagi mereka dalam teks-teks hukum.
Narasi
Sementara itu, Direktur Pusat Studi Politik Al-Quds, Arib Al-Rantawi, mengatakan Israel mencoba menghindari kecaman publik atas tindakan kriminalnya dengan pernyataan tersebut.
Hal ini di saat dunia ingin agar gencatan senjata terus dilaksanakan dan merasa lega setelah gencatan senjata tercapai dan Tel Aviv tidak ingin terlihat sebagai pihak yang mengganggu gencatan senjata.
Proses evakuasi sembilan jenazah korban penembakan Israel di wilayah Zeitun, Jalur Gaza, Sabtu (18/10/2025).
Dia menambahkan, Israel berusaha membangun narasi yang mengklaim bahwa Hamas-lah yang memulai pelanggaran perjanjian dan mencoba meyakinkan pemerintahan Presiden Donald Trump bahwa gerakan tersebut terus melanggar perjanjian agar Israel dapat melepaskan diri dari kewajibannya.
Dia menganggap Israel mengulangi permainan sama yang telah dilakukannya selama dua tahun perang genosida di Gaza dengan menggambarkan pihak lain sebagai pelanggar perjanjian sementara dunia sudah mengetahui kebenarannya.
Al-Rantawi menegaskan bahwa hal itu tidak berarti komitmen Israel terhadap teks dan semangat perjanjian, melainkan Israel akan terus melanggar seperti yang telah dilakukannya di semua tahap konflik, dengan kedok klaim komitmen.
Israel kembali membombardir Jalur Gaza, sebuah aksi yang melanggar gencatan senjata dengan Hamas yang disepakati Oktober lalu. Puluhan warga Gaza termasuk perempuan dan anak-anak syahid akibat serangan tersebut.
Koresponden WAFA mengatakan bahwa serangan pesawat tak berawak Israel yang menargetkan rumah keluarga al-Banna di lingkungan al-Sabra, selatan Kota Gaza, mengakibatkan terbunuhnya empat orang dan melukai sembilan lainnya, termasuk seorang anak dan bayi. Beberapa lainnya hilang di bawah reruntuhan
Dalam insiden terpisah, seorang warga syahid dan lainnya terluka ketika tentara Israel mengebom tenda tempat berlindung para pengungsi di selatan kamp pengungsi Nuseirat di Jalur Gaza tengah. Lima orang juga syahid ketika tentara Israel mengebom sebuah kendaraan di sebuah jalan di Khan Yunis, selatan Jalur Gaza.
WAFA menambahkan bahwa serangan udara Israel menargetkan kamp pengungsi al-Shati dan sekitar Jalan Abu Hasira, sebelah barat Kota Gaza, selain serangan udara yang menargetkan lingkungan al-Zeitoun, sebelah timur kota tersebut. Artileri Israel juga menembaki bagian timur Deir al-Balah, di Jalur Gaza tengah.
Sumber-sumber medis di Gaza mengatakan jumlah korban meninggal mencapai puluhan jiwa.
Aljazeera menyampaikan jumlahnya mencapai 21 orang, sementara sumber Republika.co.id memerkirakan bahwa setidaknya 37 warga Palestina syahid dan sekitar puluhan lainnya terluka akibat serangan udara Israel di wilayah yang dilanda perang tersebut. Ini jumlah kematian terbanyak dalam sehari setelah gencatan senjata diumumkan Oktober lalu.
Sayap militer Hamas telah mengumumkan bahwa mereka akan menunda penyerahan jenazah tawanan Israel yang ditemukan hari ini “karena pelanggaran” oleh Israel.
Dalam sebuah pernyataan, Brigade Qassam menekankan bahwa setiap eskalasi Israel “akan menghambat operasi pencarian, penggalian, dan pengambilan jenazah, yang akan menyebabkan tertundanya pencarian jenazah” para tawanan yang tewas.
Hamas menuduh Perdana Menteri Israel Netanyahu mencari-cari alasan untuk menarik diri dari kewajiban Israel berdasarkan perjanjian yang ditengahi AS.
Berdasarkan ketentuan gencatan senjata, Hamas membebaskan semua sandera yang masih hidup dengan imbalan hampir 2.000 narapidana Palestina dan tahanan masa perang, sementara Israel menarik kembali pasukannya dan menghentikan serangannya.
Israel terus hanya mengizinkan sedikit bantuan yang sangat dibutuhkan ke Gaza yang dilanda perang.
Setidaknya 94 warga Palestina telah syahid sejak dimulainya gencatan senjata dengan Israel pada 10 Oktober. Pasukan Israel mengatakan mereka melewati “garis kuning” yang menggambarkan zona kendali Israel di Gaza.
Namun pada beberapa hari pertama gencatan senjata, warga Palestina di sini bahkan tidak mengetahui di mana letak garis tersebut – di mana garis tersebut dimulai dan di mana berakhir. Pasukan Israel memasang beberapa tanda “bahaya” berwarna kuning di beberapa area tetapi tidak secara keseluruhan.
Sekitar 10 hari yang lalu, keluarga Abu Shaaban yang terdiri dari 11 warga Palestina syahid dalam serangan Israel di Kota Gaza – di antara mereka adalah anak-anak dan perempuan yang kembali ke rumah mereka. Ada seorang jurnalis yang terbunuh selama gencatan senjata, dan serangan mematikan Israel kini terus berlanjut.
Serangan terbaru Israel, bermula dari laporan adanya baku tembak di Rafah di Gaza selatan dekat perbatasan dengan Mesir. Baku tembak itu disebut melibatkan tentara Israel dan pejuang dari Jalur Gaza. Tak lama kemudian, penembakan artileri dimulai dan ledakan terdengar di Rafah dan bagian timur kota Khan Younis.
Perdana Menteri Israel Netanyahu mengatakan dia telah menginstruksikan militer untuk segera melakukan serangan kuat di Gaza. Pemerintah Israel mengatakan ini adalah respons terhadap apa yang mereka sebut sebagai pelanggaran gencatan senjata yang dilakukan Hamas dengan tidak menyerahkan jenazah 13 tawanan lainnya yang masih berada di Gaza.
Sementara, Hamas menuduh Israel menghalangi upaya untuk menemukan jenazah tawanan Israel, dengan mengatakan bahwa Israel memblokir alat berat untuk memasuki Gaza dan mencegah tim pencari – termasuk personel Palang Merah – mengakses area-area penting.
Dalam sebuah pernyataan, Hamas menolak tuduhan Israel bahwa mereka “lambat” dalam melepaskan jenazah para tawanan dan menyebutnya sebagai upaya “tidak berdasar” “untuk menyesatkan opini publik”.
Kelompok tersebut juga menuduh Israel mencoba “membuat dalih palsu sebagai awal untuk mengambil langkah agresif baru terhadap rakyat kami yang merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap perjanjian gencatan senjata”.
“Mengingat hal ini, kami menyerukan kepada para mediator dan pihak penjamin untuk memikul tanggung jawab mereka dalam menghadapi hambatan serius ini,” kata Hamas.
Seorang pejabat AS mengatakan kepada Aljazeera bahwa gencatan senjata masih berlaku meskipun Israel mengancam akan menyerang Gaza setelah menuduh pelanggaran gencatan senjata. Rencana perdamaian Presiden Trump menghadapi banyak tantangan, namun pemerintah yakin rencana tersebut akan tetap membuahkan hasil, kata pejabat tersebut.
“Perjanjian gencatan senjata masih berlaku di Gaza, dan kami terus berupaya menerapkan rencana perdamaian Presiden Trump,” kata pejabat AS yang tidak ingin disebutkan namanya. “Transisi menuju perdamaian permanen di Gaza adalah tugas yang sulit setelah dua tahun konflik di Jalur Gaza.”
Youve reached the end