Banjir Sumatra: Warga Masih Trauma, Lumpur Tak Kunjung Surut, Ibu Hamil Bingung Menanti Persalinan - NU Online
Banjir Sumatra: Warga Masih Trauma, Lumpur Tak Kunjung Surut, Ibu Hamil Bingung Menanti Persalinan
NU Online · Jumat, 19 Desember 2025 | 07:30 WIB
Relawan Banser Tanggap Bencana Kota Padang saat sedang membersihkan lumpur di permukiman warga. (Foto: dok. GP Ansor Kota Padang)
Jakarta, NU Online
Lumpur masih tebal di sejumlah sudut Kota Padang. Di balik genangan yang tak sepenuhnya surut, tersimpan cerita lain yang lebih berat dari sekadar rumah rusak dan jalan terputus. Cerita tentang trauma, kebingungan, dan keteguhan warga yang bertahan di tengah banjir dan longsor terus berulang.
Ketua Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor (PC GP Ansor) Kota Padang, Sumatra Barat, Albert Reza Asril mengungkapkan bahwa pengalaman turun langsung ke lokasi bencana menjadi fase paling menguras batin sepanjang dirinya menjadi relawan. Awalnya, GP Ansor dan Bagana hanya menargetkan pembersihan lumpur serta distribusi logistik. Namun kenyataan di lapangan berkata lain.
“Target kita awalnya membantu bersih-bersih dan logistik. Tapi faktanya, yang kita temukan jauh berbeda,” ujar Albert kepada NU Online, Kamis (18/12/2025).
Baca Juga
Cerita Relawan NU Padang: Seorang Ibu Datang ke Posko Minta Doakan Anaknya yang Hilang
Ia menuturkan bahwa banyak orang tua tak lagi mampu menjelaskan masa depan kepada anak-anak mereka. Rumah sudah hilang, rutinitas terputus, dan hari esok terasa samar. Di tengah keterbatasan itu, anak-anak justru menunjukkan ekspresi yang paling jujur yaitu trauma yang tersembunyi di balik senyum.
“Jadi di saat kita memberikan hadiah itu, senyum mereka itu luar biasa. Melupakan sejenak alami secara fakta,” ucapnya.

Mengapa Prabowo Tak Naikkan Status Banjir Sumatra Jadi Bencana Nasional?
Ketika relawan GP Ansor membagikan mainan berupa boneka, mobil-mobilan, dan bola, wajah anak-anak itu seketika berbinar. Mereka tertawa, berlarian, bahkan diajak bermain bola oleh relawan Bagana. Namun Albert menyadari, senyum itu bukan tanda trauma telah hilang.
“Kalau dibilang traumanya akan hilang, nggak juga. Setelah kita pulang, mereka kembali ke aktivitasnya, kembali merasakan sedihnya,” kata Albert.
Menurutnya, trauma healing hanya memberi jeda sejenak dari kenyataan pahit. Anak-anak di wilayah terdampak sudah mulai terbiasa menerima bantuan.
Baca Juga
Banjir Bandang Susulan Melanda Kota Padang, Rumah Warga Hanyut dan Trauma Kian Menguat
Selain anak-anak, penderitaan lain yang membekas di benak Albert adalah kondisi para pengungsi dewasa. Di sebuah masjid yang dijadikan tempat pengungsian, ia bertemu seorang ibu hamil yang tinggal menunggu hari persalinan. Fasilitas sangat terbatas. Kamar mandi belum tersedia. Air bersih minim. Relawan hanya bisa memberikan sabun dan kebutuhan dasar seadanya.
“Saya menemukan teman saya. Dia lagi hamil, menunggu hari untuk melahirkan. Dia kebingungan untuk melahirkan bagaimana dengan kondisi seperti ini? Air bersih juga susah,” tuturnya pelan.
Ia menegaskan bahwa tekanan terberat bagi relawan adalah ketika menyaksikan ratusan warga bertahan di tengah ketidakpastian disebutnya membuat batin relawan seakan ‘dihajar habis-habisan’.
“Kita sayang keluarga kita, tapi kita juga lihat ada ratusan orang yang menunggu bantuan. Yang mana yang harus kita pilih? Kita nggak punya pilihan,” ujarnya dengan suara bergetar.
Baca Juga
Aksi Kamisan Ke-891, Mahasiswa Asal Mandailing Natal Soroti Banjir Sumatra dan Minimnya Perhatian Negara
Ironisnya, bencana yang belum usai membuat kerja relawan seperti tak pernah selesai. Baru lumpur dibersihkan, hujan kembali turun dan air meluap. Jembatan putus dan akses terhambat.
Ia menuturkan, distribusi bantuan pun belum merata. Beberapa wilayah yang dekat akses utama relatif cepat tersentuh, sedangkan permukiman di tepi sungai justru luput dari perhatian.
“Saudara-saudara kita yang terdampak parah di pinggir sungai itu belum terjamah sama sekali,” kata Albert.
Keterbatasan jumlah bantuan sering memicu ketegangan. Albert mengaku pernah harus bersikap tegas agar bantuan bisa sampai ke wilayah yang benar-benar belum tersentuh. Bahkan dalam satu kesempatan, pembagian pakaian tak dibungkus memicu keributan.
“Kemarin dicoba untuk turunin bantuan dan tidak dibungkus. Orang itu rebutan sampai kelahi, gitu. Jadi suasananya itu benar-benar gimana ya. Orang butuh pakaian, apa pun. Yang terkadang ada juga bapak-bapak yang pakai baju daster. Faktanya seperti itu. Karena, nggak ada lagi yang mau dipakai,” ujarnya.
Para dermawan bisa donasi lewat NU Online Super App dengan mengklik banner "Darurat Bencana" yang ada di halaman Beranda atau melalui laman filantropi di tautan berikut: https://filantropi.nu.or.id/solidaritasnu.